Aturan Pasal 2 ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Aturan tersebut mensyaratkan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Gugatan itu diajukan oleh 5 pemuda alumni dan mahasiswa Universitas Indonesia. Mereka merasa aturan ini berpotensi merrugikan hak-hak konstitusionalnya.
“Pemaksaan yang dilakuan oleh Negara agar tiap warga negara melangsungkan perkawinan sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya melalui Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 merupakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama yang diakui melalui Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945," ujar salah satu pemohon, Damian Agata Yuvenus, saat membacakan permohonannya dalam sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (04/09).
Kelima pemohon yang terdiri dari Damian Agata Yuvens, Rangga sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi, dan Luthfi Saputra ini juga menilai Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah membatasi hak untuk melangsungkan perkawinan.
Pemohon juga menilai ketentuan tersebut membuka ruang penafsiran yang amat luas dan menimbulkan pertentangan antarnorma sehingga tidak dapat menjamin terpenuhinya hak atas kepastian hukum yang adil. Mereka juga menilai pembatasan yang ditentukan ketentuan ini tidak sesuai dengan konsep pembatasan terhadap hak dan kebebasan yang ditentukan dan menyebabkan terjadinya berbagai macam penyelundupan hukum dalam bidang hukum perkawinan dan merupakan norma yang tidak memenuhi standar sebagai peraturan perundang-undangan.
Pemohon juga menilai keberadaan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan justru bertentangan dengan tujuannya sendiri, yaitu agar tiap perkawinan didasari pada hukum agamanya masing-masing, selain itu ketentuan tersebut menyebabkan permasalahan dalam hubungan suami-istri dan orang tua-anak.
Pemohon mengungkapkan permasalahan ini muncul karena ketentuan ini tidak mengijinkan perkawinan beda agama, sehingga banyak orang pindah agama agar bisa melakukan perkawinan. Untuk itu, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sidang pengujian UU Perkawinan ini diketuai Majelis Panel Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dengan anggota Arief Hidayat dan Muhammad Alim.
Menanggapi permohonan ini, Wahiddudin meminta pemohon untuk menjelaskan pertentangan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU perkawinan ini dengan UUD 1945. Wahiduddin juga meminta untuk menampilkan perbandingan dengan negara lain yang mengunakan sistem pengaturan nikah beda agama. “Pemohon dalam kasus ini hanya menampilkan contoh dan lebih banyak pada pelaksanaaannya mendapat kesulitan," ujar Wahiduddin.
Sedangkan Arief mempertanyakan tidak konstitusionalnya UU Perkawinan, khususnya Pasal 2 ayat (1) UU perkawinan yang mengatur perkawinan berdasarkan agama. “Tidak konstitusional itu kenapa menurut anda dan dimana letaknya. Saya melihat bisa dipertajam, lebih mengelaborasi dari aspek filosofinya," katanya.
Arief juga mengingatkan bahwa konstitusi Indonesia memang bukan menganut berdasarkan agama, tetapi juga bukan sekuler tetapi berdasarkan Pancasila.
“Pancasila menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjadi landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jelaskan filosofinya dari situ, itu bisa digunakan untuk memperkuat posita anda," saran Arief.
Panel hakim konstitusi memberikan kesempatan 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved