Sistem noken yang masih digunakan pada sebagian daerah di provinsi Papua dinilai cenderung memicu konflik kekerasan hingga menelan korban jiwa. Konflik dan kekerasan hampir terjadi pada setiap tahapan penyelenggaraan.
Pendapat itu disampaikan Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini dalam acara diskusi di kantor KPU, Jakarta, Rabu (31/01).
Sistem noken adalah sistem pemilihan yang digunakan khusus untuk tanah Papua. Dengan sistem ini, kepala suku mewakili seluruh anggota sukunya untuk memilih pemimpin daerah.
Warga yang memiliki hak suara diminta berkumpul berbaris di depan noken (sebuah tas yang terbuat dari akar kayu) dengan nomor urut calon kepala daerahnya. Jumlah orang yang berbaris adalah jumlah suara yang terkumpul. Pemilihan berlangsung tanpa bilik suara.
Titi mengatakan, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, sistem Noken masih diperkenankan diterapkan pada 13 daerah dari 29 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Papua. Ke-13 daerah tersebut adalah Yahukimo, Nduga, Lanny Jaya, Tolikara, Intan Jaya, PuncaknJaya, Dogiyai, Memberamo Tengah, Paniai, Puncak, Deiyai, Jayawijaya dan Mimika.
“Dua isu penting yang selalu menyertai pelaksanaan pilkada di wilayah Papua adalah pilkada yang menggunakan sistem noken dan konflik kekerasan yang kerap terjadi. Bahkan keduanya sering dikaitkan oleh para pihak sebagai faktor sebab dan akibat," kata Titi.
Titi mengatakan, beberapa daerah yang melaksanakan sistem noken merupakan daerah yang tercatat sering pecah konflik kekerasan, hingga menelan korban jiwa. Menurut dia, wajar jika publik sulit memisahkan antara noken dengan konflik kekerasan.
"Sehingga wajar, jika publik sulit memisahkan antara noken dengan konflik kekerasan. Momentum kekerasannya terjadi hampir pada setiap tahapan penyelenggaraan," ujar Titi.
Berdasarkan data Perludem, sejak 2010 hingga 2014, daerah-daerah seperti Puncak, Yahukimo, Lanny Jaya, Tolikara, Dogiyai, Jayawijaya sudah menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan pemilu dan pilkada.
Laporan media mengakumulasi hingga 71 warga yang tewas sepanjang momentum tersebut. Hal ini belum menyinggung korban luka-luka serta jumlah harta benda baik milik masyarakat maupun pemerintah yang turut menjadi korban.
Pada tahun 2017, jatuhnya korban jiwa dalam konteks pilkada kembali terjadi. Konflik kekerasan tidak dapat dihindari di 2 kabupaten, yaitu Puncak Jaya dan Intan Jaya. Dihimpun dari sejumlah media lokal dan nasional, korban tewas mencapai 19 orang dengan puluhan luka-luka dan sejumlah fasilitas negara dan pribadi rusak berat.
Pilkada Tolikara, kendati tidak lagi menelan korban jiwa seperti tahun 2011 yang lalu, namun sempat menimbulkan kerusuhan yang mengkhawatirkan. Bahkan keributannya menjalar hingga ke Jakarta, saat belasan orang yang diduga merupakan salah satu kelompok pendukung paslon yang kalah, merusak kantor Kemendagri akibat tidak dapat menemui Mendagri di kantornya.
Titi menambahkan, potensi konflik di Papua pada Pilkada 2018 cukup besar. Pasalnya, ada 8 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada, yakni 1 Pilkada Gubernur-Wakil Gubernur Papua dan 7 Pilkada Kabupaten (Biak Numfor, Memberamo Tengah, Paniai, Puncak, Deiyai, Jayawijaya dan Mimika).
“Penting untuk menjadi perhatian serius karena Pilkada Serentak 2018 di Papua kembali melibatkan 8 daerah yang pernah menyumbang korban jiwa dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkadanya, yaitu Puncak, Yahukimo, Lanny Jaya, Tolikara, Dogiyai, Jayawijaya, Puncak Jaya, Intan Jaya," jelas dia.
Titi menyebut, ketegangan yang meningkat selama Pilkada 2017 di Puncak Jaya, Intan Jaya dan Tolikara belum sepenuhnya menurun. Sisa-sisa dendam, baik dendam politik maupun dendam pribadi karena anggota keluarga yang tewas, menurutnya, masih ada dan menjadi potensi konflik untuk tiga daerah ini.
"Sebagai daerah yang berkali-kali masuk dalam kategori rawan konflik oleh Bawaslu dan Kepolisian, jatuhnya korban jiwa akibat pilkada di Papua menjadi preseden buruk. Adanya korban tewas menunjukkan bahwa kajian dan antisipasi yang disiapkan belum bekerja dengan baik," ungkap dia.
Seharusnya, tambah Titi, upaya preventif dari perspektif penyelenggara pemilu dan perspektif kepolisian mengalami kemajuan, karena konflik kekerasannya terjadi berkali-kali. Jika para pihak tidak meng-upgrade pendekatan dan strategi penanganan konflik kekerasan dari yang sebelumnya, kata dia, bukan tidak mungkin korban akibat pilkada akan kembali berjatuhan.
"Apalagi, tahun 2019 di daerah yang sama kembali akan digelar pileg dan pilpres. Sehingga konsentrasi untuk Papua harusnya semakin ditingkatkan dan upaya preventifnya semakin inovatif," tandas dia.
© Copyright 2024, All Rights Reserved