Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno, akhirnya, mencopot jabatan Sutrisno sebagai ketua STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri). Untuk sementara, Mendagri menunjuk Sekjen Depdagri Dr Siti Nurbaya sebagai penanggung jawab operasional kampus kedinasan yang terletak di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, itu.
Pencopotan jabatan Sutrisno tersebut merupakan buntut mencuatnya berbagai kasus kekerasan hingga memakan korban jiwa di dalam kampus STPDN. Yang terakhir adalah meninggalnya praja (mahasiswa) tingkat II Wahyu Hidayat setelah "dibina" dengan berbagai pukulan oleh para seniornya.
Selain mengambil alih langsung kepemimpinan di STPDN, Depdagri tetap pada rencana awal, yaitu menggabungkan sekolah para calon lurah dan camat itu dengan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan). Dua kampus kedinasan di lingkungan Depdagri tersebut akan dilebur menjadi IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri).
Kepala Biro Organisasi, Humas, dan Protokoler Depdagri I Nyoman Sumaryadi di Depdagri kemarin mengatakan kepada wartawan, "Istilahnya, Pak Sutrisno akan dialihtugaskan. Selanjutnya, akan ke mana dia, saya belum tahu. Besok (hari ini, Red) akan diumumkan Pak Menteri (Mendagri Hari Sabarno, Red)."
Namun, Nyoman menolak anggapan bahwa pencopotan jabatan Sutrisno itu disebabkan yang bersangkutan bersalah. "Proses secara perdata maupun pidana kan belum selesai. Dalam mekanisme kepegawaian kan ada aturannya," tandasnya.
Menurut Nyoman, pengalihtugasan tersebut tidak bisa diartikan sebagai penonaktifan. Selama kesalahannya tidak jelas, yang bersangkutan akan ditugaskan ke tempat lain. "Kecuali dia punya kesalahan dan kesalahannya sudah diproses. Maka, hukumannya jelas, apakah harus nonaktif, apakah diberhentikan, ataukah harus diturunkan jabatannya. Itu ada mekanismenya," jelasnya.
Depdagri memang menganggap persoalan STPDN sebagai persoalan yang serius. Sebagai langkah darurat di masa transisi ini, Mendagri memutuskan untuk mengambil alih langsung kepemimpinan di STPDN. Kepemimpinan baru di bawah Dr Siti Nurbaya berlaku mulai Kamis besok. "Resminya, akan disampaikan Mendagri langsung," katanya.
Menurut Nyoman, keputusan pengambilalihan STPDN itu sudah melewati penggodokan yang masak. Setidaknya, menurut dia, Depdagri sudah melakukan pertimbangan lewat delapan aspek.
Aspek itu, antara lain, pembicaraan dengan alumnus APDN dan STPDN, diskusi dengan mantan Mendagri Rudini dan mantan Sekjen Depdagri Nugroho, hasil kajian dari Universitas Gajah Mada, serta opini yang didapat dari kliping berbagai media massa.
Empat aspek lain berasal dari internal Depdagri. Diungkapkan, Mendagri sudah meminta empat lembaga di departemennya untuk mengkaji pengambilalihan itu, termasuk mencari masukan dari daerah. Lembaga itu adalah Balitbang (Badan Penelitian dan Pengembangan) untuk seluruh aspek manajemen, Badiklat (Badan Penelian dan Latihan) untuk aspek pengajaran dan kurikulum, Inspektorat Jenderal untuk aspek administrasi, serta Biro Kepegawaian untuk aspek kesiswaaan, human behaviour, dan eksistensi sosial.
Tentang rencana peleburan STPDN dengan IIP untuk dijadikan IPDN, Nyoman membantah anggapan bahwa itu dilakukan hanya gara-gara mencuatnya kasus kekerasan di STPDN. Menurut dia, peleburan merupakan implikasi UU Pendidikan Nasional yang melarang satu departemen mempunyai dua lembaga pendidikan. Selain itu, penggodokannya pun sudah dilakukan dua tahun lalu.
"Tapi, kejadian ini memang merupakan pemicu untuk mempercepat proses itu," cetus Nyoman.
Para orang tua pasti berpikir seribu kali untuk menyekolahkan anaknya ke STPDN jika mendengar pengakuan Inu Kencana Safei tentang berbagai kebobrokan di kampus tersebut. Ternyata, kebobrokan di STPDN tidak hanya berbentuk penganiayaan fisik mahasiswa senior terhadap juniornya.
