Pemerintah dinilai perlu membenahi data jagung nasional demi memperbaiki akurasi perencanaan pangan. Pusat Kajian Pangan Strategis (PKPS) akan menggelar Konvensi Jagung Nasional 2017. Konvensi ini untuk mencari solusi atas polemik komoditas jagung yang kerap mengalami masalah, seperti kelangkaan, besarnya impor, gejolak harga dan kualitas.
Ketua PKPS Siswono Yudohusodo mengatakan, jagung merupakan komoditas strategis dan menjadi sumber pakan utama dalam industri ternak unggas (ayam). Namun, budidaya tanaman jagung beberapa tahun terakhir belum memperlihatkan kondisi dan proses yang ideal. Hal itu dilihat dari pola tanamnya berskala kecil dan tersebar sehingga tidak efisien dan berbiaya tinggi.
“Itulah yang mempengaruhi terjadinya kekurangan pasokan jagung untuk industri pakan, ketidakpastian data produksi dan peningkatan penggunaan bahan substitusi yang berasal dari produk impor. Sehingga Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) tidak maksimal memperoleh bahan bakunya," katanya kepada politikindonesia.com di Jakarta, Senin (07/08).
Melihat kondisi tersebut, lanjutnya. dikhawatirkan pakan ternak di Indonesia akan digantikan dengan gandum untuk ternak. Indonesia tidak bisa memproduksi gandum, akhirnya impor juga. Padahal gandum yang digunkana adalah yang berkualitas rendah dimana tidak digunakan untuk pangan di negara asalnya. Walaupun harga gandum sangat murah, seharusnya Indonesia bisa meniru Amerika yang memakai pakan ternak berbasis jagung.
“Saat ini pemerintah mengklaim kita sudah swasembada jagung bahkan memilih menutup impor jagung, maka tak heran kalau pengusaha makanan ternak memilih mengimpor bahan baku pengganti berupa gandum berkualitas rendah. Karena kualitasnya jelek, gamdum itu juga tidak boleh kita konsumsi," tegasnya.
Menurutnya, pembenahan manajemen produksi jagung nasional perlu memperhatikan kelemahan dan potensi yang ada pada jagung. Sebab, pemanfaatan jagung di Indonesia berbeda dengan di Eropa dan Amerika. Di Eropa, pakan bertumpu pada kedelai dan jagung lebih untuk manusia. Sedangkan di Amerika, jagung menjadi komponen utama pakan ternak, sehingga jagung sangat dibutuhkan pabrik pakan skala besar dan peternak ayam mandiri.
"Namun di Indonesia, jagung sudah dikembangkan dalam berbagai bentuk produk turunan, untuk produk pangan manusia dan pakan ternak. Sehingga pengembangannya memerlukan langkah yang sistematis dan bertahap. Salah satunya menjadikan Indonesia sebagai negara eksportir jagung. Caranya, menambah pengelolaan stok jagung hingga 3 juta per tahun dan menyediakan kebutuhan industri pakan ternak hingga 12 juta ton per tahun," paparnya.
Diakuinya, Indonesia memiliki potensi besar untuk mewujudkan swasembada jagung, bahkan untuk menjadi eksportir. Karena dalam satu tahun bisa panen 2 hingga 3 kali atau 1 kali bergantian dengan produk pangan lainnya di lahan yang sama. Dengan kelebihan itu, Indonesia perlu mengembangkan berbagai jenis industri jagung yang tidak terbatas untuk bahan baku pakan ternak.
"Peningkatan produksi jagung bisa dilakukan melalui pemberian intensif harga pada petani agar mau meningkatkan produksi. Karena pengaturan harga jagung untuk pasokan pakan ternak perlu dijaga agar tidak terlalu tinggi, walaupun biaya pakan adalah yang tinggi dalam produksi ayam. Selain itu, pembatasan impor jagung juga perlu dilanjutkan," imbuhnya.
Siswono menjelaskan, pengembangsn jagung di Indonesia membutuhkan perluassn ketersediaan lahan yang memadai. Perluasan areal tanam untuk komoditas jagung saat ini sekitar 3,5 juta per hektar (ha). Hal ini perlu dikombinasikan dengan peningkatan mutu benih agar terjadi peningkatan produksi sekitar 5 juta ton per ha.
"Untuk mempercepat peningkatan areal jagung bisa dilakukan dengan memanfaatkan lahan pertanian yang belum efisien, seperti lahan tidur dan hutan yang rusak akibat eksploitasi. Selain itu juga ada lahan milik Inhutani dan Perhutani yang bisa dimanfaatkan. Pemanfaatan untuk perluasan areal, sebaiknya bekerjasama dengan swasta agar kualitasnya terjamin. Sehingga jangung impor bisa digantikan dengan produk dalam negeri," ungkapnya.
Sementara itu, Penasihat GPMT, Sudirman, menambahkan, jumlah pasokan jagung yang diserap pihaknya masih minim. Padahal, pasokan jagung itu menjadi bahan baku untuk memproduksi pakan, khususnya unggas. Adapun total kebutuhan jagung untuk GPMT tiap tahunnya mencapai 18,5 juta ton dan menargetkan pada 2020 mendatang menjadi 26 juta ton per tahun.
"Karena produksi dalam negeri tak bisa semuanya diserap dan keran impor jagung ditutup per Januari 2017 sampai sekarang, maka pengusaha memutar otak dengan mencari penggantinya berupa gandum. Maka, impor gandum meningkat dari 400 ribu pada 2015 menjadi 3 juta ton di 2016," tandasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved