Akhirnya, {rumors} yang beredar pasca pertemuan di Hotel {Four Seasons}, Jakarta, 27 Nopember 2007 menjadi kenyataan. Melalui teknik demokrasi voting dua putaran, Komisi III DPR memilih Antasari Azhar untuk menjabat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2011.
Pada putaran pertama, teknik voting dimainkan untuk memilih pimpinan KPK, Chandra Hamzah mengunguli Antasari Azhar dengan memperoleh 44 suara. Sementara Antasari hanya memperoleh 37 suara. Disusul Bibit Samad Rianto yang mendapat 30 suara, Haryono yang mendapat 30 suara juga, serta M Jasin yang mendapat 28 suara.
Di putaran kedua yang menentukan, Antasari Azhar memperoleh 41 suara, sementara Chandra Hamzah terdelusi memperoleh 8 suara.
Yang cukup menggelitik dan {menyerempet} tentang {rumors} pertemuan {Four Seasons} adalah pernyataan Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR, yang juga Anggota Komisi III DPR, Gayus Lumbuun.
Gayus mempertanyakan mekanisme pemilihan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2011 yang harus melalui putaran kedua. Usai pemilihan lima calon pimpinan KPK di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, Gayus mengatakan pemilihan dengan putaran kedua itu tidak lazim dilakukan dan bahkan mengatakan hal itu merupakan skenario Komisi III DPR.
"Itu skenario namanya. Kalau mau murni, seharusnya yang meraih suara terbanyak itu yang menjadi Ketua KPK, tidak harus pakai putaran kedua," ujarnya.
Pada pemilihan Ketua KPK periode pertama, Gayus menjelaskan, Taufiequrachman Ruki langsung terpilih sebagai ketua karena meraih suara terbanyak dalam satu kali putaran pemungutan suara.
"Ini tidak lazim. Saya mempertanyakan mengapa harus pakai dua kali putaran," ujarnya.
"Mengapa yang terbanyak suaranya pada putaran kedua jadi menyusut? Ini menjadi pertanyaan. Ada skenario apa?" ujar Gayus.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu juga menyatakan, pimpinan KPK yang terpilih menggambarkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia empat tahun mendatang tidak akan membaik. "Kalau tidak membaik, kita bubarkan saja KPK," ujarnya.
Seperti diketahui, Panitia seleksi capim KPK meloloskan sepuluh calon untuk mengikuti uji kelayakan di DPR, yaitu Amien Sunaryadi, Antasari Azhar, Bibit Samad Rianto, Chandra Hamzah, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Marwan Effendy, Kepala Biro Perencanaan BKP, Haryono, Direktur Litbang KPK M Jasin, Auditor BPK Surachmin, Deputi Bidang Pencegahan KPK, Waluyo, dan praktisi hukum Iskandar Sonhadji.
Sepuluh calon itu telah mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di hadapan Komisi III DPR sejak 3 Desember 2007 hingga 5 Desember 2007.
Amien Sunaryadi hanya mendapat 16 suara, Iskandar Sonhadji enam suara, Marwan Effendy 27 suara, Surachmin delapan suara, dan Waluyo 18 suara.
Usai terpilih dan tersingkirnya para calon pimpinan KPK periode 2007 ? 2011, seperti biasanya mengundang beragam {tafsir}. Bisa jadi ini merupakan bentuk perkembangan iklim demokrasi di Indonesia. Apalagi, {desas-desus} pasca pertemuan {Four Seasons} seakan menjadi kenyataan.
Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin meluruskan {desas-desus} itu. Menurur Aziz, usai pemilihan Ketua KPK, pertemuan fraksi-fraksi itu hanya {ngobrol-ngobrol}. Tidak ada arahan fraksi atau partai. Jika nama pimpinan KPK yang terpilih itu sama dengan yang beredar selama ini, itu kebetulan belaka. Aziz juga membantah putaran kedua dilakukan untuk mendorong Antasari sebagai Ketua KPK.
Yang tak kalah perlu disimak adalah pernyataan Ketua KPK terdahulu, Taufiequrachman Ruki dan Sekretaris Jendral PDI-P Pramono Anung. ?KPK diharapkan tidak menjadi badan atau lembaga super. Publik tetap bisa mengawasi dan melakukan upaya hukum jika KPK dinilai melenceng dari peran dan fungsinya.?
Hal itu disampaikan terkait dengan terpilihnya lima pimpinan KPK periode 2007-2011 yang diketuai Antasari Azhar, semalam, seperti yang dilansir Kompas (6/12).
