Andi Arief, salah seorang aktifis mahasiswa korban penculikan tahun 1998, angkat bicara terkait kasus yang dialaminya. Pernyataannya ini untuk meluruskan berbagai isu seputar kasus ini yang telah dijadikan komoditi politik banyak pihak dan terdistorsi sehingga jauh dari kenyataan sesungguhnya.
"Saya tidak akan menyimpan kebenaran sejarah. Malam ini saya harus mengatakan sesuatu. Karena banyak sekali pertanyaan, kecaman, sindiran, sampai sudah taraf tidak wajar. Mungkin banyak yang kaget dan tidak berkenan," ujar Andi yang kini menjabat sebagai Staf Khusus Presiden tersebut, kepada politikindonesia.com, Senin (23/06) malam.
Andi mengatakan, sampai saat ini, kader Partai Rakyat Demokratik (PRD) Herman Hendrawan, Suyat, dan Wijhi Tukul belum kembali. Bagi keluarga, ini menyakitkan. Bagi perjuangan, setetes air matapun tidak ada rumus untuk keluar. Segala upaya digunakan mencari mereka. "Tapi saya menolak merengek. Cara politik yang terhormat, yang lebih baik ditempuh," ujar dia.
Andi menyebut, penculikan adalah rentetan rezim diktator. Lumuran darah di tangan Benny Moerdani, Hendropriyono, Luhut Panjaitan, Wiranto, adalah fakta. Tapi mereka tak mengakuinya. Mereka lobi sana-sini agar tak terkena tuduhan HAM.
Prabowo mengakuinya, meski belum ada kecocokan tentang data antara PRD dengan Prabowo. "Saya justru balik curiga bahwa ada yang tak ingin kasus ini selesai, dan ada yang tak ingin selain Prabowo tersentuh," ujar Andi.
Staf Khusus Presiden ini mengatakan, bocornya surat Dewan Kehormatan Perwira (DKP) itu, tentu merugikan Prabowo karena momen itu terjadi saat Pilpres. Tapi, sambung Andi, rekan-rekannya yang hingga kini belum pulang, yakni Herman Hendrawan, Bimo Petrus, Suyat, Wijhi Tukul tak ada dalam daftar DKP itu. "Pembocoran DKP itu seperti pisau mata dua, berupaya menghentikan pencarian 4 kader PRD yang hilang, sekaligus kampanye negatif buat Prabowo."
Andi menilai, kalangan pendukung Jokowi yang terdiri dari mantan aktifis dan gabungan NGO-NGO, bersorak untuk kepentingan pemilu. Mereka sama sekali tak ada hati. Tak sensitif dan hanyut dalam sukacita semu. "Motif kapitalisasi isu ini hanya untuk kepentingan Jokowi bukan untuk mereka yang masih hilang," sebutnya.
Andi menambahkan, dirinya dan beberapa kawan yang hilang ingin menegaskan bahwa terhadap Prabowo, Tim Mawar dan beberapa tim resmi maupun tim ormas di bawah naunan ABRI, pihaknya tidak pernah ada masalah pribadi. "Kami tidak mengenal mereka, kami tidak ada kasus hutang piutang, kami tidak pernah mengganggu keluarga mereka dan soal-soal pribadi lainnya."
Artinya, sambung dia, tidak ada celah sedikitpun urusan pribadi masuk sebagai alasan sehingga bertahun-tahun kejar-kejaran dari satu tempat ke tempat lain. "Sampai kami tertangkap, dan dikeluarkan," imbuhnya.
Persoalan utamanya, ujar Andi, pihaknya memperjuangkan demokrasi dengan jalan mendorong massa bergerak bersama-sama. Berjuang. Dan posisi Tim yang gonta-anti oleh ABRI dan Polisi sampai akhirnya Tim Mawar Kopassus adalah bagian dari kekuasaan yang menolak demokrasi dan bentuk perjuangan tersebut.
Andi menegaskan, Prabowo tidak mungkin memiliki inisiatif pribadi. "Saya yakin dia pasang badan untuk atasan dan institusinya. Atasan terkuat yang memaksa Prabowo memilih mengakhiri karirnya," ujar Andi.
Masalahnya adalah, aksi pasang badan ini mengakibatkan persoalan menjadi tak kunjung selesai. "Prabowo mengakui semua yang sudah dikeluarkan. Namun akibatnya, jalan kami makin buntu untuk nasib 4 kawan kami."
Andi mengatakan, Wiranto tidak bersungguh-sunggguh dalam kapasitasnya sebagai Pangab menyerahkan mereka yang masih belum dilepas. "Statemennya kemarin sebagai tim sukses Jokowi membuktikan bahwa memang masalah ini disimpan untuk sewaktu-waktu menjadi senjata untuk kepentingan Wiranto. Bukan untuk penyelesaian."
Andi menambahkan, pada debat putaran pertama Capres/Cawapres, Jusuf Kalla sempat bertanya soal pertanggungjawaban Prabowo terhadap kasus penculikan aktifis. "Agar dicatat oleh sejarah dan anak cucu saya dan kita semua: Jawaban capres Prabowo Subianto itu adalah jawaban jujur dan benar," ujar Andi.
Prabowo, dan Tim Mawar bukan penculik. Mereka bukan dari kesatuan liar, mereka organ resmi negara. "Prabowo, dan Tim Mawar adalah unsur kesatuan negara yang bernasib baik menangkap saya dan kawan-kawan lainnya setelah sekian lama entah dari kesatuan apa selalu gagal menangkap kami. Saya dan kawan-kawan tertangkap oleh negara. Bukan penculikan oleh kesatuan yang liar."
Andi menambahkan, meski Tim Mawar adalah tim yang resmi dan berhasil melakukan penangkapan, namun masih ada pertanyaan. "Pertanyaannya, dimana Herman Hendrawan, Suyat, Bimo Petrus dan Widji Thukul?"
Andi mengatakan, Herman Hendrawan yang berada di lokasi yang sama dan sempat berbicara dengan Faisol Reza. Faisol kembali ke rumah orang tuanya. Inilah menjadi pertanyaan,
Andai dia sudah wafat, apa motif melenyapkannya? Andai dia sudah dikeluarkan berbarengan dengan Faisol Reza atau secara terpisah, untuk apa dia tidak segera pulang ke rumah. "Dugaan saya, dia sudah pindah tangan ke kesatuan lain," ujar Andi.
Bagaimana dengan Suyat? Masih misterius, di tangan siapa. "Tetapi apa yang diketahui Suyat, itulah yang ditanyakan saat saya diinterogasi. Dugaan saya, pertama dia masih di tangan entah kesatuan mana," ujar Andi.
Kedua kawan ini, pasti gampang dijelaskan, Karena tidak ada alasan kuat mereka berdua harus dilenyapkan kalau kawan-kawan yang lain ternyata dikeluarkan.
Andi mengatakan saat sidang di Mahkamah Militer, dirinya menolak bersaksi. Ia menawarkan barter. "Keluarkan kedua2 kawan saya dan saya akan meminta semua Tim mawar dibebaskan. Saya dan kawan-kawan terus menawarkan barter itu. Keselamatan kawan-kawan kami lebih penting. Hingga hari ini saya dan kawan-kawan belum berhasil menemukan mereka," tandas Andi.
© Copyright 2024, All Rights Reserved