Jagad media massa kembali ramai soal eksistensi pers, seiring dengan putusan Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang menyatakan {Koran Tempo} (dengan beberapa unsur redaksinya) telah melanggar hukum dalam konteks pemberitaannya mengenai Tomy Winata pada edisi 6 Februari 2003 berjudul : {Gubernur Ali Mazi Bantah Tomy Winata Buka Usaha Judi} dan berita terkait berjudul : {Dari Edy Tanzil Sampai Zarima}.
Dalam putusan itu, {Koran Tempo} harus membayar ganti rugi sebesar US$ 1 juta dan meminta ma’af kepada Tomy Winata melalui berbagai media massa.
Mengapa {Koran Tempo} dijatuhi hukuman? Yang jelas, karena pemberitaan yang diturunkannya melanggar hukum. Apa yang dilanggar? Tidak memiliki fakta, bahkan ada fakta yang salah. Berita yang menyangkut Tomy Winata itu diturunkan hanya berdasarkan {desas-desus}. Tidak ada narasumbernya.
Menurut Leo Batubara, Wakil Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers Indonesia, yang hadir sebagai saksi ahli dalam sidang perkara gugatan pengusaha Tomy Winata lainnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dua pekan lalu,dugaan tanpa didukung data dan kebenaran yang akurat tidak bisa diturunkan dalam sebuah pemberitaan. Apabila seseorang merasa dirugikan akibat suatu pemberitaan media massa, bisa langsung mengajukan gugatan ke pengadilan, tanpa harus lebih dahulu mengadukannya ke Dewan Pers. Sebab Dewan Pers tidak berhak memaksa seseorang atau instansi yang dirugikan harus mengadukan permasalahannya kepada Dewan Pers.
"Kalau ada orang atau instansi yang merasa dirugikan atas pemberitaan media massa langsung melakukan gugatan ke pengadilan, silahkan saja. Dewan Pers tidak berhak melarangnya," kata Leo Batubara.
Lantas, dimana letak logika penegakkan hukum atas putusan PN Jakarta Selatan itu? Sungguh banyak. Mulai dari UU Pers hingga KUHP dan keterangan saksi-saksi dari dua pihak yang berperkara. Jadi sangat jelas logika hukumnya.
Apakah keputusan itu tidak mencerminkan rasa keadilan? Justru putusan ini menjadi sebuah cermin rasa keadilan. Sebab, rasa keadilan itu ditempatkan secara benar dan proporsional. Siapapun yang melakukan perbuatan melawan hukum, ya harus dihukum. Tanpa terkecuali.
Kenapa hanya {Koran Tempo} yang dihukum? Tokh ada media lain yang menulis hal serupa? Pertama, ya tentu karena digugat. Kedua, media lain tidak menulis persis seperti yang ditulis {Koran Tempo}.
Mengapa tidak menggunakan UU Pers? Ya jelas, karena delik yang diatur UU Pers tidak ada yang menyangkut pencemaran nama baik. Selain itu, UU Pers tidak berlaku dalam konteks {lex specialis} dalam kasus ini.
Dengan dihukumnya {Koran Tempo}, maka ini sebagai sebuah bentuk pemasungan terhadap Pers? Ya, tentu saja bila persnya menurunkan berita seperti {Koran Tempo} (dalam konteks berita yang digugat). Bila tidak menggunakan kebebasan pers tanpa batas (semena-mena), tentu persnya tidak akan terpasung. Disamping itu, {Koran Tempo} tentu tidak bisa mewakili kalangan pers. {Koran Tempo}, hanya sebagian kecil dari masyarakat pers di Indonesia.
Bila ingin dilihat secara jernih dan dengan hati yang bersih, sebenarnya upaya yang dilakukan Tomy Winata, atau siapapun dia, dengan mengajukan gugatan ke pengadilan, merupakan tindakan yang memang semestinya dan dibenarkan oleh undang-undang yang berlaku di Republik Indonesia.
Membela Hak Azasi Manusia (HAM) yang terlanggar oleh sebuah pemberitaan, merupakan keharusan bagi setiap individu. Dalam negara demokrasi, sebuah upaya hukum untuk membela HAM, merupakan sebuah pencerminan dari proses penegakan hukum itu sendiri. Semua orang sama dimata hukum. Tidak ada yang superior dimata hukum.
Apalagi, dalam sejarah pers di dunia, utamanya di negara-negara yang menganut paham demokrasi, gugatan atau tuntutan terhadap lembaga/institusi pers melalui lembaga peradilan, merupakan hal yang biasa. Justru upaya hukum yang dilakukan untuk menyelesaikan kerugian yang dialami masyarakat akibat perilaku pers merupakan salah satu ciri negara demokrasi. Dimana hukum dijadikan panglima untuk menyelesaikan beragam persoalan yang ada di masyarakat.
Bila ada resistensi atas putusan PN Jakarta Selatan atau pengadilan ditempat lain yang menghukum institusi pers, bisa jadi secara tidak tersurat ingin memaksakan kehendak, bahwa pers tidak pernah salah. Pers tidak boleh dihukum. Pers tidak boleh di{zholimi}. Sehingga yang bisa salah, bisa dihukum, bisa di{zholimi} adalah komunitas diluar pers. Untuk pers tidak.
Bila itu yang diinginkan, tentu negeri ini akan indah sekali bagi pemilik, pengelola, dan insan pers. Akan bebas sebebas-bebasnya. Setiap detik, jam, hari tinggal memilih siapa yang akan dijadikan sasaran tembak.
© Copyright 2024, All Rights Reserved