Ada hal baru dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 yang telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 30 Oktober lalu. Dalam APBN tersebut, Pemerintah dan DPR menyepakati sejumlah indikator darurat ekonomi dan kegagalan sistem keuangan sebagai dasar mitigasi fiskal.
Ada sejumlah indikator yang dijadikan acuan dalam menetapkan keadaan darurat ekonomi di APBN 2016. Parameternya, adalah; Pertumbuhan ekonomi diproyeksi meleset minimal 1 persen dari asumsi 5,3 persen; Inflasi terdeviasi minimal 10 persen di atas asumsi 4,7 persen; Nilai Tukar meleset minimal 10 persen dari asumsi Rp13.900.
Selanjutnya, Suku Bunga SBN 3 bulan meleset minimal 5 persen di atas asumsi 5,5 persen; Harga Minyak mentah Indonesia (ICP) lebih tinggi minimal 10 persen dari asumsi US$50 per barel; Produksi (lifting) minyak tidak mencapai target 830 ribu barel per hari (bph) minimal 5 persen dan Produksi gas bumi meleset minimal 5 persen dari target 1,15 juta bph.
Adapun yang dimaksud dengan "sistem keuangan gagal" dalam APBN 2016 ditunjukkan dengan terjadinya kesulitan likuiditas, masalah solvabilitas, kegagalan program penjaminan untuk memenuhi kewajiban pembayaran simpanan, serta menurunnya kepercayaan publik terhadap sistem keuangan.
Dalam APBN 2016, salah satu kondisi yang juga dikategorikan darurat jika terjadi kenaikan biaya utang, di mana imbal hasil (yield) obligasi negara melonjak signifikan.
Apabila krisis yang tidak diharapkan ini terjadi, pemerintah dengan persetujuan DPR dapat melakukan sejumlah langkah mitigasi. Langkah itu, antara lain mengggelontorkan anggaran belanja, lebih besar dari pagu yang sudah dialokasikan dalam APBN 2016.
Pemerintah juga dimungkinkan untuk melakukan pergeseran alokasi anggaran belanja atau bahkan melakukan efisiensi dengan memangkas anggaran belanja.
Adapun sumber pembiayaan belanja tersebut dapat ditarik dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), yang merupakan akumulasi dari sisa lebih pembiayaan (Silpa) tahun anggaran sebelumnya.
APBN 2016 juga memungkinkan pemerintah melakukan penambahan utang yang berasal dari penarikan pinjaman maupun penerbitan obligasi negara.
Pemerintah juga diperbolehkan memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) jika lembaga tersebut mengalami kesulitan likuiditas.
© Copyright 2024, All Rights Reserved