Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Hortikultura Kementan akan membagikan 280.000 buah polibag berisi tanaman cabai untuk masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Tujuannya, untuk mendorong masyarakat memproduksi cabai sendiri. Langkah ini, selain efektif memenuhi kebutuhan pangan masyarakat juga diyakini dapat menjaga stabilitas pasokan dan pergerakan harga cabai di masyarakat.
Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Ditjen Hortikultura Kementan, Yanuardi polibag tersebut berisi tanaman cabai berjenis cabai merah besar, cabai merah keriting dan cabai rawit. Tanaman cabai dalam polibag itu dibagikan melalui 150 kelompok tani dan selanjutkan disebar ke masyarakat di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Serang.
"Pembagian polibag berisi tanama cabai ini diharapkan masyarakat bisa memperbanyak sendiri. Sehingga tak terpengaruh dengan tingginya harga cabai di pasaran. Karena kalau terus dirawat, satu tanaman cabai dalam polibag ini bisa bertahan hingga 2 tahun," katanya kepada politikindonesia.com di sela-sela bertemu dengan para penggerak tanaman cabai di Kantor Ditjen Hortikultura, Jakarta, Selasa (11/10).
Menurutnya, untuk memudahkan perawatan, tanaman cabai yang dibagikan itu sudah berbunga dan berusia 60 hari. Masyarakat hanya butuh waktu untuk menanennya sekitar sebulan dan selanjutnya bisa dipanen setiap saat selama setahun, khusus cabe rawit umurnya bisa hingga dua tahun. Sehingga bisa bernilai ekonomis bagi masyarakat itu sendiri.
"Saat memberikan polibag itu ke masyarakat, kami juga menurunkan tim pembina untuk membantu masyarakat menanam atau memperbanyak tanaman cabai ini di halaman rumah. Dengan teknis memeliharanya dan cara pengendaliannya. Sehingga ketergantungan itu berkurang. Kami juga membagikan pupuknya. Namun, masyarakat bisa menggunakan air cucian beras atau air cucian ikan sebagai pupuknya," ucapnya.
Dijelaskan,tanaman hortikultura seperti cabai adalah salah satu komoditas yang komplementer dan tidak bisa digantikan oleh produk lain. Kelemahannya tidak tahan lama, sehingga harus didukung dengan peningkatan teknologi yang tepat guna. Sehingga masyarakat bisa memproduksi dan mengkonsumsin cabai sendiri.
"Masyarakat kita sepertinya tidak bisa mengubah pola konsumsi yang selama ini selalu mengkonsumsi produk segar. Sebenarnya masyarakat juga bisa mengkonsumsi produk turunannya sebagai alternatif seperti bubuk cabai. Padahal rasanya sama, pedas juga. Tapi seperti sulit. Makanya kami mengajak masyarakat untuk memanfaatkan halaman kosong di rumah," ujarnya.
Menanggapi masih mahalnya harga cabai di pasaran, Yan mengungkapkan, sebenarnya pihaknya sudah membuat manajemen sistem tanam cabai sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga pengaturan pola produksi agar panen cabai tak menumpuk di bulan-bulan tertentu saja. Penanaman cabai diatur bergantian di tiap daerah. Ketika sentra yang satu sedang panen, maka tanam cabai dimulai di sentra lainnya. Dengan begitu, produksi cabe lebih merata, terus tersedia sepanjang tahun.
"Produksi cabai juga terus digenjot dengan perluasan areal tanam, pemberian bantuan benih, dan sebagainya. Kami genjot dengan mengembangkan luasan, benih. Ada juga manajemen tanam pola produksi. Sehingga hasilnya kebutuhan cabai dan bawang merah di masyarakat cukup. Bahkan surplus sekitar 50 ribu per tahun," imbuhnya.
Diakui, produksi cabai nasional memang masih belum merata sepanjang tahun. Ada bulan-bulan tertentu dimana produksi cabai berada di bawah kebutuhan per bulan, misalnya bulan Juli ketika tanaman cabai kekurangan air. Namun pihaknya tetap berupaya menjaga produksi cabai di puncak musim kemarau dengan pengairan yang baik.
"Kami pun mengajak masyarakat untuk menanam cabai sendiri di halaman rumah. Jadi masalah ada tinggi rendahnya harga cabai karena pengaruh cuaca dan distribusi. Bukan karena stok yang berkurang," tutup Yan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved