Cadangan devisa Indonesia kini mencapai USD 50,3 miliar (sekitar 437,61 triliun), ini berarti meningkat drastis dari posisi awal tahun 2007 yang hanya USD42 miliar. Cadangan kali ini merupakan level tertinggi yang pernah dicapai Indonesia.
Hal ini dikemukakan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah pada wartawan di Jakarta, Senin, (21/5). “Ini merupakan level tertinggi yang pernah dicapai Indonesia,” ujar Burhanuddin dengan nada bangga.
Menurut Burhanuddin, posisi cadangan devisa itu mampu membiayai impor dan membayar utang luar negeri selama lima bulan. Salah satu faktor utama yang mendorong pencapaian tersebut adalah realisasi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang mencapai angka USD 4,6 miliar. “Perkembangan yang menggembirakan pada neraca pembayaran Indonesia per triwulan pertama 2007 menunjukkan surplus USD 4,6 miliar,” ungkap Gubernur BI tersebut.
Selain itu, kondisi tersebut juga didorong oleh perbaikan kinerja {current account} atau transaksi berjalan yang mencatat surplus USD 3,2 miliar, sejalan dengan peningkatan ekspor non migas yang lebih tinggi akibat perkembangan harga yang lebih kondusif sementara impor tumbuh sesuai perkiraan. Sebelumnya Burhanuddin sempat mengusulkan untuk mengumpulkan cadangan devisa di tingkat regional. Ini penting dilakukan untuk meningkatkan ketahanan mata uang masing-masing di kawasan yang saling terkait.
Selain itu, Gubernur BI tersebut juga menyatakan bahwa dengan penguatan cadangan devisa tersebut, BI sebagai otoritas moneter akan membiarkan penguatan rupiah yang terjadi. Aliran asing yang masuk ke Indonesia diproyeksikan juga akan terus terjadi sehingga Bank Indonesia hanya akan menjaga volatilitas dari nilai tukar rupiah.
Sementara itu ditempat yang sama, Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom menjelaskan bahwa penguatan rupiah berdampak positif bagi perekonomian Indonesia. Setiap kenaikan nilai tukar 1 persen maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi 0,05 persen dan mengurangi laju inflasi 0,07 persen.
Miranda juga menjelaskan bahwa penguatan tersebut berdampak signifikan pada dunia usaha terutama bagi importer dan eksporter. “Angka sekarang untuk importer {comfortable}, tapi untuk eksportir ini akan membuka kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki/efisiensi. Saya memahami setiap ada penguatan rupiah pasti ada beberapa eksporter yang tidak menyukainya,” jelas Miranda.
Miranda menjelaskan, untuk beberapa komoditi ekspor yang memiliki konten impor yang tinggi, justru akan membuat biaya produksi lebih murah. “Jadi kalau pun rupiah yang diterima lebih sedikit dari hasil ekspor, tapi rupiah yang dikeluarkan untuk impor lebih murah, buat mereka hampir sama,” tuturnya.
Pemerintah sebenarnya, masih menurut Miranda, tinggal memanfaatkan modal yang positif tersebut untuk mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tahun ini dicanangkan tumbuh mencapai 6,3 persen. Dari data yang dirilis oleh BPS, pencapaian pertumbuhan ekonomi dalam kuartal pertama tahun ini mencapai angka 6 persen.
© Copyright 2024, All Rights Reserved