Dukungan dan kemitraan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kupang untuk bergerak cepat dan tepat dalam mendukung mimpi besar pemerintah mencapai swasembada garam nasional menemui kendala. Pasalnya, Pemkab belum mengeluarkan rekomendasi penerbitan hak guna usaha (HGU) atas lahan di Teluk Kupang yang akan menjadi lokasi ekstensifikasi tambak garam.
Bupati Kupang Ayub Titu Eki mengatakan, pihaknya saat ini memang belum menyetujui HGU terhadap 3.720 hektar (ha) lahan garam di Kupang. Lahan tersebut, rencananya akan dikelola oleh PT Panggung Guna Ganda Semesta. Untuk mengelola sejumlah lahan tersebut saat ini hanya ada klaim HGU saja dari PT Panggung Guna Ganda Semesta.
“HGU itu dibuat oleh Badan Pertahanan Nasional (BPN) sejak tahun 1992. Namun, HGU yang diterbitkan itu tidak melalui persetujuan sehingga tidak sesuai dengan cara pandang warga lokal atau menurut masyarakat tidak prosedural. Jadi izin HGU itu kami anggap illegal. Bahkan, selama 26 tahun HGU itu tidak dicabut. Padahal dalam aturanya, dalam 3 tahun harus dicabut, tapi hal ini hingga saat ini belum dilakukan,” katanya kepada politikindonesia.com di Jakarta, Selasa (22/05).
Terlebih, lanjutnya, di dalam lahan seluas 3.720 ha itu terdapat pemukiman, gereja, dan sekolah. Maka, pihaknya pun mempertanyakan batasan lahan tersebut ada di mana. Karena masyarakat sendiri juga tidak tahu batasnya, walaupun jumlah luasannya jelas. Sehingga lahan tersebut seperti lahan yang memiliki izin HGU. Bahkan, hingga saat ini masyarakat tidak pernah berpindah dari lahan itu.
“Jika memang ada izin HGU, maka tidak hanya luasannya saja yang jelas namun juga soal batasannya. Karena, masyarakat mengelola lahan tersebut secara fisik sehingga bisa dikatakan mereka masih menguasai lahan itu. Kami pun tidak bisa begitu saja merelokasi warga ke lokasi baru. Apalagi saat ini warga sudah tidak mau melepasnya. Kalau masalah tanah, orang Kupang sesama saudara bisa saling bunuh. Mereka menganggap tanah itu bagian dari hidup mereka," paparnya.
Dia menjelaskan, saat ini, pihaknya telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk dapat turun tangan menyelesaikan persoalan yang tengah dialami. Karena sejak awal, pihaknya menganggap pemberian HGU 26 tahun silam bermasalah. Padahal, lahan tersebut sudah ditinggali secara turun temurun oleh masyarakat setempat dan saat ini sudah menjadi pemukiman, sekolah, tempat peribadatan dan bangunan lainnya.
“Kami bersama seluruh elemen masyarakat pemangku hak tanah yang diklaim sebagai HGU perusahaan pun menganggap HGU tersebut ilegal karena proses penetapannya tidak sesuai aturan, dipaksakan dan ditetapkan secara sepihak.
Sekarang, lahan HGU seluas 3.720 ha yang ditelantarkan itu pun akhirnya tidak dapat difungsikan secara maksimal karena masyarakat tidak memiliki kemampuan mumpuni untuk memproduksi garam secara swadaya,” tegasnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Lembaga Pemangku Adat Kupang Yorhan Yohanes Nome menambahkan, secara hukum, jika tanah telah dibiarkan selama puluhan tahun, kemudian tanah itu ditempati oleh masyarakat dan tidak ada teguran kepada masyarakat yang menempati selama puluhan tahun tersebut, hak kepemilikan akan tanah tersebut pun gugur.
“Jadi tanah tersebut memamg milik rakyat secara sah. Lagi pula, sebenarnya masyarakat tidak mau kompensasi diberikan dalam bentuk uang. Masyarakat ingin lahan tersebut diganti dengan tanah. Karena masyarakat di sana prinsipnya tidak mau jual tanah,” urainya.
Diakuinya, terlepas dari masalah lahan tersebut, pihaknya mendukung penuh pengembangan tambak garam di Kupang. Karena hal itu dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan berharap melalui koordinasi, masyarakat dapat membebaskan lahan untuk perkembangan tambak garam kedepannya.
“Sebenarnya, saya pribadi mendukung program ini karena bermanfaat untuk perekonomian masyarakat. Selain itu, saya juga berharap masyarakat dapat memberi lahan untuk pengembangan lahan tambak nantinya” ujar dia.
© Copyright 2024, All Rights Reserved