Pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia, ternyata juga memacu peningkatan konsumsi masyarakat terhadap daging ternak, termasuk ayam. Bahkan, kini masyarakat Indonesia mampu mengonsumsi daging ternak hingga 9,33 kg per kapita. Padahal, 4 tahun sebelumnya tingkat konsumsi ternak tersebut hanya sekitar 4,99 kg per kapita. Melihat kondisi itu, Kementerian Pertanian (Kementan) tidak berani menghentikan impor bibit ayam atau day old chicken (DOC) dan impor bibit indukan ayam atau grand parent stock (GPS) yang berlangsung saat ini.
Direktur Pembibitan Ternak Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, Abu Bakar mengatakan tren bisnis perunggasan diperkirakan semakin membesar seiring terjadinya tren peningkatan yang dialami semua komponen pendukungnya dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, pihaknya tidak akan menghentikan impor DOC dan GPS yang bisa mematikan usaha petani lokal.
"Jika impor DOC dan GPS dihentikan, maka yang akan masuk daging ayamnya. Jadi bumerang buat kita juga kalau negara impor mengirim paha ayam ke Indonesia. Sehingga usaha para peternak unggas bisa gulung tikar karena hasilnya ternaknya tak laku," katanya kepada politikindonesia.com usai Jumpa Pers Indo Livestock 2014 Expo & Forum di Kantor Kementan, Jakarta , Jumat (13/06).
Dijelaskan, GPS adalah jenis bibit ayam yang akan menghasilkan ayam indukan (parent stock). Ayam indukan inilah yang nantinya bakal menghasilkan DOC yang bakal menjadi ayam potong yang dikonsumsi atau final stock (FS) yang akan dijual ke pasar. Setiap satu ekor GPS akan menghasilkan sekitar 35 ekor ayam indukan (PS). Satu ekor ayam indukan akan menghasilkan sekitar 135 ayam siap konsumsi (FS) dalam satu kali masa bertelur. Tapi, produksi parent stok tidak selalu akan menghasilkan FS.
"Jadi impor DOC dan GPS merupakan kebijakan yang dibuat pemerintah dalam menjaga kebutuhan ayam nasional. Kebijakan tersebut juga mampu menangkal serbuan daging ayam dari luar negeri secara besar-besaran. Bahkan, daging ayam tersebut akan mudah masuk ke pasar dalam negeri dan berpotensi mematikan peternak ayam dalam negeri," paparnya.
Menurutnya, agar tidak terus bergantung pada impor untuk memenuhi konsumsi daging ayam dalam negari, pihaknya akan mengembangkan industri unggas dalam negeri yang melibatkan lebih dari 5 juta peternak. Pihaknya juga sudah meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk mengeluarkan aturan terkait pengendalian suplai DOC dan GPS. Salah satu hal yang diatur dalam kebijakan ini yaitu soal pengurangan suplai DOC sebesar 15 persen ketika terjadi kelebihan.
"Aturan ini diberlakukan dengan tujuan agar perusahaan peternakan terutama skala kecil tidak gulung tikar yang biasanya terjadi secara berkala setiap lima tahun. Kalau kami tidak atur masalah unggas ini. Ini sangat berbahaya, akan terjadi kebangkrutan massal yang akan menghancurkan struktur daripada peternak kami. Kami tidak mau itu, kami ingin punya sustanaible yang tinggi," ungkapnya.
Dengan adanya kebijakan tersebut, katanya lagi, diharapkan harga daging ayam lebih stabil dan stok ayam yang tersedia dipasaran bisa dikendalikan sehingga tidak mengalami kekurangan atau pun berlebih. Oleh sebab itu, pihaknya akan segera mengajukan usulan kepada Kemendag untuk melarang pabrikan besar DOC agar tidak menetaskan telur setelah Lebaran.
"Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi agar tidak terjadi pasokan daging yang berlebih sehingga harganya jatuh, seperti yang telah terjadi pascaLebaran tahun lalu dan terus terjadi hingga 7 bulan kemudian, yang menghantam peternak kecil. Jadi paling tidak, nanti penetasan telur pabrikan besar dibatasi," tuturnya.
Dia menambahkan, telur-telur yang tidak ditetaskan tersebut juga jangan dibagi-bagikan secara gratis, karena tentu saja bisa merusak pasar becek.Di sisi lain, pihaknya juga meminta pelaku usaha perunggasan agar bersiap menangkap lonjakan kebutuhan DOC hingga 25,64 persen jelang bulan puasa dan hari raya Idulfitri akhir bulan depan. Karena pada bulan-bulan normal, kebutuhan DOC hanya sekitar 38-39 juta ekor/minggu, sementara pada dua peristiwa keagaman tersebut, kebutuhan diperkirakan melonjak hingga 49 juta ekor/minggu.
"Angka 49 juta itu kemungkinan akan bertahan hingga H+7 Lebaran. Asumsi itu digunakan sepanjang tidak ada faktor eksternal yang mempengaruhi kondisi ternak, seperti cuaca atau penyakit. Peternak kecil sebaiknya juga mengantisipasi anjloknya harga daging ayam yang diestimasi terjadi sejak H+10 Lebaran," tegasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved