Kali ini Komnas HAM {gelagapan}. Mirisnya, sumber ”malapetaka” yang bisa jadi menurunkan kredibiltas Komnas itu bersumber dari internal. Adalah Tim Ad Hoc Pemantau Perdamaian di Aceh yang membuat gara-gara.
Ada apa? Adalah pernyataan Tim Ad Hoc Pemantau Perdamaian di Aceh (TPPA) yang dipimpin MM Billah kepada wartawan yang menyebutkan bahwa telah terjadi {extra judicial killing} yang dilakukan oleh orang berpakaian loreng, senjata laras panjang, dan sepatu lars. Sedangkan {sexual harassment} dilakukan oleh orang yang memakai baju cokelat, rompi hitam, dengan tulisan Brimob di punggung.
Nah, setelah dilansir berbagai media, baik cetak maupun elektronik, berbagai bantahan datang dari seluruh penjuru. Utamanya dari Penguasa Darurat Militer Daerah (PDAM). Termasuk juga dari Panglima TNI dan KSAD. Namun, terkesan TPPA tetap ngotot dengan laporannya. Buntutnya, hubungan Komnas HAM dan TNI ”membara”.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Menurut anggota Komnas HAM, Mayjen (Purn) Syamsudin, pihak TPPA dinilai melanggar prosedur yang berlaku di Komnas HAM berkaitan dengan publikasi hasil investigasi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
"Saya minta kepada Menko Polkam agar di-{smooth}-kan hubungan antara Komnas HAM dan aparat pemerintah. Yang terjadi kemarin, itu merupakan persoalan pribadi, bukan atas nama Komnas HAM secara resmi," kata Syamsuddin kepada wartawan di Jakarta, kemarin, usai bertemu Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono. Ia bersama Irjen (Purn) Koesparmono Irsan menemui Susilo dalam rangka menjalin hubungan baik.
Mengenai laporan adanya milisi dan kuburan massal, tim ad hoc itu baru menerima laporan dan belum melakukan penyelidikan lapangan, ujarnya.
Menurut Syamsuddin, publikasi temuan tim ad hoc itu dilakukan tanpa diklarifikasi kebenarannya, dan belum diplenokan di Komnas HAM. Padahal, kata dia, sesuai prosedur yang ada di Komnas HAM, usai melakukan investigasi awal, anggota belum diperkenankan menyampaikan informasi detail ke publik sebelum diplenokan. "Belum boleh bagi anggota Komnas yang baru selesai melakukan investigasi awal menyampaikan kepada publik tentang temuannya."
Karena itu, kata Syamsuddin, informasi yang dipublikasikan oleh Billah tidak valid. "Seharusnya temuan itu dibawa dulu dalam rapat pleno, baru kemudian diputuskan oleh pleno apakah perlu dilanjutkan proses investigasinya. Kalau dilanjutkan, baru hasil investigasinya bisa disampaikan. Sedangkan yang kemarin itu, sifatnya baru pernyataan dari orang-orang yang ditemui di lapangan," katanya.
Syamsuddin memberi contoh perempuan yang mengaku diperkosa sebagaimana dipublikasikan tim ad hoc. "Perempuan itu disuruh datang untuk pemeriksaan lanjutan oleh dokter saja tidak datang. Artinya, itu belum dicek kebenarannya. Saksi yang ditemui (Zoemrotin) itu hanya bercerita. Tapi sebelum itu semua dilaporkan ke Komnas, ia sudah ngomong keluar," kata Syamsuddin.
Wakil Ketua II Komnas HAM Salahuddin Wahid membenarkan bahwa hasil investigasi tim ad hoc dipublikasikan tanpa diplenokan.
"Memang sebaiknya dibawa ke pleno terlebih dahulu sebelum dipublikasikan. Tetapi hal tersebut terserah kepada tim itu sendiri, apakah akan memublikasikan hasil investigasinya sebelum atau setelah dilaporkan ke pleno," katanya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved