Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 5,25 persen. Keputusan itu diambil dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang dilangsungkan pada 28-29 Juni 2018.
Gubernur BI Perry Warjiyo, mengatakan keputusan ini diambil sebagai upaya menstabilkan nilai tukar rupiah di tengah besarnya tekanan global, khususnya dari Amerika Serikat (AS). Saat ini nilai tukar rupiah sudah diatas Rp 14.000.
“RDG BI memutuskan untuk menaikkan 7DRRR sebesar 50 basis poin menjadi 5,25 persen. Ini berlaku mulai hari ini, Jumat 29 Juni 2018," terang Perry di Kompleks BI, Jumat (29/06).
BI juga menaikkan dengan suku bunga deposit facility dan suku bunga lending facility sebesar 50 bps, masing-masing menjadi 4,5 persen dan 5,75 persen.
Sekedar informasi, kenaikan bunga acuan BI ini adalah yang ketiga kalinya pada tahun ini, setelah sebelumnya BI menaikkan suku bunga pada 17 Mei dan 30 Mei lalu sebesar 0.25 basis poin.
BI memprediksi, arah kebijakan bank sentral AS, The Federal Reserve akan lebih agresif sampai akhir tahun ini. The Fed diperkirakan akan menaikkan bunga acuannya hingga empat kali atau lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya sebanyak tiga kali sampai akhir tahun ini.
Begitu pula tahun depan, kenaikan pada tahun depan, diperkirakan akan meningkat dari dua kali menjadi tiga kali. Hal ini diperkirakan akan terus meningkatkan imbal hasil (yield) surat utang atau obligasi AS (US Treasury).
Selain itu, ada pula tekanan dari bank sentral Eropa (The European Central Bank/EBC) yang akan mengurangi pembelian obligasi pada September nanti dan menghentikan pembelian pada Desember 2018.
Sentimen juga datang dari bank sentral China yang menurunkan batas Giro Wajib Minimum (GWM). Hal tersebut juga membuat mata uang China, renmimbi melemah.
Sentimen negatif dari memanasnya tensi perang dagang antara AS-China dan Uni Eropa juga meningkatkan risiko dan ketidakpastian pasar keuangan global.
Pada akhirnya, ini memicu penguatan dolar AS terhadap hampir semua mata uang global, termasuk rupiah. Rupiah sendiri telah terdepresi hingga 5,72 persen sejak 1 Januari hingga 28 Juni 2018.
Sedangkan di dalam negeri, BI melihat sebenarnya perekonomian domestik tetap baik. Hal ini terlihat dari inflasi yang terjaga rendah. Inflasi Mei 2018 sebesar 0,21 persen secara bulanan (month-to-month/mtm). Lalu, inflasi secara tahun berjalan (year-to-date/ytd) sebesar persen dan secara tahunan (year-to-year/yoy) di angka 3,23 persen.
Meski neraca perdagangan kembali mengalami defisit sebesar US$1,52 miliar pada Mei lalu. Namun, secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi kuartal II 2108 diperkirakan tetap tumbuh baik dan pada akhir tahun ini ditargetkan menembus 5,1-5,5 persen.
Sebab, konsumsi rumah tangga diperkirakan akan tinggi berkat stimulus fiskal dari pemerintah berupa Tunjangan Hari Raya (THR) dan inflasi rendah. Hal ini tercermin pula dari kenaikan penjualan ritel dan kendaraan bermotor. Selain itu, investasi terlihat baik. Begitu pula dengan impor dan ekspor.
© Copyright 2024, All Rights Reserved