"Jika ternyata nanti {ngaco}, ya disomasilah. Dimintai pertangungjawaban seperti terjadi pada kami," ujar Ruki.
Sementara Pramono mengingatkan KPK tidak menjadi badan super yang berlebihan. KPK harus lebih memberdayakan polisi dan jaksa sehingga mereka lebih optimal dalam pengusutan kasus korupsi di negeri ini.
Kepada pimpinan baru KPK, Ruki berharap mereka dapat bekerja lebih baik karena semua sarana dan upaya untuk bergerak lebih baik dan lebih cepat sudah tersedia, tidak seperti empat tahun lalu ketika KPK pertama kali dibentuk. "Sekarang apa lagi yang kurangnya? Gaji ada aturannya, peralatan cukup, kantor lengkap, alat penyadap lengkap, komputer ada, kendaraan oke, senjata ada, apa pun ada. Tidak ada alasan untuk tidak ngegas. Kalau mobil, ini tinggal masuk persneling dan kebut," katanya.
Pernyataan Ruki seakan mendapat tanggapan positif dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ketika berbicara dalam penutupan Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi 2007, yang digelar KPK, di Jakarta, Rabu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui, sampai saat ini masih banyak koruptor di Indonesia, terbukti banyak pejabat dari berbagai lembaga dan tingkatan yang dipenjara karena korupsi. Koruptor saat ini adalah yang bernyali tinggi, karena pemerintah gencar melakukan pemberantasan korupsi.
"Tidak banyak negara yang punya berlapis-lapis lembaga yang menangani korupsi. Orang yang mau korupsi di Indonesia harus punya enam nyali," ujar Wapres.
Enam nyali itu terkait lembaga pemeriksa kasus korupsi, yakni kejaksaan, kepolisian, dan KPK, serta tiga lembaga pengawasan yang semestinya bisa mencegah korupsi, yakni inspektorat jenderal, Badan Pemeriksa Keuangan, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Sementara suara Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, harapan Indonesia untuk memberantas korupsi selama empat tahun ke depan harus ditunda.
"Ini memang hasil pilihan politis. Jadi, kita bisa melihat kemauan politis DPR untuk memberantas korupsi seperti apa," ujarnya.
Seperti diketahui, Antasari adalah calon yang paling kontroversial di antara sepuluh calon pimpinan KPK. Pengaduan masyarakat tentang perilaku Antasari banyak mengalir ke Komisi III dan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP).
Di antaranya adalah tidak mengeksekusi anggota DPRD Sumatera Barat yang sudah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) saat menjabat Kejati Sumatera Barat.
Bila dilihat kebelakang, dalam konteks uji kelayakan dan kepatutan para calon pimpinan KPK, pada Senin (3/12), Antasari Azhar memang mendapat tepuk tangan para anggota Komisi III DPR yang mengujinya. ?....."Untuk aliran Bank Indonesia, kami menganggap itu baru sebatas fakta.... Tetapi kami tidak sepakat, apabila hanya karena asumsi kita harus menghukum orang. Saya akan pasang badan, kalau KPK dijadikan alat untuk menzalimi orang lain," ujar Antasari Azhar.
Pernyataan Antasari tersebut menjawab pertanyaan anggota Komisi III Benny K Harman dari Fraksi Partai Demokrat, yang menanyakan apakah calon mau menindaklanjuti kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) kalau terpilih sebagai pimpinan KPK.
Jawaban ini mengejutkan karena justru diungkapkan di tengah-tengah upaya KPK yang gencar menyelidiki kasus itu. Dari berbagai pertanyaan yang muncul, terasa ada upaya kasus aliran dana BI adalah bahan tawar-menawar beberapa fraksi dengan calon.
Namun, Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR, yang juga anggota Komisi III, T Gayus Lumbuun membantah hal tersebut. Gayus berharap calon pimpinan KPK tidak menghentikan kasus aliran dana BI ini.
Justru Gayus mendorong agar calon pimpinan KPK memahami karakteristik lembaga yang akan dipimpinnya. Ini terkait keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi. KPK harus siap mengantisipasi gugatan atas putusan pengadilan yang dianggap inkonstitusional itu.
Dalam suasana uji kelayakan dan kepatutan, juga ada nada pesismis yang muncul dari anggota Komisi III. Adalah Agun Gunanjar Sudarsa dari Fraksi Partai Golkar. Agun termasuk orang yang tak tertarik dengan eksistensi KPK. Ia menilai KPK belum membawa manfaat apa-apa terhadap pemberantasan korupsi, yang ia sebut sebagai kejahatan politik.
"Kalau eksistensi KPK seperti ini, sementara anggarannya besar, saya usulkan KPK dibubarkan saja," ujar Agun.
Seusai ?pesta? demokrasi pemilihan Ketua dan Pimpinan KPK, memunculkan renungan dibenak masyarakat. Utamanya para penggiat pembrantasan korupsi di Indonesia. Sulit rasanya untuk membantah lahirnya sebuah ?upaya? yang berpotensi untuk ?mengerem?, laju KPK sebagai lembaga yang tangguh dalam penindakan dan pembrantasan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Langkah KPK selama ini melahirkan kegamangan pada sejumlah kalangan yang masih ?bernafsu? untuk melakukan korupsi. Mereka merasa tidak nyaman dengan KPK. Dilain sisi, secara kelembagaan KPK juga menjadi ?momok? bagi instansi tempat menangani korupsi yang selama ini sulit disentuh aparat penegak hukum.
Memang, semangat untuk menjinakkan KPK, bisa terlihat dengan berkali-kjali upaya ?masyakat? melakukan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU 30/2002 tentang KPK. Bisa jadi, ke depan ada upaya-upaya secara politis yang muncul untuk melakukan perubahan mendasar terhadap UU 30/2002. Perubahan tentu saja diarahkan pada pasal-pasal yang mengancaman para koruptor.
Tetapi, suka atau tidak suka. Senang atau tidak senang, Wakil Rakyat telah melahirkan personal baru KPK mendatang. Tentu, upaya keras ini harus dihargai dan didukung. Soalnya bagaimana bentuk penghargaan dan dukungan masyarakat, tentu berpulang kepada kinerja pimpinan dan jajaran KPK...[{(dari PolitikIndonesia.com edisi 6 Desember 2007)}].
?Dia kualat sama saya. Saya yang memberi modal untuk menjadikannya. Tiga miliar duit saya kucurkan.Rasain sekarang. Sama-sama masuk tahanan.? kalimat itu meluncur mulus ditengah suasana silaturrahim hari kedua Idul Fitrie yang baru lalu.
Tentu saja, kalimat yang meluncur dihari kedua Idul Fitrie itu, tak ada hubungannya dengan situasi politik nasional saat ini.
Kini, soal yang menyangkut KPK tak ada henti-hentinya diwacanakan. Apa yang terjadi? Kabut sedang menyelimuti dunia pemberantasan korupsi di Indonesia. Hiruk pikuk soal komitmen yang sungguh-sungguh (tidak mengendor) soal pemberantasan korupsi, sebenarnya kembali menjadi wacana publik, ketika kampanye pemilihan presiden yang lalu dimulai.
Ketiga kandidat calon presiden (Megawati, SBY, Jusuf Kalla) dalam kampanyenya bertekad, bukan hanya ingin meneruskan,namun meningkatkan pemberantasan korupsi di negeri ini. Ketiganya tentu sangat memahami bahwa korupsi merupakan salah satu biang yang membuat negeri ini bisa masuk kedalam tubir keterpurukan. Karena itu, dibuatlah lembaga yang kokoh dan kuat, yakni KPK.
Ditengah kesiapan untuk meningkatkan pemberantasan korupsi, lembaga independen yang berwenang khusus untuk itu dilanda tsunami. Ketua KPK Antasari Azhar jadi tersangka. Tak lama berselang, Wakil Ketua KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto menyusul jejak Antasari, juga menjadi tersangka.
Paralel dengan status ketiga pimpinan KPK tadi, di Dewan Perwakilan Rakyat, RUU Tipikor juga mengalami kendala, baik dari aspek pengesahannya ataupun dari sisi substansi.
Masa tugas anggota DPR RI periode ini hampir habis. Tinggal menghitung hari saja. Mereka akan digantikan anggota DPR yang baru dan siap dilantik pada 1 Oktober mendatang. Begitu juga presiden dan wakil presiden yang baru, juga akan dilantik pada Oktober 2009.
Ditengah masa transisi itu, wacana soal RUU Tipikor, khususnya yang menyangkut soal pelucutan wewenang yang dimiliki KPK, membawa sinyalemen adanya pengempesan tekad untuk memberantas korupsi. Tentu saja ini belum terbukti.
Disisi lain, munculnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang diniatkan untuk mengisi kekosongan tiga orang pimpinan KPK, juga menuai beragam pandangan. Baik dari sisi hukum ataupun politik. Baik pro maupun kontra.
Simak saja suara aktivis dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Firmansyah Arifin. Menurut Firmansyah, untuk menjadikan KPK efektif, Perppu bukanlah jawaban. Apalagi jika RUU Pengadilan Tipikor dibiarkan membagi kewenangan penuntutan KPK dengan Kejaksaan dan kewenangan penyadapan KPK dirusak. Sama artinya dengan kewenangan KPK sudah diamputasi.
Kencangnya suara penolakan atas kehadiran Perppu dan Tim Lima yang bertugas untuk menyeleksi dan merekomendasikan sejumlah nama untuk menjadi pelaksana tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (Plt KPK) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, membuat salah satu anggota tim angkat bicara.
"Dalam waktu dekat akan diadakan pertemuan dengan LSM dan pihak-pihak yang menolak Perppu," kata Adnan Buyung Nasution, salah satu anggota Tim Lima sekaligus Anggota Wantimpres kepada para wartawan di Jakarta, Rabu (23/9).
Menurut Adnan hal itu penting dilakukan untuk mendengar aspirasinya. Selain itu, Tim Lima juga akan melakukan pertemuan dengan para pimpinan KPK yang masih aktif, juga untuk mendengar aspirasi mereka. Saat ini pimpinan KPK yang masih ada adalah M Jasin dan Haryono Umar, Wakil Ketua KPK bidang pencegahan.
Kita tahu, 3 pimpinan KPK lainnya sudah berstatus tersangka. Ketua KPK non-aktif Antasari Azhar ditetapkan tersangka dalam kasus pembunuhan berencana Direktur PT Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Sedangkan dua pimpinan KPK yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah ditetapkan Polri sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang pencekalan Anggoro Widjaja dan pencabutan cekal Djoko S Tjandra.
Menurut Adnan Buyung, bahwa Perppu Plt KPK dikeluarkan karena Presiden SBY berpikir bahwa penanganan korupsi akan sulit dilakukan jika KPK hanya diisi 2 pimpinan saja. Kinerja KPK akan pincang, maka perlu ditambah. "Dan tidak bisa melalui waktu 7 bulan sesuai mekanisme normal. Padahal pemberantasan korupsi harus secepatnya."
Alih-alih ingin menanggapi apa yang dikatakan Adnan Buyung Nasution. Ketua Tim Kuasa Hukum KPK Bambang Widjajanto malah ingin mengambil langkah lain. Pihaknya sedang mengkaji 3 upaya hukum di Mahkamah Konstiusi, yakni uji material Perppu Plt Pimpinan KPK, uji materi pasal 421 KUHP dan gugatan sengketa kewenangan antarlembaga negara.
Soal uji material Perppu, Bambang mengakui masih terjadi perdebatan apakah produk hukum seperti Perppu bisa diujimaterialkan. Pasalnya, UU 24 Tahun 2003 tentang MK mengatakan MK hanya berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Perdebatannya apakah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) juga Undang-undang?" ujarnya.
Bambang mengakui akan menggunakan argumen dasar bahwa Perpu Plt Pimpinan KPK menimbulkan ketidakpastian hukum.
Jalan kedua adalah uji pasal 421 KUHP terhadap UUD 1945. Pasal ini merupakan salah satu pasal yang menjerat Bibit dan Chandra terkait penyalahgunaan kewenangan terkait pencekalan buron koruptor Anggoro Widjojo dan pencabutan cekal Joko Tjandra.
Pasal 421 KUHP menyebutkan, seorang pejabat yang dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
Ketiga, Bambang mengungkapkan akan menempuh gugatan sengketa kewenangan antarlembaga negara. Gugatan akan memperkarakan sengketa kewenangan antara KPK dan Polri soal pencekalan.
Munculnya Tim Rekomendasi yang keluar sebelum Presiden SBY berangkat keluar negeri, bukannya mengempeskan wacana. Malah sebaliknya, perdebatan bertambah hangat dan melebar. Salah seorang anggota Tim, advokat Todung Mulya Lubis dinilai tidak layak.
Menurut Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan, keberadaan Mulya Lubis dalam tim akan dilihat publik sebagai representasi advokat. Padahal, dalam catatan Peradi, Mulya Lubis sudah tiga kali memperoleh sanksi dari tiga organisasi advokat yang berbeda.
Mulya Lubis memperoleh sanksi peringatan keras dari Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), pemberhentian tetap dari Peradi, dan pemberhentian selama sebulan dari Kongres Advokat Indonesia (KAI). Ketiga organisasi advokat yang pernah dan masih diikuti Mulya Lubis itu menilai yang bersangkutan melakukan pelanggaran kode etik. Dengan demikian, Perhimpunan Advokat Indonesia menolak penunjukan Todung Mulya Lubis.
Otto memang tidak mengutak-utik kewenangan presiden. Menurut Otto Presiden memiliki kewenangan penuh untuk menunjuk anggota tim yang akan membantunya memilih pejabat sementara pimpinan KPK. Akan tetapi, kredibilitas anggota tim akan menentukan pula kredibilitas calon pimpinan KPK yang diusulkannya kepada Presiden.
Otto berharap Presiden Yudhoyono mengganti Mulya Lubis. Ada ribuan advokat, yang satu di antaranya dapat dipilih menjadi anggota tim yang akan memberikan masukan terkait kepemimpinan sementara KPK itu.
Kehadiran Perppu kian dipersoalkan.Jika berniat untuk mempercepat kekosongan Pimpinan KPK, presiden seharusnya bukan mengeluarkan Perppu penunjukan, tetapi Perppu percepatan seleksi Pimpinan KPK. Agar tahapan seleksi yang 6 bulan bisa dipangkas, kata Ketua Komisi III DPR RI Trimedya Pandjaitan.
Seperti juga dipahami oleh masyarakat luas, UU 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dibuat sebagai payung hukum bagi suatu lembaga antikorupsi yang independen dan lepas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Pasal 3 UU KPK telah mengunci peluang dari seluruh pasal UU tersebut untuk digantikan oleh sebuah peraturan pemerintah. Dengan demikian, pemerintah tidak boleh mengubah sebagian pasal tanpa memperhatikan keterkaitan seluruh pasal, terutama pasal 3.
Seperti apa bunyi Pasal 3 UU KPK? Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Terkait dengan kekosongan pimpinan KPK, Pasal 33 ayat 1 UU KPK menyebutkan, dalam hal terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Jadi, untuk UU KPK, tidak boleh mengubah salah satu pasal tanpa memperhatikan keterkaitan dengan pasal yang lain. Nggak bisa sepenggal," jelas Trimedya.
Menurut politisi PDIP ini, karena Perppu sudah bermasalah, maka penunjukan Tim Perumus Plt KPK yang merupakan turunannya, otomatis juga bermasalah. Dengan Perppu tersebut, Presiden telah mengambil kewenangan DPR sebagai lembaga perwakilan untuk menguji calon pejabat publik.
"Ini melanggar prinsip umum demokrasi. Kalau begini muncul pertanyaan, apakah ini bukan sebuah upaya politisasi?" kata Ketua Komisi III DPR RI ini.
Tentu saja ada juga yang mendukung atas terbitnya Perppu Plt Pimpinan KPK. Salah satunyanya Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD.
Sayangnya, bentuk support yang dinyatakan Mahfud mendapat tanggapan yang kritis dari kuasa hukum KPK, Bambang Widjajanto. Seyogyanya Ketua MK bersikap hati-hati untuk tidak memperlihatkan posisinya karena semua masalah ini kemungkinan akan dibawa ke MK, ujar Bambang Widjajanto.
Dalam perspektif Bambang, pendapat hukum Mahfud yang mendukung Perppu berpotensi menimbulkan conflict of interest, jika mantan politisi ini nantinya menyidangkan perkara terkait Perpu ke MK. Bahkan bisa melanggar prinsip imparsialitas.
Lebih keras lagi, suara Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia, Boyamin Saiman. Menurut Boyamin Mahfud telah menjilat ludahnya sendiri dan menjilat kode etik yang dibuatnya sendiri. Sebab
Mahfud pernah berjanji tidak akan mengomentari segala produk hukum apa pun yang berpotensi masuk ke meja MK.
Lantas apa konteks suara-suara yang muncul, sebelum dan setelah terpilihnya Antasari Azhar menjadi Ketua KPK dengan realita dan dinamika kekinian (setelah dua tahun), tentang KPK? Tentu masyarakat luas hanya bisa sebatas menyimak saja. Tangan mereka tak mampu menjangkau itu semua.
© Copyright 2024, All Rights Reserved