Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan, surat dakwaan terhadap Setya Novanto telah memenuhi syarat formil dan material. Jaksa meminta hakim menolak keberatan (eksepsi) yang diajukan mantan ketua DPR itu.
Saat membacakan tanggapan atas eksepsi dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (28/12), jaksa menyatakan, dakwaan atas Novanto telah dijelaskan locus delicti (waktu kejadian) dan tempus delicti (tempat kejadian).
Dakwaan juga telah memenuhi syarat-syarat materiil yakni, tindak pidana yang didakwakan; siapa yang melakukan tindak pidana tersebut; di mana tindak pidana tersebut; bagaimana dan kapan tindak pidana dilakukan; akibat yang ditimbulkan; apakah yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana tersebut; serta ketentuan-ketentuan tindak pidana yang diterapkan.
“Komponen-komponen di atas secara kasuistik harus disesuaikan engan jenis tindak pidana yang didakwakan," kata Jaksa.
Selain itu, kata Jaksa, terdakwa telah mengerti dakwaan yang telah telah disusun oleh tim JPU. Hal itu menandakan bahwa dakwaan mudah dimengerti oleh terdakwa. “Terlihat surat dakwaan yang disusun oleh penuntut umum telah memenuhi persyaratan baik formil maupun materiil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan," ujar Jaksa.
Dalam jawabannya, jaksa menyatakan, dalil-dalil dalam nota keberatan atau eksepsi yang disampaikan tim penasehat hukum Setya Novanto keliru. Salah satu dalil yang dianggap keliru yaitu terkait praperadilan.
Dalam eksepsi, tim pengacara Novanto juga sempat menyinggung tentang kemenangan di praperadilan jilid I di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Terhadap dalil-dalil tersebut penuntut umum tidak sependapat, penuntut umum memandang penasihat hukum masih mengalami euforia kemenangan praperadilan jilid I," ujar jaksa.
Menurut jaksa, urusan mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak masuk ranah eksepsi, tetapi praperadilan. Sedangkan dalam praperadilan jilid II, KPK menang atas Novanto.
“Bahwa dalil mengenai sah atau tidaknya tersangka tidak masuk ranah eksepsi, melainkan ranah praperadilan, maka pemikiran tim penasihat hukum keliru," ujar jaksa.
Jaksa juga membahas tentang dakwaan splitsing atau pemisahan berkas perkara pidana yang dipermasalahkan penasehat hukum Novanto. Menurut jaksa, pihak terdakwa terlalu cepat menyimpulkan.
“Bahwa dalam perkara a quo, penuntut umum telah menerima berkas perkara dari penyidik pada 22 November 2017 yang merupakan hasil penyidikan pada 31 Oktober 2017. Dalam berkas tersebut hanya memuat satu uraian tindak pidana dan juga hanya memuat satu tersangka yaitu Setya Novanto," ujar jaksa.
"Apakah relevan dianggap splitsing? Tentu dengan kondisi tersebut, penasehat hukum telah keliru memaknai Pasal 142 KUHAP," imbuh jaksa.
Untuk menjelaskan bagaimana proses penyidikan terkait kasus korupsi proyek e-KTP tersebut, jaksa memberikan ilustrasi terkait pencurian di sebuah rumah yang dilakukan oleh dua orang pelaku. Namun, dalam perkara pencurian itu, penyidik baru bisa mengungkap seorang pelaku, sedangkan pelaku lainnya kabur.
“Izinkan kami menyampaikan ilustrasi, ada 2 orang melakukan pencurian di rumah kosong. Pelaku pertama mencuri uang Rp 1 juta di kamar tidur majikan, sedangkan pelaku kedua mencuri perhiasan di kamar tidur pembantu," ujar jaksa.
Pelaku pertama berhasil ditangkap dan diadili, sedangkan pelaku kedua masih kabur. Dalam kondisi seperti ini, penyidik dan penuntut umum tentunya tetap memproses pelaku pertama dengan dakwaan melakukan tindak pidana secara bersama-sama.
"Dakwaan jaksa penuntut umum tetap melakukan turut serta bersama-sama melakukan pencurian. Namun untuk pelaku kedua belum diketahui jumlah perhiasan yang dicuri. Setahun kemudian, pelaku kedua ditangkap dan baru diketahui dia mencuri 10 gram emas. Itulah kejadian yang dapat diuraikan. Silakan menjadi bahan renungan penasihat hukum," kata jaksa.
© Copyright 2024, All Rights Reserved