“Akrobat“ hukum melalui gugatan praperadilan yang diajukan oleh Komjen Budi Gunawan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hampir dapat dipastikan sia-sia. Jikapun permohonan pembatalan penetapan tersangka itu dikabulkan Hakim, hal itu tidak bisa begitu saja menghentikan penyidikan perkara pokok yang dilakukan oleh KPK.
Dalam waktu yang tak lama, KPK bisa kembali menetapkan status tersangka terhadap BG dengan terlebih dahulu memperbaiki prosedur yang dilakukan dengan memenuhi ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sebelumnya dianggap dilanggar oleh hakim Praperadilan.
Contoh kasus yang nyaris sama, pernah dilakukan oleh Polda Riau yang kalah dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Rokan Hilir dari pemohon Awi Tongseng pada Mei 2014 lalu. Meskipun Awi Tongseng sempat dibebaskan dari tahanan namun Polda Riau tetap melanjutkan kasus keterangan palsu yang menjeratnya.
Alasan yang digunakan Polda Riau waktu itu adalah PN Rohil hanya membuat putusan bebas dari tahanan Polda saja, bukan putusan bebas dari tuntutan pasal 242 KUHP (keterangan palsu).
Yang diperlukan KPK untuk kembali menetapkan status tersangka hanya adanya bukti permulaan sebagaimana diatur pasal 1 angka 14 KUHAP yang berbunyi :
“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. “
Karena KUHAP tidak menyebut berapa jumlah bukti permulaan, maka satu bukti pun jika sudah dirasa cukup kuat dapat digunakan oleh KPK.
Sejak awal, upaya praperadilan ini memang aneh, karena mempersoalkan penetapan status tersangka. Penetapan seseorang menjadi tersangka adalah domain dari persidangan pokok perkara, karena menyangkut kuat atau tidaknya alat bukti.
Sementara persidangan praperadilan didesain hanya untuk memeriksa aspek-aspek formil prosedural. KUHAP mengatur Hakim Pokok Perkara berjumlah minimal 3 orang dengan waktu sidang bisa berbulan-bulan. Sementara hakim praperadilan hanya 1 orang dan waktu persidangan praperadilan hanya 7 hari, sebab yang diperiksa di sidang praperadilan jauh lebih ringan.
Terlepas apapun putusan hakim praperadilan, kami berharap kasus rekening gendut dapat terus diusut sampai tuntas. Baik KPK yang mewakili negara dan publik maupun BG selaku warganegara akan sama-sama diuntungkan jika pokok perkara kasus ini benar-benar dapat disidangkan dan masalah rekening gendut dibuat terang benderang. Kedua belah pihak akan punya waktu dan kesempatan yang cukup untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Jakarta 11 Februari 2015
*Juru Bicara Serikat Pengacara Rakyat, Habiburokhman, S.H
© Copyright 2024, All Rights Reserved