Pemberian izin baru terhadap 8 fakultas kedokteran yang diumumkan Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti) pada Selasa (29/03) mendapat penolakan dari sejumlah asosiasi dokter di Indonesia. Pasalnya, pembukaan fakultas kedokteran baru itu sangat berpotensi menimbulkan masalah baru dalam pendidikan kedokteran dan merugikan masyarakat.
Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Bambang Supriyatno mengatakan penolakan tersebut bukan tanpa alasannya. Karena hingga sekarang masih banyak fakultas kedokteran yang sudah lama berdiri, tapi belum sempat dibina dan ditingkatkan kualitasnya. Bahkan, ada yang nyaris terabaikan.
"Walaupun pembukaan fakultas kedokteran itu adalah wewenang Kemenristekdikti, tapi perlu mempertimbangkan berbagai faktor yang terkait dengan kualitas dan kesinambungan proses pendidikan. Sehingga mampu menghasilkan dokter dan dokter gigi yang kompeten dan profesional," katanya kepada politikindonesia.com di Gedung KKI, Jakarta, Jumat (01/04).
Menurutnya, pembukaan 8 fakultas kedokteran tersebut patut dipertanyakan. Karena dari rekomendasi yang disetujui oleh tim independen evaluasi untuk tahun 2016 hanya 3 fakultas kedokteran baru yang boleh dibuka. Padahal pada tahun 2015, ada 36 universitas yang mendaftar untuk membuka fakultas kedokteran baru.
"Tapi anehnya, Menristek malah mengumumkan ada 8 fakultas kedokteran baru. Dari 8 perguruan tinggi itu, hanya 3 yang kami setujui sesuai dengan hasil dari tim evaluasi independen. Sedangkan 5 perguruan tinggi lainnya tidak kami rekomendasikan. Oleh karena itu, kami menyatakan penolakan terhadap keputusan Menristekdikti tersebut," ungkapnya.
Dijelaskan, pihaknya bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia (ARSPI) dan Asosiasi Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Indonesia (ARSGMPI) menolak keputusan tersebut karena ingin menlindungi masyarakat.
"Saat ini ada sebanyak 75 fakultas kedokteran yang ada Indonesia masih memiliki variasi akreditasi dan tingkat kelulusan yang tinggi. Hanya 21 persen saja yang menyandang akreditasi A, sisanya 43 persen menyandang akreditasi B dan 36 persen C," tandasnya.
Bambang memaparkan, dari hasil visitasi untuk evaluasi pelaksanaan standar pendidikan kedokteran pada beberapa fakultas kedokteran di daerah dalam beberapa tahun terakhir ini ditemukan banyak sekali ditemukan proses belajar mengajar yang tidak berjalan lancar. Karena tenaga pengajat dan fasilitasi pendidikan yang minim.
"Sehingga hasil akhirnya sudah bisa ditebak, dokter lulusan dari universitas tersebut kualitasnya perlu dipertanyakan. Hal ini terindikasi dari tingkat kelulusan uji konpetensi profesi dokter secara nasional berkisar 20 persen hingga 97 persen. Ini menunjukan kualitas institusi pendidikan kedokteran tersebut," ujarnya.
Solusinya adalah, lanjut Bambang, harus segera dilakukan perbaikan dan pembinaan terhadap institusi pendidikan kedokteran di Indonesia. Sehingga mampu menghasilkan dokter yang kompeten dan profesional. Selain itu juga diperlukan melakukan moratorium terhadap pembukaan fakultas kedokteran.
"Daripada membuka fakultas kedokteran baru, lebih baik yang ada ini ditingkatkan mutunya. Dengan begitu kualitas dokter yang lulus akan meningkat. Kalau dibuka banyak-banyak tapi kualitas rendah, masyarakat yang akan kena dampaknya. Sehingga marak bermunculan dokter yang membuka praktek ilegal," tandasnya.
Sementara itu, Ketua PB IDI, Oetama Marsis memaparkan, ke-8 perguruan tinggi yang membuka program studi kedokteran tahun ini adalah Universitas Khairun Ternate, Universitas Surabaya, Universitas Ciputra Surabaya, Universitas Muhammadiyah Surabaya, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahin Malang, UIN Alauddin Makassar, Universitas Bosowa Makassar, dan Universitas Wahid Hasyim Semarang.
"Dari 8 fakultas kedokteran baru tersebut, sebagian besar tidak memenuhi persyaratan bila ditinjau dari kesiapan dan jumlah tenaga pengajar. Selain itu, sarana dan prasarana, fasilitas pendidikan atau dukungan pendanaan juga tak memenuhi syarat. Sebab, rasio dosen dan mahasiswa, rumah sakit pendidikan merupakan pertimbangan yang sangat penting dalam proses pendidikan dokter dan dokter gigi," imbuhnya.
Dia mengatakan, pihaknya akan mengirimkan surat pernyataan sikap bersama ke Menristekdikti hari ini. Pihaknya berharap Menristekdikti akan mencabut keputusan tersebut dan lebih memilih meningkatkan mutu dan kualitas fakultas kedokteran yang ada. Selain itu juga pihaknya meminta agar Kemenristekdikti memperhatikan persyaratan pembukaan yang objektif dalam memberikan persetujuan fakultas kedokteran.
"Memang Indonesia memerlukan dokter, tapi tidak berarti kita harus membangun sebanyak-banyaknya fakultas kedokteran tanpa memperhatikan kualitas. Karena proses penilaian yang tidak sesuai dengan standar akan berpotensi menjadi beban yang berkepanjangan bagi pemerintah dan masyarakat. Untuk itu lebih baik tangani dulu masalah ini daripada produksi dokter-dokter baru," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved