Menjelang perundingan ke lima antara Pemerintah RI dengan GAM tanggal 16 Juli, ada kabar yang menggembirakan. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mengakui Nangroe Aceh Darussalam (NAD) adalah bagian tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal tersebut disampaikan oleh juru bicara GAM Bachtiar Abdullah di markas gerakan itu di Stockholm, Swedia.
Bachtiar juga menyatakan selain pihaknya, kelompok-kelompok perwakilan masyarakat sipil Aceh menyetujui tuntutan Jakarta bahwa prasyarat utama untuk menyelesaikan konflik di NAD adalah prinsip NAD sebagai bagian dari Indonesia.
"Satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian yang komprehensif dan berkesinambungan di Aceh adalah melalui kesepakatan yang memberi hak dan kapasitas kepada rakyat Aceh untuk menentukan nasib mereka dalam konteks Republik Indonesia," demikian pernyataan tersebut yang disiarkan melalui internet dan dikirim ke kantor-kantor berita.
Pernyataan tersebut dikeluarkan setelah GAM dan kelompok-kelompok sipil Aceh setelah mereka mengadakan pertemuan di Lidingoe, Swedia, akhir pekan lalu. GAM tidak menjelaskan kelompok-kelompok perwakilan masyarakat sipil Aceh yang hadir dalam pertemuan itu. GAM hanya menyebutkan pertemuan itu diprakarsai lembaga Olof Palme International Center dari Swedia.
Pemerintah Indonesia dan GAM telah menggelar empat putaran perundingan informal di Helsinki, Finlandia, sejak Januari lalu. Perundingan-perundingan tersebut difasilitasi Lembaga Crisis Management Initiative yang dipimpin mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Pemerintah dan GAM akan bertemu lagi untuk perundingan putaran kelima mulai hari ini (12/7) sampai 16 Juli mendatang. Delegasi Indonesia tiba di Helsinki kemarin.
Perundingan babak kelima ini diharapkan menjadi perundingan terakhir. Sebelum 17 Agustus mendatang diharapkan sudah ada hasil final berupa perdamaian Aceh secara permanen. Dalam pernyataannya kemarin, GAM juga kembali mendesak pemerintah agar mengizinkan pendirian partai politik lokal di Aceh. Menurut pernyataan tersebut, GAM berkomitmen untuk berunding. Mereka mengatakan demokrasi sesungguhnya di Aceh harus termasuk pembentukan partai-partai politik lokal dalam sistem pemerintahan sendiri (otonomi).
Sebaliknya, pemerintah telah berkali-kali menolak permintaan tersebut. Undang-undang hanya mengakui partai politik nasional yang mempunyai perwakilan di daerah-daerah.
Perundingan antara Pemerintah RI dengan GAM di Swedia merupakan komoditas politik di tanah air yang coba digunakan oleh beberapa pihak. Pemerintah di satu sisi mengambil keputusan untuk berunding dengan GAM dengan mengupayakan agar campur tangan asing atau pihak internasional tak terlalu banyak.
Sudah tentu kebijakan pemerintahan SBY tersebut coba dimanfaatkan oleh lawan-lawan politiknya, caranya dengan mengembuskan isu nasionalisme. Lawan politik SBY menilai langkah perundingan tersebut baik, namun dengan mengijinkan pihak asing untuk memantau kondisi NAD, maka isu nasionalisme berhembus. Mereka menganggap kebijakan tersebut upaya dari internasionalisasi kasus NAD.
Lawan politik SBY menganggap bila kasus NAD sudah ditangani pihak internasional, maka kasusnya bisa seperti Timor Timur. NAD akan merdeka dan lepas dari NKRI. Dan isu nasionalisme ini telah diterima oleh berbagai element di Indonesia, terutama pihak TNI.
Walau SBY dari kalangan TNI tapi kebijakan yang terlalu longgar terhadap NAD cukup mendapat reaksi keras dari berbagai unsur di tubuh TNI aktif. Bahkan jenderal-jenderal TNI yang telah pensiun sudah mengingatkan SBY agar tidak terlalu lemah dalam menangani NAD.
Walau sudah pensiun, jenderal-jenderal tua tersebut masih memiliki pengaruh yang kuat di tubuh TNI aktif. Jenderal pensiunan ini menganggap saat Indonesia dipimpin BJ Habibie yang sipil, Timor Timur lepas. Dan dalam kasus NAD, mereka menilai Wapres Jusuf Kalla terlalu bersemangat. Apalagi mereka menilai BJ Habibie dan Jusuf Kalla memiliki watak yang hampir sama karena sama-sama dari Sulawesi Selatan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved