Perjuangan Tomy Winata menggapai keadilan tampaknya kian membuahkan hasil. Apalagi setelah Majelis hakim memvonis Goenawan Mohammad (tergugat 1) dan Koran Tempo (tergugat 2) bersalah melakukan perbuatan melawan hukum: tindak pencemaran nama baik terhadap bos Artha Graha itu.
Itulah yang terjadi pekan lalu, ketika hakim memberi putusan dalam perkara gugatan perdata pencemaran nama baik yang diajukan Tomy Winata terhadap Goenawan Mohammad, Koran Tempo dan PT Tempo Inti Media Harian di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Senin (17/5).
Majelis hakim yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Zaenal Abidin Sangadji dengan hakim anggota Syamsul Bachrie Bapatua dan Fritz John Polaya (menggantikan Rustam Idris yang sakit) menolak eksepsi tergugat 1 dan 3. Sedangkan dalam pokok perkara, majelis mengabulkan permohonan penggugat (Tomy Winata) sebagian.
Menurut majelis hakim, berita yang dimuat di Koran Tempo Edisi 12 dan 13 Maret 2003 sarat dengan kepentingan dan ada pencampuran opini pribadi. Berita dimulai dengan ‘penyerangan’ kantor Tempo yang terkait dengan kepentingan tergugat 1 dan 2 serta tergugat 3. Oleh pihak Tempo, ‘penyerang’ kantor Tempo dikategorikan sebagai preman dan diasumsikan sebagai orang suruhan Tomy Winata.
“Berita di edisi 12 dan 13 Maret 2003 hanya berselang satu hari dengan ucapan Goenawan Mohammad yang sama. Dengan hanya ditambah dan disambung kalimat-juga jangan sampai jatuh ke tangan Tomy Winata. Berita itu sarat dengan kepentingan dan mencampur-adukkan opini pribadi,” papar Sangadji.
Majelis hakim menimbang bahwa kata preman yang dimaksud Koran Tempo menempatkan Tomy Winata setara dengan preman. Ini merupakan suatu bentuk pencemaran nama baik dan tidak menghormati hak asasi manusia serta asas praduga tak bersalah. Berita itu juga melanggar hak subyektif dan berakibat merugikan nama baik penggugat.
Putusan bersalah dijatuhkan terhadap tergugat 1 dan 2 setelah majelis hakim mempertimbangkan UU No. 40 Tahun 1999 pasal 5 ayat 1. Yakni, pemberitaan pers wajib memisahkan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa susila di masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Kemudian, Butir ke 3 Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang menegaskan, wartawan Indonesia harus menghormati asas praduga tak bersalah, tidak membuat kesimpulan atas kesalahan seseorang.
“Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut majelis memutuskan tergugat 1 dan 2 telah melanggar hukum. Sedangkan tergugat 3 harus patuh dan tunduk atas putusan ini,” lanjutnya.
Akibat perbuatan itu, tergugat 1 dan 2 harus membuat permohonan maaf di halaman 1 Koran Tempo dan Koran Kompas yang mempunyai jangkauan pembaca sampai ke seluruh Indonesia, selama dua hari berturut-turut. Sama seperti dua kali berturut-turut berita yang dipersoalkan dalam perkara ini. Format permohonan maaf berukuran 4 kolom kali 15 cm. Dengan susunan kata-kata: Pengumuman, Saya Goenawan Mohammad selaku pribadi menyampaikan permohonan maaf kepada saudara Tomy Winata sehubungan dengan pernyataan saya-untuk menjaga Republik Indonesia jangan jatuh ke tangan preman, juga jangan sampai jatuh ke tangan Tomy Winata-yang termuat dalam Koran Tempo edisi 12 dan 13 Maret 2003. Demikian pengumuman ini saya sampaikan untuk diketahui khalayak ramai.
“Hakim juga menghukum tergugat 1 dan 2 secara tanggung renteng membayar kepada penggugat uang dwangson (paksa) sebesar Rp10 juta tiap hari bila tergugat 1 dan 2 lalai melaksanakan putusan pengadilan. Terhitung sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap,” kata Sangadji sambil menambahkan, tergugat 1 dan 2 juga dihukum untuk membayar uang perkara.
Meski penggugat berhak menuntut ganti rugi, namun setelah majelis hakim membaca dan meneliti tuntutan ganti rugi moril dan materil dari penggugat yang tidak terperinci, majelis hakim tidak mengabulkan tuntutan ganti rugi. Sebagaimana diketahui, para tergugat dituntut membayar ganti rugi materiil Rp1 miliar dan imateriil sebesar Rp20 miliar. “Karena tuntutan ganti rugi tidak dapat diterima maka penetapan sita jaminan No. 180 PDTG/2003/ PN Jaktim tanggal 25 Desember 2003 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang berlaku. Sita jaminan yang telah dilaksanakan harus diangkat,” paparnya.
Pihak penggugat dalam persidangan diwakili kuasa hukumnya: Erman Umar, Afzal Mahfuz dan Deswal Arief. Sedangkan dari pihak tergugat yang hadir hanya tergugat 1 dan 3 lewat kuasa hukumnya Todung Mulya Lubis, Darwin Aritonang (kuasa tergugat 1) dan Maqdir Ismail, Andi Abdurrahman Nawawi (kuasa tergugat 3).
Dalam persidangan itu, majelis hakim juga mengatakan, pihak tergugat 2 yakni Koran Tempo tidak pernah hadir di persidangan meski sudah dua kali dipanggil secara berturut-turut. Karena itu, tergugat 2 dianggap tidak menggunakan haknya.
Majelis hakim berpendapat gugatan yang diajukan penggugat tidak menyebabkan error in persona. Gugatan telah sesuai ketentuan. Sebab, majelis tidak menemukan ketentuan yang mengharuskan seseorang harus terlebih dulu menggunakan hak jawab sebelum gugatan ke pengadilan. “Hak jawab merupakan hak dan bukan kewajiban. Sehingga bisa digunakan dan bisa juga tidak digunakan,” tegas hakim.
Hakim juga mengatakan, dalil penggugat tidak bisa dibantah oleh penggugat 1 dan 2 selama persidangan berlangsung. Terbukti pernyataan yang dimaksud memang diucapkan oleh Goenawan Mohammad dan dimuat di Koran Tempo edisi 12 dan 13 Maret 2003.
Selain itu, majelis hakim menolak bukti yang diajukan pihak tergugat. Yakni copy berita situs internet Detik.Com dan Koran Sore Suara Pembaruan untuk mendukung argumen bahwa gugatan kurang pihak. “Hakim menolak bukti itu,” tegas Sangadji. Dengan penolakan itu berarti majelis berpendapat gugatan yang diajukan penggugat sudah tepat dan tidak kurang pihak.
Seusai persidangan, kuasa hukum penggugat, Erman Umar, mengatakan, pihaknya akan pikir-pikir atas putusan majelis hakim. Sedangkan kuasa hukum tergugat 1, Todung Mulya Lubis, dan tergugat 3, Maqdir Ismail, menyatakan akan mengajukan banding.
© Copyright 2024, All Rights Reserved