AMANAT Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan daripada amanat tersebut adalah demi terciptanya NKRI yang berdaulat, adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kedaulatan negara harus dilihat dengan menggunakan pendekatan sistem. Kerangka berfikir dan cara pandang yang dipergunakan haruslah holistik dan komprehensif. Doktrin konvensional merasa cukup untuk membagi ruang lingkup kedaulatan negara menjadi tiga sub-sistem utama yaitu darat, laut, dan udara. Secara geografis dan geometris dapat digambarkan hubungan ketiga matra tersebut sebagai domain yang mutually exclusive–tidak adanya persinggungan antar ketiganya.
Bahkan secara tegas dapat digambarkan batasan-batasan wilayah fisik teritorial darat, laut, dan udara. Baik dalam konteks pembagian wilayah negara maupun dalam kaitannya dengan batasan wilayah antar negara.
Salah satu tantangan lain yang harus dihadapi oleh pemerintah Indonesia adalah pengamanan wilayah alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Penetapan dan pengamanan wilayah ALKI sendiri merujuk pada perangkat hukum internasional mengenai United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 yang kemudian diratifikasi ke dalam UU No. 6/1996 tentang perairan Indonesia dan disusul PP No. 37/2002 tentang hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing dalam melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan melalui alur laut kepulauan yang ditetapkan.
Penentuan ALKI memberikan konsekuensi pada pengendalian atau pengontrolan untuk keamanan dan keselamatan di ALKI. Pengendalian ALKI diartikan menegakkan kedaulatan Indonesia di daerah/wilayah perairan nasional, yang digunakan untuk lintas internasional. Pengontrolan wilayah Indonesia untuk kepentingan lalu lintas internasional perlu ditentukan batasan “jenis lalu lintas” dan Batasan pemanfaatan oleh pihak asing karena menyangkut wilayah kedaulatan Indonesia, agar keamanan dan keselamatan wilayah Indonesia sebagai negara yang berdaulat dapat ditegakkan. Sehingga meminimalisir terjadinya pelanggaran hukum baik dari dalam maupun luar negeri.
Untuk menjamin tercapainya tujuan nasional tersebut, diperlukan upaya-upaya antara lain, upaya pertahanan dan keamanan negara yang merupakan tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia baik sipil maupun militer. Dalam hal Pertahanan dan Keamanan NKRI dimaksud adalah Ancaman Tantangan Hambatan dan Gangguan (ATHG) yang dapat terjadi di wilayah NKRI mencakup wilayah darat, laut, udara dan ruang udara diantaranya dimana dalam menghadapi hal-hal tersebut merupakan tugas pokok TNI dan dituangkan pada Doktrin TNI.
Sebagai upaya untuk mewujudkan hal tersebut, Kementerian Pertahanan sebagai penyusun kebijakan penyelenggaraan pertahanan negara telah menyusun Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 19/2015. Dalam konsepsi peraturan tersebut pada poin 2.b.3 terkait hal pengintegrasian komponen pertahanan negara, dimana sistem pertahanan negara merupakan sistem pertahanan yang bersifat semesta, diselenggarakan dengan memadukan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter.
Peraturan tersebut mengacu kepada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 97/2015 pasal 3 tentang “Kebijakan Umum Pertahanan Negara”. Dalam lampiran Perpres itu disebutkan, pertahanan negara diselenggarakan dalam suatu sistem pertahanan yang bersifat semesta dengan memadukan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter. Sifat kesemestaan yang dikembangkan melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta sarana prasarana nasional yang dipersiapkan secara dini oleh pemerintah, serta diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut.
Peperangan Asimetris atau asymmetric warfare merupakan salah satu bentuk ATHG yang di-trigger dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara umum dan khususnya di bidang sistem tanpa awak yang menuntut antisipasi dan solusi yang menyeluruh dalam penanganannya ke depannya. Dalam perang ini, kedua pihak yang berseteru tidak memiliki kekuatan fisik yang berimbang.
Bahkan dalam suatu titik ekstrim perang asimetris, sebuah negara dapat kewalahan ketika hanya berhadapan dengan ‘bayangan’ satu orang saja dan senjata yang digunakan dapat berupa senjata non konvensional atau bahkan Individu-individu (manusianya). Paradigma menyerang tanpa pasukan bersenjata merupakan prinsip yang dipergunakan sebagai pendekatan filosofis dalam perang modern ini.
Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi, serta pemanfaatan internet secara masif di berbagai sektor kehidupan, tidak boleh meruntuhkan batasan ruang dan waktu yang selama ini menjadi perimeter pembatas wilayah kedaulatan suatu negara. Teknologi drone dapat dengan mudah dan leluasa bergerak secara bebas dalam hitungan detik di tiga wilayah darat, laut, dan udara tanpa ada yang membatasinya.
