Percaya atau tidak, Indonesia akan diteror lagi oleh bom teroris. Sasarannya adalah hotel berkelas internasional dan permukiman warga asing. Lagi-lagi, koran Singapura memuat prediksi itu dalam edisi kemarin.
The Sunday Times (ST), edisi Minggu koran The Straits Times, lagi-lagi menyebutkan bahwa pelaku teror itu adalah kelompok sempalan garis keras Jamaah Islamiyah (JI). Kapan teror tersebut akan dilakukan?
Seperti dilansir Jawa Pos, menurut ST, teror itu akan terjadi pada Desember 2003. Dari mana ST mendapatkan bahan laporannya? Layakkah dipercaya? ST menyatakan mendapatkan bahan laporan itu dari sumber di Intelijen Indonesia yang tidak mau disebutkan jati dirinya. Nah, menurut sumber tersebut, 12 orang dalam "generasi baru" JI merencanakan aksi di hotel-hotel berbintang serta permukiman warga asing di tiga kota besar, yakni Jakarta, Surabaya, dan Medan.
Untuk serangan itu, jelas sumber ST tersebut, para pelaku kini masih memiliki dua bom berkekuatan ledak dahsyat dan sekitar 200 kg bahan peledak. Kedua belas pelaku itu dinyatakan berasal dari enam sel teroris (terrorist cell) di Indonesia.
Selama tiga tahun terakhir, kata dia, keenam sel tersebut melatih tidak kurang dari 100 anggota militan. "Yang mencemaskan, Indonesia kini telah menjelma sebagai lahan perburuan nan empuk bagi ekstremis seperti JI untuk merekrut bibit baru dan melatih militan-militan baru," jelas sumber itu seperti yang dikutip ST.
Dia menambahkan, secara ideologis, "generasi atau pendatang baru" JI tersebut tidak berbeda dari para pendahulunya. Mereka sama-sama merupakan garis keras.
Lantas, siapa pemimpin operasi pada misi teror Desember nanti? Menurut The Straits Times, pemimpin tersebut masih merupakan dua sosok yang hingga kini terus diburu setelah melakukan peledakan di Bali tahun lalu serta bom di Hotel JW Marriott, Jakarta, bulan lalu.
Mereka adalah Azahari bin Husin yang diketahui sebagai salah seorang pembuat bom paling senior JI dan Zulkarnaen yang disebutkan ST sudah mengambil alih komando kelompok itu setelah penangkapan Hambali di Thailand pada bulan lalu.
Di Singapura, ST menurunkan berita dengan muatan antisipasi menghadapi teror bagi hotel-hotel berbintang dan permukiman warga asing di Indonesia. Beberapa analis keamanan mempunyai opini pelengkap yang sebagian besar masih sesuai keadaan di lapangan hingga kini.
Kepada kantor berita AFP, tiga analis itu lebih menitikberatkan pada kurangnya keamanan di bandara negara-negara Asia Tenggara. Thailand disebutkan paling rawan serangan teroris.
Sebab, pesawat yang datang dan terbang dari Bandara Internasional Don Muang, Bangkok, relatif lebih mudah dijangkau rudal dari darat ke udara. Rudal itu kemungkinan dilesakkan teroris karena lokasinya dekat dengan kota yang padat penduduk dan lapangan golf.
Bagaimana dengan Indonesia? Persis seperti di Filipina. Tapi, bandara di ibu kota Jakarta dan Manila saat ini tergolong ketat. Bandara di kota-kota lain dinyatakan relatif lebih longgar untuk melakukan pembajakan pesawat sebagai sarana teror seperti 11 September 2001.
"Jika kalian berbicara tentang keamanan bandara di Asia, sebagian besar penguasanya mengakui fakta bahwa mereka begitu mudah menjadi target teroris," jelas Andrew Tan, pakar di Institute of Defence and Strategic Studies, Singapura.
Dia menjelaskan, keamanan bandara di Asia kian diperketat tidak hanya setelah teror 11 September. Pengetatan itu dimulai sejak 1995 ketika muncul ancaman oleh kelompok militan yang menyebut dirinya sebagai "Operasi Bojinka" untuk mengebom 11 pesawat komersial AS yang terbang di kota-kota Asia.
Meski demikian, menurut Tan, karena ciri-ciri lokasi tersebut, Bandara Don Muang rawan menjadi target. "Seseorang yang duduk di atas atap sebuah pusat perbelanjaan bisa menembakkan rudal dari darat ke permukaan bandara," tegasnya.
Indonesia? Menurut Tan, teroris mungkin memilih membajak pesawat milik maskapai regional, lalu dibawa ke sasaran-sasaran di negara lain di wilayah (Asia) seperti Singapura.
Clive Williams, direktur kajian terorisme pada Australian National University, menyebutkan, meski menjadi ancaman di Asia, pembajakan pesawat untuk misi teror, tampaknya, jauh lebih kecil digunakan para teroris. Mereka lebih suka menggunakan cara-cara sederhana, tapi lebih menjamin membuahkan hasil. Misalnya, peledakan bom mobil di Bali dan Jakarta.
"Saya justru berpendapat, kemampuan mereka (teroris) tidak banyak mengenai pesawat. Apalagi, saat ini, membajak pesawat itu jauh lebih sulit," katanya.
Meski demikian, Williams sependapat dengan Tan dan Rohan Gunaratna, pakar terorisme lainnya asal Singapura. Yakni, saat ini, rudal dari darat ke permukaan menjadi ancaman yang harus diperhitungkan serius di Asia. November lalu, dua rudal panggul melesak di langit Kenya membidik pesawat komersial Israel.
Tiga analis tersebut menjelaskan, saat ini, rudal jenis itu tergolong mudah didapatkan di Rusia, Pakistan, negara-negara Balkan, dan Ukraina. "Al Qaidah dan kelompok-kelompoknya mempunyai kemampuan melesakkan rudal tersebut, khususnya di negara-negara Tanduk Afrika dan Teluk," jelas Gunaratna.
Karena mereka juga mempunyai akses ke shipping alias pengiriman, bila tak diantisipasi secara jitu, hanya soal waktu ancaman tersebut menjadi kenyataan.
Menurut Gunaratna, meski bandara-bandara di ibu kotanya ketat, Filipina dan Indonesia masih menjadi yang terlemah di Asia-Pasifik dalam hal pengamanan udara. Sedangkan Australia, Selandia Baru, Jepang, Korsel, Taiwan, Singapura, dan Hongkong dinyatakan masuk kategori terbaik.
© Copyright 2024, All Rights Reserved