Sekali lagi, {Tempo} menjadi pahlawan. Maksudnya, korban yang menjadi pahlawan. Seperti ketika tahun 1994 {Tempo} dan dua penerbitan lain, {Editor} dan {Detik}, dibredel, ketiganya adalah korban kesewenang-wenangan pemerintah-saat itu-namun kemudian menjelma menjadi pahlawan.
Sama juga dengan {Jawa Pos} tahun 2000, korban yang menjadi pahlawan, Banser NU (Nahdlatul Ulama) yang ngulurug Jawa Pos menjadi pecundang. Citranya terpuruk dimana-mana.
Seharusnya kisah-kisah tersebut menjadi pelajaran. Para pendukung Tomy Winata yang merasa jengkel dengan berita yang dipublikasikan Tempo mestinya tidak menyerbu majalah paling “prestisius” di Indonesia tersebut. Sebab ulah itu ternyata menjadi bumerang. Alih-alih orang mengecam kesalahan Tempo, malahan orang-orang Tomy Winata dikutuk dimana-mana dan Tempo dielu-elukan oleh seluruh masyarakat di Indonesia.
Kita memang harus melawan premanisme, seperti gerakan yang dikampanyekan media massa saat ini, Tetapi jangan lupa, premanisme juga bisa berbentuk pers yang tak bertanggungjawab.
Ade Armando, tokoh Marka (Media Ramah Keluarga dan Media Watch milik the Habibie Centre, pernah diteror preman berbentuk perusahaan pers. Karena gencar menentang media pornografi, nama Ade dan istrinya kemudian dicantumkan dalam iklan penjaja seks di media bersangkutan-milik si peneror, termasuk nomor telepon kantor.
Alhasil, kantor Marka sering menerima telepon orang-orang iseng yang mencari “jajanan seks”. Saking seringnya, sekretaris kantor kemudian setiap mengangkat telepon mengatakan ,”Ya, selamat siang, disini gereja, ada yang dapat saya bantu.?”
Penelpon terheran-heran, kok gereja nomor teleponnya di iklankan di rubrik penjaja seks? Tapi lama-lama telepon berhenti. Itu salah satu contoh premanisme oleh pers sendiri.
Tentang Tempo, tak ada yang meragukan kualitasnya. Tetapi dalam laporan yang menjadi persoalan tersebut, berita di awali dengan kata {“Konon” seperti awal alinea sebuah cerita dongeng di buku fiksi, Judulnya “Ada Tomy di Tenabang”. Lalu lead-nya, ”Konon, Tomy Winata mendapat proyek renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp. 53 milyar, Proposalnya sudah diajukan sebelum kebakaran”.}
Selain kata “konon”, lead itu rancu karena kata “mendapatkan proyek” dan “proposal sudah diajukan” adalah dua hal yang tidak identik. Pengertian kita tentang “mendapatkan” adalah bahwa proposal sudah disetujui dan kontrak sudah diteken.
Namun sebetulnya, masih kata Tempo dalam kalimat yang sama,”proposal baru diajukan”, dan tidak ada penjelasan proposal tersebut sudah dijawab/diterima atau belum. Malahan dibadan berita, isinya adalah komentar beberapa nara sumber yang punya otoritas dan berkompeten justru menyatakan membantah isu itu.
Apakah Tempo sudah menerapkan azaz keseimbangan? Sudah, sebab Tomy sudah diwawancarai. Namun apakah seimbang itu ? Apakah {cover both sides} cukup? Bagaimana kalau pihak yang menyerang (atau isu dan rumor) di tulis 4 (empat) halaman, lalu pihak yang diserang hanya 1 (satu) alinea?
Selain {cover both sides}, berita juga (terutama yang mengandung unsur dugaan) harus di cek dan ricek. {Dalam menduga-duga , data harus akurat, dan kalau bisa komplet.} Dalam laporan Tempo, Tempo tampaknya tidak memiliki data yang akurat dan komplet. Proposal yang menghebohkan itu “konon”- cuma didengar dari seseorang nara sumber yang disembunyikan identitasnya. Jangankan memegang atau memiliki, wartawan Tempo bahkan tidak pernah melihat proposal yang ditulisnya itu.
Bila Tempo menggunakan Hak Tolaknya untuk melindungi nara sumber, bagaimana dengan perlindungan pada nara sumber (atau objek pemberitaan) yang lain? Bagaimana dengan orang yang dikenai aksi “lempar batu sembunyi tangan”.
Menurut UU Pers No. 40 Tahun 1999, nara sumber atau objek berita juga harus dilindungi dengan larangan trial by the press. Bahkan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) juga melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan pers (atau nara sumber lain yang tidak bertanggungjawab) dengan pasal-pasal “kabar bohong” dan “pencemaran nama baik”.
Hak Tolak adalah hak yang istimewa pada pers. Pers disejajarkan dengan profesi pengacara dan pendeta, yang diizinkan tidak membuka sumbernya.
Perbedaanya adalah bila narasumber pers bukan orang yang punya otoritas, tidak kompeten, tidak mengalami sendiri dan tidak bertanggungjawab. Seyogyanya, ada kondisi dimana Hak Tolak tak dapat digunakan dengan mudah oleh pers.
Banyak orang menganjurkan Tomy Winata dan kawan-kawannya menggunakan Hak Jawab mereka, Ini memang salah satu bentuk perlindungan nara sumber.
Namun beberapa kasus Hak Jawab yang tidak dimuat media massa yang bersangkutan menunjukkan bahwa Hak Jawab belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pers.
Apakah pers tidak boleh dan tak dapat berbuat salah? Itu harapan yang terlalu tinggi dan tidak masuk akal. Pers bisa salah.
Di Amerika Serikat ada yang namanya {without malice} atau {absence of malice}. Pers bisa melakukan kesalahan, lalu dibawa ke pengadilan.
Bila terbukti bahwa kesalahannya itu tidak disengaja (wartawan sama sekali tidak tahu bahwa data atau fakta yang diperolehnya itu keliru), pers bisa dibebaskan meskipun laporannya jelas salah. {Malice itu artinya : wartawan tahu bahwa apa yang hendak ditulisnya itu tidak benar atau meragukan, bahwa nara sumbernya tidak credible, tapi dia sengaja meneruskan kegiatannya membuat laporan yang kemudian bersalah itu.}
{Biasanya hal ini dilakukan bila wartawan atau medianya telah memiliki agenda setting dan memiliki bingkai tertentu. Berbagai fakta dicari agar sesuai dengan bingkai yang telah disediakan.}
Pertanyaannya sekarang, apakah {Tempo melakukan kesalahan itu without malice?} Sebaiknya hal tersebut dibuktikan di pengadilan.
Pelajaran dari kasus ini adalah bahwa pers semestinya terus meningkatkan kualitasnya dan masyarakat sebaiknya tidak main hakim sendiri. Bagaimanapun, ulah masyarakat yang semacam ini bisa jadi karena kegagalan kita menumbuhkan kepercayaan kepada publik bahwa kode etik dan hukum bisa ditegakkan. [Sirikit Syah], {Surabaya News}
© Copyright 2024, All Rights Reserved