Berbagai kasus lain, seperti pemakaian dan pengedaran narkoba serta hubungan seks di luar nikah antarpraja, mewarnai kehidupan sehari-hari di STPDN.
Informasi mengenai berbagai kebobrokan itu diungkapkan Inu kepada wartawan setelah menghadap Wakil Ketua DPR A.M. Fatwa di gedung DPR/MPR. Staf pengajar STPDN itu membawa segepok dokumen untuk memperkuat pengakuannya dan meminta DPR segera menindaklanjuti.
Awalnya, Inu tak mau membeberkan isi tumpukan dokumen dalam map tersebut. Alasannya, dirinya takut, kalau membeberkan, ancaman terhadap dirinya makin besar.
"Setelah ada penayangan di SCTV saja, para siswa mengintimidasi saya. Katanya, saya akan dipukuli seperti yang ada di TV itu," ungkap Inu.
Namun, setelah diyakinkan Fatwa, akhirnya dia mau menjelaskan isi dokumen yang diserahkan kepada politikus PAN tersebut. Inu mulai dari dokumen yang berisi tekanan dari pimpinan STPDN kepada dirinya agar tidak membocorkan berbagai penyimpangan yang terjadi di kampus itu.
Dijelaskan Inu, sering dirinya mengungkapkan berbagai praktik busuk di STPDN. Bahkan, ketika melakukan pengungkapan itu, dirinya mengikutsertakan polisi. Namun, tampaknya, pimpinan di STPDN tak suka dengan tindakannya itu.
Inu juga mengatakan pernah diminta menandatangani perjanjian untuk tidak mengekpos kasus-kasus tersebut. Jika bersedia, pimpinannya juga akan menandatangani kenaikan pangkatnya.
"Akhirnya, saya terpaksa bertanda tangan. Tapi, setelah kasus terakhir ini, saya ingin mengakhiri semua itu," tegasnya.
Dokumen lain yang diserahkan kepada Fatwa kemarin juga terkait masalah penganiyaan serta penyiksaan yang dilakukan para mahasiswa, mulai yang ringan hingga puncaknya, yakni kematian Wahyu Hidayat beberapa waktu lalu.
Pria yang mengajar di STPDN sejak 1990 tersebut mengaku sangat mencintai almamaternya. Karena itu, sebagai alumnus dan guru yang baik, dirinya mengaku tidak bisa menerima adanya berbagai tindakan buruk kepada para mahasiswa STPDN.
Apalagi, kata dia, di kampus yang sering disebut sebagai Kesatrian tersebut, para siswanya ternyata telah menjadi penikmat narkoba, bahkan ada yang menjadi pengedar.
Begitu pula mengenai kehidupan seks di kampus itu. Menurut penulis 26 buku bertema pemerintahan tersebut, seks bebas juga mulai menjangkiti STPDN. Dan, kasus yang paling mencolok, kata dia, akibat hubungan bebas tersebut, seorang mahasiswi bernama Utari meninggal setelah diaborsi di Cimahi, Jawa Barat. Sementara itu, sang kekasih, Arif, telah dikeluarkan dari STPDN.
Lantas, apa tujuan Inu ke DPR? Dalam pertemuannya dengan wakil ketua DPR asal PAN tersebut, Inu meminta perlindungan kepada dewan. Sebab, setelah SCTV menayangkan rekaman kekerasan di STPDN, dirinya dituduh telah menjual gambar tersebut. Sehingga, intimidasi yang diterimanya melalui telepon dan SMS (short message service) sangat banyak. "Anak saya tiga. Saya perlu perlindungan politik dari dewan. Sebab, jiwa saya mulai terancam oleh para siswa," ungkapnya.
Bagaimana reaksi DPR? Fatwa menyatakan bahwa Inu tidak perlu khawatir atas adanya berbagai ancaman itu. Dirinya berjanji akan membawa masalah STPDN tersebut kepada pimpinan dewan. Selain itu, pihaknya akan meminta agar kepolisian mengusut serta memberikan perlindungan.
Dan, untuk menyelesaikan kasus di STPDN secara komprehensif, Fatwa menilai, jalan mendesak yang harus dilakukan adalah menghentikan kegiatan belajar mengajar sementara. Kemudian, seluruh sistem dan metode pengajaran yang digunakan dievaluasi. Sebab, jika belajar mengajar terus dilakukan, para mahasiswa yang terlibat kekerasan bisa menghilangkan jejak.
Yang terpenting, kata dia, pertanggungjawaban Ketua STPDN Sutrisno tetap harus dilakukan. Dia mengingatkan, kepolisian harus melarang Sutrisno meninggalkan Jawa Barat untuk mempermudah penyelidikan.
Dalam kesempatan kemarin, Fatwa juga berjanji akan membawa masalah itu ke Komisi II dan Komisi VI DPR. Selain itu, dia meminta Mendagri Hari Sabarno dan Mendiknas Malik Fadjar untuk segera mengambil tindakan tegas.
Pendapat senada juga disampaikan Ketua DPR Akbar Tandjung. Akbar kepada wartawan di gedung DPR/MPR kemarin mengatakan bahwa sistem pengajaran di STPDN memang harus dievaluasi. Sebab, menurut dia, perisitwa yang terjadi di sekolah tersebut saat ini sudah keterlaluan.
"Kalau dengan kekerasan seperti itu, nanti yang dihasilkan adalah pamong praja yang sadis," tegas Akbar.
Mengenai langkah penyelesaian, Akbar berpendapat bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam kasus kekerasan itu harus ditindak. Begitu pula mengenai para pimpinan STPDN.
Secara terpisah, Wakil Presiden (Wapres) Hamzah Haz setuju penggabungan STPDN dengan IIP dilakukan secepatanya. Dia berharap, penggabungan itu segera direalisasikan sehingga pendidikan yang dilaksanakan lebih mengedepakan intelektualisme. "Kita berharap agar pendidikan diarahkan ke intelektual tinggi, akhlakul mulia, dan jangan dengan kekerasan yang bisa menyebabkan seseorang meninggal," kata Hamzah setelah membuka Lokakarya Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia di Istana Wapres kemarin.
Tewasnya praja STPDN Wahyu Hidayat, menurut Hamzah, merupakan cermin penggunaan kekerasan dalam menegakkan disiplin. Karena itu, agar kasus tersebut tak terulang, dia meminta sistem disiplin militer yang menggunakan kekerasan fisik segera dihapuskan. "Jangan dengan kekerasan yang lantas menimbulkan korban sampai meninggal begitu," ujarnya.
Sementara itu, Mendagri Hari Sabarno tampak emosional menanggapi mencuatnya kasus STPDN. Termasuk penayangan rekaman video oleh salah satu stasiun televisi mengenai aksi penganiayaan mahasiswa senior kepada junior di STPDN.
Hari menegaskan, kasus tewasnya seorang praja STPDN beberapa waktu lalu hendaknya tidak ditanggapi secara emosional. "Apalagi ada yang meminta sekolah tinggi itu dibubarkan," katanya menjawab pertanyaan wartawan di Meulaboh kemarin.
Mendgari meminta agar nanti dihitung dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia yang kini jumlahnya 410, apakah masih banyak yang mendaftar sebagai mahasiswa STPDN atau tidak.
"Kalau nanti sama sekali tidak ada yang mendaftar ke STPDN, berarti sekolah itu tidak perlu. Tapi, kalau yang mendaftar dari seluruh Indonesia setiap tahunnya masih ribuan, berarti sekolah itu perlu," katanya.
Dengan adanya kasus tersebut, kata Mendgari, bukan STPDN yang harus dibubarkan. Tetapi, eksesnya harus diperhatikan agar tidak terjadi lagi tindak kekerasan dari senior kepada yuniornya yang bisa berakibat fatal.
"Jangan gara-gara kasus tersebut, lalu sekolah tersebut harus dibubarkan. Itu kan emosional," katanya.
Dia menyebut contoh lain, ketika kereta api terjadi kecelakaan, apakah serta merta memutuskan tidak perlu ada kereta api. "Itu tidak mungkin," katanya.
Menyinggung rencana penggabungan STPDN dengan IIP, Mendagri menegaskan bahwa itu bukan opsi lagi. Sebab, sejak awal ketentuan dari Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen hanya diperbolehkan memiliki satu pendidikan kedinasan.
"Nah, itulah yang sedang dikaji Depdagri. Dan, itu prosesnya sudah satu tahun. Bahkan, mungkin penggabungan STPDN dan IIP akan dipercepat," katanya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved