PERTAMA sekali saya kemukakan, judul tulisan ini tidak terikat hubungan persaudaraan dengan film tenar yang tayang beberapa hari jelang Pemilu 2024. Kalaupun ada kemiripan bunyi, hal itu terjadi tanpa disengaja atau kebetulan. Artikel ini juga tidak ada sangkut paut dengan hingar bingar ajang demokrasi lima tahunan.
Artikel ini justru sangat terkait dengan hal-hal menyangkut kehidupan sehari-hari kita. Yakni perenungan ihwal muasal nasi beserta lauk pauk yang kita konsumsi. Karena, mungkin sedikit di antara kita yang secara sadar mempertanyakan seberapa halal harta yang kita peroleh, sebelum kita belanjakan untuk berbagai keperluan.
Kita boleh berasumsi bahwa lelaku untuk mentransformasikan harta yang menjadi keperluan mendasar kita itu 70 persen lebih didominasi bidang pangan. Karena tidak setiap hari kita belanjakan harta kita untuk keperluan sandang, demikian juga dengan keperluan papan (properti).
Dengan begitu, yang sangat perlu kita teliti setiap saat adalah seberapa bersih makanan yang akan dan telah kita konsumsi? Jangan-jangan kita luput dari kewaspadaan mengenai makanan kita yang ternyata tidak bersih (dirty food).
Bersih tidaknya makanan tidak melulu berhubungan dengan seberapa higienis makanan yang kita masak atau seberapa halal kita memperolehnya. Kendati kita dibekali ketelitian untuk menyaring muasal makanan, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang menentukan bersih tidaknya makanan.
Seseorang bekerja dengan tekun dan memperoleh upah sesuai hasil pekerjaanya. Itu pendapatan halal sekaligus bersih dalam pengertian sesungguhnya. Dari harta yang kita peroleh secara halal itu, kemudian kita belanjakan untuk kebutuhan pangan bersama keluarga.
Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kita menekuni kesetiaan semacam itu dengan selalu meningkatkan kewaspadaan, jangan sampai anak istri disuapi makanan tidak jelas asal usulnya.
Mungkin dengan begitu, siapapun akan merasa percaya diri bahwa hasil jerih payahnya layak untuk dipersembahkan kepada keluarga tercinta.
Di saat yang sama, siapapun yang dengan teguh memegang prinsip kehati-hatian terhadap harta yang ia cari dan peroleh, perlu diberi peringatan atau nasehat dalam dua tanda petik. “Jangan menepuk dada dulu kawanku, hartamu mungkin halal, tetapi di dalam kehalalan itu masih terdapat celah yang memungkinkannya menjadi tidak bersih”.
Potensi kotor
Perkara harta dan termasuk makanan, bisa sangat kotor, kendati kita peroleh dengan cara yang baik. Makanan kita akan tetap berpotensi sebagai dirty food bila kita abai terhadap sisi kiri dan sisi kanan kita.
Makanan kotor (demikian saya menyebutnya) adalah makanan yang kita makan tanpa mendengar rintihan lapar tetangga terdekat kita. Makanan kotor adalah makanan yang kita nikmati, tetapi bahkan kucing yang mendekat ke rumah pun kita usir.
Bahkan, sekalipun kita memberikan sisa-sisa makanan terhadap kucing dalam bentuk tulang, kita tetap berpotensi terjerat labelisasi dirty food.
Dalam Islam, ajaran familiar untuk membersihkan harta terletak pada sejauh mana seorang mukmin menyisihkan sebagian harta untuk orang yang pantas memperolehnya (mustahiq).
Harta atau kekayaan di sini dikatakan, sebagian pun bukan dalam skala separuh. Dan harta itu dapat merujuk pada harta niaga atau perhiasan dalam konteks zakat mal, untuk membedakannya dengan zakat fitrah yang jamak dilakukan ketika Ramadan.
Tidak tanggung-tanggung, Allah SWT bahkan menempatkan zakat sebagai upaya pembersihan harta dalam rukun Islam ketiga. Artinya, posisi hukumnya benar-benar sentral dan sekaligus pokok.
Satu hal lagi yang penting diutarakan adalah, bahwa ajaran zakat tidak menjadi pengecualian bagi kalangan orang bertakwa yang benar-benar memperoleh harta dengan jalan halal.
Ini berarti seseorang (berkecukupan) tidak bisa mengklaim hartanya bersih, sandangnya bersih, dan papannya bersih, bila tidak menyisihkan untuk orang yang membutuhkan, sekalipun itu semua diperoleh dengan jalan halal.
Pertanyaannya adalah, bila harta yang diyakini diperoleh dari jalan yang halal, sekalipun perlu dibersihkan, lantas dibersihkan dari apa? Al-Quran surat Adz Dzariyat ayat 19 menegaskan, “Pada harta benda mereka ada hak bagi orang miskin, (baik) yang meminta dan yang tidak meminta”.
Pada hakikatnya memang semua kekayaan yang diperoleh seorang mukmin berasal dari Allah SWT. Allah yang mencukupi seseorang dan menjadikannya perantara untuk membebaskan saudaranya dari kesusahan, juga kelaparan. Sebab, bagaimanapun kasus kelaparan masih merupakan masalah yang belum bisa sirna di republik ini.
Temuan
Temuan Global Hunger Index (GHI) pada 2023 menempatkan Indonesia sebagai negara yang masih memiliki masalah dengan kasus kelaparan. Skor indeks kelaparan kita mencapai 17,6. Kendati terdapat penurunan skor dalam rentang satu dekade terakhir, tetapi skor indeks GHI Indonesia masih kalah dari beberapa negara lain.
Dalam skala regional misalnya, Indonesia menjadi negara tertinggi kedua dalam indeks GHI. Kita juga masih ingat tentang 23 kasus kematian yang disebabkan kelaparan di Papua pada Oktober 2023 lalu.
Contoh lain yang tidak kalah tragisnya juga terjadi di Kediri pada September 2023, ketika seorang Ibu bernama Utami Sri Rahayu (60), dan Arif Budiman (45), harus menghadap sang khalik dalam waktu yang berdekatan, akibat kelaparan.
Saya tidak berharap ada contoh-contoh sejenis lainnya, meski hampir dipastikan kasus serupa masih terjadi, bahkan mungkin di sekitar kita. Jelas suatu kenaifan bagi siapapun yang membiasakan diri mengutuk pemerintah dengan makian dan kritikan tanpa pernah berbuat sesuatu di sekelilingnya.
Orang-orang yang meninggal karena kelaparan bukan saja disebabkan lambatnya negara dalam menangani masalah ini, tetapi juga disebabkan abainya orang-orang terdekat.
Sikap Peduli
Jelas, semua insan perlu mengembangkan kesadaran tentang sikap peduli. Di lain sisi, pemaknaan tentang ajaran bersedekah, baik harta maupun pangan, harus ditempatkan sebagai telaah kontekstual menyangkut inklusivitas cara berfikir agama terhadap dimensi sosial dalam ruang lingkup mendasar dan aspek kemanusiaan dalam skala yang lebih luas.
Dengan berbagi dan merenungi semua upaya yang kita berikan terhadap sesama, diharapkan menciptakan sensitivitas sosial dan mengembangkannya menjadi suatu ikatan kohesif di masyarakat.
Terlebih di bulan yang penuh rahmat ini, sudah seyogyanya segala unsur menyangkut keterlibatan diri untuk membantu sesama mutlak diperlukan.
Semoga makanan kita menjadi makanan yang bersih karena telah melewati serangkaian proses yang baik, termasuk meliputi upaya berbagi di dalamnya.
*Ketua GP Ansor Banten
© Copyright 2024, All Rights Reserved