Pengendalian senjata berupa objek terbang tanpa awak dapat dilakukan dari mana saja, kapan saja, dan dengan apa saja (ubiquitous). Pergerakan dan pelanggaran batas negara pun menjadi lebih mudah dan dimungkinkan melalui pengendalian alat-alat perang/intai, yang dilakukan secara jarak jauh.
Perangkat perang yang canggih seperti pada pesawat udara, tank penjelajah, dan kapal induk, dan diintegrasikan dengan peralatan serba digital pada pusat kendali. Hal ini memudahkan dalam operasi dan pengendaliannya disatu sisi, namun disisi lain juga membawa unsur resiko tinggi karena dapat diambil alih musuh dengan mudah (fenomena intersep dan hacking) tanpa perlu adanya benturan fisik.
Belum lagi terhitung fenomena disusupkannya aplikasi jahat semacam virus atau malware ke dalam instalasi-instalasi militer berbasis hardware dan software yang sewaktu-waktu dapat diaktifkan untuk mengubah data, mencuri informasi rahasia, mengirimkan sinyal palsu, dan lain sebagainya.
Amerika serikat (AS) pada operasi desert storm dan enduring freedom melakukan perang asimetris dengan memanfaatkan penerapan teknologi dan teknologi informasi sejak tahap perencanaan hingga eksekusi.. Teknologi, doktrin, dan organisasi pertahanan AS dipercaya membuatnya lebih mudah untuk mencapai kemenangan dalam suatu operasi militer.
Berdasarkan hal tersebut, AS saat ini mencantumkan sembilan komponen dalam strategi Revolution in Military Affairs, Salah satu komponen dari strategi tersebut adalah penggunaan Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Kala itu, UAV jenis RQ-2 Pioneer digunakan untuk membantu angkatan darat mengidentifikasi tempat artileri musuh. Hasil pengamatan yang terhubung dengan kontrol pusat menjadi informasi bagi pasukan Angkatan Darat mengambil posisi sehingga dapat menyerang dengan tepat sebelum artileri ditembakan.
UAV merupakan pesawat nirawak karena dapat terbang secara otomatis melalui komputer atau papan kendali yang dijalankan oleh pilot dari kantor pusat kendali. Keuntungan pemanfaatan UAV antara lain karena bobot yang lebih ringan, ukuran lebih kecil, lebih mudah dibuat dan biaya produksi yang lebih murah dibandingkan dengan pesawat berawak lain.
Selain itu, kemampuan manuver dan ketahanan UAV tidak dibatasi oleh keterbatasan kemampuan manusia seperti pada penggunaan pesawat berawak. Apabila dijalankan sebuah misi untuk memonitor kebakaran, bencana alam atau kontaminasi bahan kimia hingga memantau pergerakan musuh, maka UAV akan mampu menjalankan operasi tersebut tanpa khawatir harus kehilangan nyawa pilotnya serta melakukan manuver yang tidak dapat dilakukan oleh pesawat berawak. Dari kasus tersebut, tercatat ada empat poin efektifitas dan efisiensi yang diberikan UAV Pioneer dalam operasi sebagai berikut:
1) Membantu pesawat berawak mengidentifikasi target; 2) Menyediakan informasi yang lebih luas mengenai wilayah pertempuran; 3) Menurunkan kebutuhan pesawat berawak untuk mengawasi keadaan pertempuran melalui udara; dan 4) Melakukan penelusuran dan pengamatan di lokasi yang beresiko tinggi tanpa menempatkan risiko kehilangan nyawa sang pilot.
Berdasarkan pada kondisi tersebut, kehadiran UAV menjadi keuntungan sekaligus tantangan bagi kedaulatan suatu negara. Suatu keuntungan apabila UAV telah dioptimalkan dalam aspek militer untuk melengkapi sistem pertahanannya secara optimal. Namun, menjadi tantangan jika suatu negara belum siap dalam menghadapi fleksibilitas kemampuan UAV yang dapat melakukan pemantauan secara efektif dan efisien.
Terlebih jika UAV tersebut dilengkapi dengan sistem persenjataan yang mampu melakukan serangan untuk melumpuhkan ancaman. Hal ini perlu menjadi refleksi bagi Indonesia untuk melihat sudah sejauh mana kesiapan Pemerintah dalam menghadapi situasi tersebut.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif National Maritime Institute (Namarin) dan Pengamat Maritim Nasional
© Copyright 2024, All Rights Reserved