Kementerian Pertanian (Kementan) terus berupaya mengendalikan harga pangan secara komprehensif dengan menjalankan berbagai program. Salah satunya dengan menekan biaya produksi petani sehingga mereka tidak terkena imbas imbas dari kebijakan penurunan harga eceran tertinggi (HET) komoditas beras level medium.
“Penurunan HET tidak akan mengganggu harga gabah, jika petani sebagai produsen mampu menekan biaya produksi mereka. Caranya dengan mengoptimalkan alat mesin pertanian (alsintan). Apalagi hingga saat ini kami sudah memberikan sekitar 350 ribu alsintan di seluruh Indonesia. Kalau ini bergerak semua, produksi pasti akan lebih efisien dan efektif," katanya kepada politikindonesia.com usai membuka Koordinasi Gabungan Sergap, Luas Tambah Tanam (LTT) dan Optimal Pemanfaatan Alsintan 2018, di Kantor Kementan, Jakarta, Selasa (05/06).
Menurutnya, pihaknya sudah memberikan bantuan alsintan sebagai bentuk modernisasi pertanian. Hal itu dilakukan untuk dapat meningkatkan produktivitas pertanian di musim kemarau sehingga dapat menekan biaya produksi. Seperti alsintan, combine harvester, dapat menekan biaya produksi hingga 50 persen. Combine harvester merupakan sebuah mesin yang menggabungkan tiga fungsi sekaligus, yakni pemotongan, perontokan hingga pembersihan.
“Biasanya biaya tanam mencapai Rp2 juta, sekarang hanya Rp1 juta. Sementara dengan cara manual, proses pascapanen seperti perontokan untuk hasil produksi satu ha sawah membutuhkan waktu 7 hingga 16 jam. Jadi dengan mengoperasikan alat canggih tersebut, para petani tidak perlu lagi memobilisasi banyak orang untuk memotong padi. Petani juga tidak membuang banyak waktu untuk memanen hasil produksi. Dalam satu jam, combine harvester dapat memanen satu hektare (ha) sawah,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, sebenarnya modernisasi pertanian merupakan faktor penting dalam keberhasilan Indonesia meningkatkan produktivitas pangan. Misalnya beras, Indonesia telah secara signifikan berhasil meningkatkan produktivitasnya. Hal itu karena sejumlah langkah sudah dipersiapkan untuk mendorong (LTT) pada Oktober 2017 hingga Maret 2018 agar bisa menggenjot produksi padi nasional.
“Berdasarkan data, hingga Mei 2018 LTT sudah mencapai 72,69 persen. Namun dari hasil itu kami belum cukup puas, karena masih banyak daerah yang LTTnya masih rendah dan tidak mencapai target, hanya 75,45 persen. Untuk itu, bagi provinsi atau kabupaten yang tidak mencapai target akan dilakukan langkah penting salah satunya adalah mengevaluasi kinerja dan jabatan PenanggungjawabUpsus Pusat yang bertugas di wilayah tersebut,” urainya.
Dipaparkan, beberapa upaya percepatan yang harus dilakukan adalah mencari lahan yang baru panen, beras, yang belum diolah. Makanya, pihaknya meminta koordinasi dilakukan dengan Dinas Pertanian, Kodim, Penyuluh, Koramil/Babinsa dan menggerakkan mahasiswa STPP dan alumni agar segera mendistribusikan alsintan dan mengolah lahan.
“Untuk upaya percepatan, agar Penanggungjawab Upsus Provinsi, Kadistan Provinsi, Danrem agar memerintahkan Tim LTT Kabupaten agar mengidentifikasi potensi tanam, sumber air, rencana tanam dan saprotan. Dinas Pertanian segera eksekusi Calon Petani Calon Lokasi (CPCL) ke Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dan harus segera ditanam. Optimalkan pemanfaatan benih dan saprotan," ucapnya.
Dia menambahkan, untuk realisasi Sergap Januari hingga Mei 2018 juga dinilai masih rendah. Realisasi sampai dengan Mei 2018, sebesar 258.111 ton. Tim Sergab diminta agar bekerja maksimal pada lokasi panen dengan target menyerap minimal 15 persen dari produksi gabah di setiap wilayah.
“Produksi beras tidak dapat terbantahkan bahwa telah meningkat tajam. Jumlah penduduk Indonesia bertambah 12,8 juta dan butuh berasa 1,7 juta ton. Untuk investasi, pemerintah mengubah regulasi yang menghambat investasi sektor pertanian, dari Rp23 triliun naik menjadi Rp45 triliun,” pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved