KELEBIHAN beban pekerjaan merekapitulasi suara pemilu 2024 sejak dari tingkat tempat pemungutan suara (TPS) hingga KPU Pusat secara amat sangat sederhana dapat diukur secara tidak langsung menggunakan besar dampak negatif.
Yakni berupa meninggalnya 71 orang dan yang sakit sebanyak 4.567 orang per data 14 Februari 2024 pukul 23.58 WIB.
Jumlah tersebut masih mungkin bertambah terus, hingga selesainya penetapan hasil pemilu secara lengkap, termasuk setelah ada keputusan final hasil sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari mereka yang meninggal dunia di atas, indikator kelebihan beban pekerjaan yang meninggal dunia terbanyak di tingkat TPS, sebagai anggota KPPS sebanyak 42 orang, dan 24 orang Linmas. Justru di tingkat kecamatan ditemukan 1 orang PPK yang meninggal, tetapi dalam jumlah 4 orang adalah anggota PPS tingkat desa/kelurahan. Jadi, persoalan terbesar justru berada di tingkat TPS.
Dampak negatif fenomena kelebihan beban pekerjaan dalam melakukan rekapitulasi suara pemilu 2024 ini perlu dijadikan informasi penting untuk lebih menyadarkan terhadap orang-orang, yang kalah dalam persaingan memperoleh kursi dari hasil pilpres, pileg, dan DPD.
Mereka yang amat sangat kecewa atas perasaan kesenjangan yang luar biasa antara harapan yang tinggi dibandingkan kenyataan hitung cepat (quick count) dan tahapan berjenjang real count.
Tulisan ini dimaksudkan untuk tidak mudah begitu saja dengan ringan pikir dalam mengajukan dugaan telah terjadi kecurangan yang amat sangat luar biasa melebihi ambang batas, yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), namun tanpa selesainya pembuktian dalam proses sengketa pemilu di MK, atau pun minimal dalam persidangan di Bawaslu.
Itu juga untuk meningkatkan kesadaran kepada orang-orang, yang agar tidak mudah untuk memperpanjang periode analisis dan memperluas persoalan ke dalam hubungan yang bersifat sebab akibat, namun tanpa proses pembuktian dalam persidangan di tingkat Bawaslu, terutama di tingkat MK.
Sejauh ini mereka dengan amat mudah mengevaluasi masalah beban pekerjaan dalam melakukan rekapitulasi hasil pemilu melampaui hari H pencoblosan pemilu. Bukan hanya rentang periode analisis diperpanjang sangat jauh sebelum hari H, juga jauh setelah hari H pencoblosan pemilu.
Periode pra hari H pencoblosan ditarik sedemikian jauh lebih awal hingga sampai periode urusan revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU Kesehatan, dan UU lainnya, sebagai ungkapan curahan aspirasi kekecewaan yang amat sangat mendalam pada ketidakcocokan dalam manajemen tata kelola pemerintahan.
Demikian pula untuk kemuakan terhadap pendistribusian bansos. Bansos yang pada kenyataan setelah hari H masih terjadi kenaikan harga beras, begitu pula dengan kenaikan harga sembako lainnya.
Bukankah ambang batas kemiskinan dalam indikator rupiah per kapita per hari atau per bulan dengan sangat mudah terlampaui oleh tekanan tinggi kenaikan harga sembako, yang bersifat mendasar, termasuk tekanan kenaikan harga BBM.
Ledakan kemarahan terhadap rekapitulasi pemilu sebenarnya masih berpotensi lebih dapat dirasionalisasikan, jika setiap partisipan pemilu menyadari tentang persoalan kelebihan beban pekerjaan dalam merekapitulasi pemilu dengan dampak negatif minimalis di atas. Bentrokan luapan emosi dalam bentuk demonstrasi, yang mulai menuju kebrutalan dalam menolak hasil perhitungan pemilu.
Demonstrasi disertai lontaran gagasan yang bersifat anarki, yaitu untuk membubarkan KPU, membubarkan Bawaslu, menangkap Ketua KPU, memaksa pemerintah bubar atau mundur, bahkan segera akan dimakzulkan secara paksa presiden.
Itu tentu adalah sebagai reaksi kekecewaan yang sangat mendalam. Akan tetapi hal itu kiranya perlu kembali memperhatikan kesepakatan nasional untuk mengacu ketentuan UU Pemilu 7/17 dan UUD 1945 hasil amandemen keempat satu naskah dalam menghadapi sengketa pemilu.
Besar beban menghitung hasil pemilu secara sangat sederhana adalah sebagai berikut. Terdapat kertas lembar Pilpres berisi 3 paslon. Selembar kertas calon DPD dengan sangat banyak calon. Selembar kertas caleg dengan banyak parpol, dimana untuk setiap parpol ada banyak calon.
Begitu untuk caleg provinsi, kabupaten/kota, yang di dalamnya ada kecamatan. Jenjang rekapitulasi itu dimulai dari TPS, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan berakhir di tingkat nasional.
Untuk setiap TPS maksimum ada 300 voters. Dalam 1 Rukun Tetangga (RT) dapat lebih dari 1 TPS. Petugas bekerja pada hari H sejak pagi dan mulai menghitung suara mulai pukul 13.00 waktu setempat. Penghitungan dan rekapitulasi sebanyak jumlah perkalian dari besar beban di atas dikalikan 300 suara.
Dilakukan perhitungan dan rekapitulasi ulang sekalipun ada hanya 1 suara terlewatkan. Rekapitulasi dilanjutkan di tingkat kecamatan kepada PPK (dan KPU Kabupaten/Kota) melalui PPS.
Mengantri dan mengantri, jika data tidak cocok, maka dilakukan penghitungan dan rekapitulasi ulang. Beban pekerjaan tersebut merupakan hasil perkalian dari keberagaman semua di atas tadi, sehingga volume pekerjaan per anggota panitia sangat banyak dengan tekanan batas waktu pekerjaan yang pendek.
Jadi, belum tentu senantiasa sebagai tindakan kesengajaan dalam melakukan kecurangan ketika melakukan penghitungan dan rekapitulasi.
*Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), pengajar Universitas Mercu Buana
© Copyright 2024, All Rights Reserved