Koalisi LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) menemukan sejumlah kejanggalan dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang membatalkan SK Pengetatan Remisi. Tiga Hakim yang menangani perkara ini, mereka laporkan ke Komisi Yudisial.
Ketiga hakim yang diaporkan tersebut adalah Bambang Heryanto, Tedi Romyadi dan Husban. Mereka dinilai tidak profesional dan melanggar hukum acara ketika memutus pembatalan SK Pengetatan Remisi yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM), beberapa waktu lalu.
“Majelis hukum perkara a quo diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB) dan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tentang kode etik serta perilaku hakim. Hakim tidak," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Parma, kepada pers, di Gedung KY, Jakarta, Rabu (14/03).
Selain YLBHI, LSM lain yang tergabung dalam koalisi yakni Indonesian Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII), Indonesian Legal Roundtable (ILR) dan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI).
Kata Alvon, dari penelitian mereka, ada sekitar 13 aturan teknis formal yang tidak diikuti oleh hakim PTUN dalam memeriksa dan memutus perkara ini. "Satu dua pelanggaran itu wajar, meskipun perlu disesalkan, tapi kalau sudah 13, itu keterlaluan," ujar Alvon.
Kata Alvon, PTUN seharusnya menolak gugatan 7 terpidana kasus korupsi atas SK Kemenkumham tersebut. Alasannya, penggugat seharusnya mengajukan keberatan dulu ke atasan menteri atau Presiden terkait putusan tersebut sebelum mengarahkan gugatan ke PTUN.
“Ini sifatnya administratif. Atasan menteri dalam ini hal Presiden bisa menerima keberatan atau menolaknya. Kalau ditolak baru orang bisa gugat ke PTUN. PTUN bisa menerima gugatan kalau langkah administrasi itu sudah dilaksanakan. Itu ada aturannya," ujar dia.
Sementara itu, Direktur Indonesian Legal Round Table, Refki Saputra menjelaskan, dari ketigabelas keganjilan putusan tersebut, yang paling penting adalah dalam pertimbangan hakim yang memuat klasifikasi atau pembedaan Penggugat berdasarkan jadwal pembebasan bersyarat. "Hal ini berkonsekuensi serius pada pertimbangan apakah semua Keputusan Menteri Hukum dan HAM tersebut berlaku surut atau tidak," kata Refki.
Ketigabelas kejanggalan hakim tersebut diantaranya, perkara bukan obyek tata usaha negara, kurangnya klasifikasi perbedaan mendasar Penggugat, tidak digunakannya obyek sengketa, adanya penggeneralisiran pada fakta hukum pada alasan berlaku surut dan salah dalam penerapan hukum.
© Copyright 2024, All Rights Reserved