Menurut Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti akan ada masalah dalam pengalihan suara. Sehingga, suara yang ada sebaiknya tidak melihat asal daerah pemilihannya lagi.
"Jadi, suara yang dialihkan harus dilihat sebagai suara penduduk secara nasional. Jadi, mungkin saja, untuk memenuhi tiga kursi di Provinsi Gorontalo, maka bisa mengambil suara dari provinsi yang berjauhan. Tidak harus dari daerah yang bertetangga," katanya.
Namun, KPU belum memutuskan mekanisme menyelesaikan soal itu. Yang pasti, suara yang diambil dilihat sebagai suara pemilih nasional. Jangan melihat lagi asal daerah suara itu.
Oleh karena itu, KPU harus membuat ketetapan tambahan tersendiri mengenai daerah pemilihan, mengingat terbatasnya rambu penetapan daerah pemilihan yang ditentukan UU 12/2003.
Minimnya aturan mengenai daerah pemilihan dalam UU, ujar Ramlan, akan mempersulit kerja KPU. Bahkan, akan memaksa KPU melampaui kewenangan yang dimilikinya. KPU diberi kewenangan legislasi, padahal seharusnya KPU hanya menjadi lembaga pelaksana UU. Soalnya, KPU hanya menginginkan untuk menangani permasalahan teknis, yang pengaturannya sudah dimuat dalam UU.
Sedih juga menjadi daerah yang berpenduduk padat. Pasalnya, Daerah pemilihan yang berpenduduk padat harus merelakan sebagian suaranya untuk diberikan ke provinsi baru hasil pemekaran pada Pemilu 2004 mendatang.
"Kondisi itu adalah konsekuensi implementasi Undang-Undang 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang menyatakan provinsi hasil pemekaran setelah Pemilu 1999 harus mendapatkan sedikitnya tiga kursi DPR," kata Riswandha Imawan, pengamat politik dari Universitas Gajahmada (UGM), Jogjakarta.
Misalnya Provinsi Gorontalo. Berdasarkan Sensus 2000 jumlah penduduknya sebanyak 861.534 orang. Berdasarkan kuota, provinsi hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara itu akan mendapat dua kursi. Karena kalau mengacu penjelasan Pasal 48 UU 12/2003, satu kursi DPR senilai 325-424 ribu penduduk. Akan tetapi, berdasarkan penjelasan pasal yang sama, Gorontalo akan memiliki sedikitnya tiga kursi.
Karena itu, ujar Riswandha akan ada sekitar 211 ribu suara dari daerah lain yang harus dialihkan untuk Provinsi Gorontalo. Yang paling memungkinkan adalah suara itu dialihkan dari daerah yang padat penduduk, sehingga yang paling memungkinkan adalah suara yang berasal dari daerah pemilihan di Pulau Jawa.
Jika kekurangan suara itu harus, sepantasnya diambil daerah pemilihan sekitarnya, dan kemungkinan akan memunculkan konflik baru. "Bagi sebagian masyarakatnya, Gorontalo memekarkan wilayah karena perasaan termarjinalisasi oleh etnis provinsi induknya. Sehingga tidak mudah bagi masyarakat Gorontalo ataupun Minahasa mau menerima proses peralihan suara dari provinsi induknya," katanya.
Akan tetapi, Riswandha tidak menyetujui adanya pemaksaan bagi satu daerah pemilihan untuk mengalihkan suaranya ke daerah pemilihan lain. Hanya saja, pengalihan suara itu adalah konsekuensi yang harus diambil sebagai implementasi UU.
Seharusnya, setiap daerah pemilihan cukup mendapat kursi sesuai jumlah penduduknya. "Seperti Gorontalo. Kalau hanya bisa memperoleh dua kursi, ya cukup dua kursi, tidak usah ditambah lagi. Soalnya, kalau dipaksakan maka akan memunculkan kursi tanpa pemilih, dan pemilih yang tidak memunyai wakil."
© Copyright 2024, All Rights Reserved