Meski dihantam isu lingkungan dan dumping, volume ekspor produk kelapa sawit Indonesia ke pasar Eropa mengalami peningkatan. Terbukti, hingga Agustus 2016, angka ekspornya sudah mencapai 4.35 juta ton. Diperkirakan hingga akhir tahun ini, ekspor produk sawit Indonesia bisa 5,8 juta sampai 6 juta ton, atau naik dari ekspor produk tahun lalu sebesar 5,3 juta ton.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit, Bayu Krisnamurthi mengatakan, ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke pasar Eropa, semakin meluas. Saat ini, minyak sawit Indonesia diimpor oleh 26 negara eropa, bertambah dari sebelumnya hanya 13 negara. Ada sekitar 70 persen ekspor minyak kelapa sawit Indonesia yang masuk Eropa.
"Bertambahnya negara tersebut, otomatis meningkatkan volume ekspor kelapa sawit Indonesia ke Eropa. Kelapa sawit asal Indonesia masuk melalui Belanda sebagai negara penyalur kemudian disalurkan ke negara Eropa lainnya," kata Bayu kepada politikindonesia.com di Jakarta, Senin (03/10).
Menurutnya, ekspor kelapa sawit ke Belanda hingga Agustus 2016 mencapai 1,74 juta ton, diikuti Spanyol 859 ribu ton, Italia 657 ribu ton. Sedangkan Rusia 450 ribu ton dan Ukraina 235 ribu ton. Untuk ekspor sawit, Belanda memang negara yang terbesar penerima sawit asal Indonesia.
"Karena itu, banyak yang memperkirakan kalau Belanda ini hanya pintu masuk saja, di Pelabuhan Rotterdam. Sebelum kemudian diekspor lagi ke negara lainnya," ujar mantan Wakil Manteri Perdagangan ini.
Dijelaskan, meningkatnya volume ekspor kelapa sawit Indonesia ke Eropa, cukup menarik dilihat. Karena sebenarnya saat ini Eropa justru sedang memperkarakan minyak sawit. Eropa menuduh biodiesel Indonesia, melakukan dumping yang membuat harganya lebih murah. Sehingga, Eropa menerapkan anti dumping duty kepada Indonesia, karena harga minyak Eropa lebih mahal.
"Jadi, peningkatkan ekspor ke Eropa ini menunjukkan betapa kuatnya sawit kita, di tengah berbagai masalah yang sedang kita hadapi. Situasi ini pun menjadi menarik. Sehingga kami bersemangat untuk tetap berusaha membina hubungan baik dengan pasar kita di Eropa," ujarnya.
Ditambahkan, kampanye negatif yang menghantui pasar ekspor sawit ke Eropa di antaranya masalah kerusakan hutan dan tarif masuk seperti pajak super dan anti dumping. Namun, isu utama yang masih jadi perhatian pemerintah dan BPDP sawit yakni penetapan anti dumping di Uni Eropa (UE) dan pengenaan super tax di Perancis.
"Pasar Eropa masih butuh penanganan. Tahun 2013 UE tetapkan tarif anti dumping karena mereka menuduh kita melakukan anti dumping atas produk sawit Indonesia untuk biodiesel sebesar 18,9 persen. Tapi saat ini pengadilan Uni Eropa atau EU Court telah memutuskan pembatalan anti dumping biodiesel dan diperkirakan keputusan pembatalan tersebut akan disidangkan kembali lewat banding sampai November 2016 nanti," ucapnya.
Masalah lainnya, lanjut dia, yakni rencana pengenaan super tax Perancis atas produk sawit Indonesia. Namun rencana tersebut saat ini masih digodok oleh parlemen negara itu. Karena ketidakpastian pasar Eropa yang masih dihadang oleh super tax Perancis.
"Ada usulan tetapkan € 300 per ton produk sawit, kemudian kami nego bisa turun lagi ke € 30 per ton pajaknya. Tapi kami masih negosiasikan terus. Kemudian masih ada aturan sustainable trade di perjanjian CEPA untuk produk vegetable oils termasuk sawit, hutan dan perikanan. Kalau hutan terkait masalah illegal logging, ikan terkait illegal fishing, tapi kalau vegetable oils ini masih harus diperjelas lagi," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved