Pengembangan peternakan sapi perah melalui program kemitraan dapat mengurangi ketergantungan bahan baku susu impor. Sehingga bisa menghemat devisa.
Apalagi, data Badan Pusat Statistik (BPS), menyebutkan, kebutuhan susu Indonesia di tahun 2017 dengan konsumsi susu 16,5 liter/kapita/tahun adalah 4.448,67 ribu ton. Sementara itu, produksi susu nasional dari populasi sapi perah sejumlah 544.791 ekor adalah 922,97 ribu ton (20,74 persen), 3.525,70 ribu ton (79,26 persen) harus dipenuhi melalui impor.
Direktur Pemasaran dan Pengolahan Hasil Peternakan, Fini Murfiani, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (Kementan) mengatakan, masih bergantungnya pada impor, karena bahan bakunya belum bisa dipasok dari domestik. Sehingga sisanya masih diimpor dalam bentuk skim milk powder, anhydrous milk fat, dan butter milk powder dari berbagai negara seperti Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Hal itu membuktikan, masih banyak ruang bagi pelaku usaha yang ingin berinvestasi untuk memperdalam struktur industri pengolahan susu di Indonesia.
“Makanya, kami terus mendorong industri pengolahan susu di dalam negeri untuk semakin meningkatkan komitmen investasinya. Selain itu, mendorong industri pengolahan susu untuk menjalin kerja sama dengan peternak sapi perah dalam negeri. Program kemitraan itu dalam upaya peningkatan daya saing industrinya karena didukung dengan pemenuhan bahan baku susu segar yang berkesinambungan dan berkualitas baik. Sehingga para peternak memperoleh manfaat-manfaat positif,” katanya katanya kepada politikindonesia.com dalam seminar bertema,” Meningkatkan Produktivitas dan Kualitas Susu Segar Dalam Negeri: Sharing Peternak Muda” di Puslitbang Peternakan, Kementan, Bogor, Jawa Barat, Rabu (25/04).
Dijelaskan, dalam Permentan Nomor 26 tahun 2017, diatur mengenai Kemitraan antara pelaku usaha dengan peternak/gapoknak/koperasi melalui pemanfaatan SSDN, promosi susu (public awareness), penyediaan sarana produksi, produksi dan/atau permodalan atau pembiayaan. Program kemitraan ini bersifat mandatory bagi pelaku usaha yang melakukan importasi susu dan produk turunan susu. Jenis kemitraan yang akan dijalankan oleh pelaku usaha bersifat fleksibel, artinya sesuai dengan kebutuhan peternak/ gapoknak/koperasi yang akan menjadi mitra.
“Inti dari kemitraan meliputi pemanfaatan SSDN, promosi, penyediaan sarana produksi, Produksi, dan/atau Permodalan/pembiayaan. Kemitraan dalam bentuk Penyediaan sarana produksi dapat berupa penyediaan peralatan dan bangunan untuk meningkatkan produksi dan mutu SSDN. Bahkan, saat ini sudah ada dukungan dari Pemerintah Daerah dalam menyusun perencanaan tata ruang yang dapat mendukung tumbuh dan berkembang serta lestarinya usaha peternakan, terutama peternakan rakyat, untuk tumbuh kembang ternak maupun lahan untuk penyediaan pakan,” ulasnya.
Diakuinya, masalah persusuan sapi nasional saat ini masih meliputi sisi hulu hingga hilir. Sayangnya, dari sisi hulu, adanya trend penurunan populasi sapi perah sehingga menurunkan produksi Susu Segar Dalam Negeri (SSDN). Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, mewujudkan kemandirian pangan asal susu, meningkatkan produksi susu nasional dan meningkatkan kesejahteraan peternak di Indonesia, pemerintah telah menerbitkan Permentan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu.
“Permentan tersebut merupakan regulasi pertama sejak tahun 1998 atau selama 20 tahun ini diharapkan mampu mendorong semua stakeholder untuk berperan aktif bahu membahu dalam pengembangan persusuan nasional,”
Sementara itu, lanjutnya, dari sisi hilir, harga susu di tingkat peternak belum sesuai yang diharapkan. Sehingga peternak belum mendapat pendapatan yang layak dari usaha peternakan. Hal itu disebabkan, rendahnya posisi tawar peternak. Karena kualitas susu sapi masih rendah padahal kualitas susu menjadi salah satu indikator utama penentuan harga.
“Selain harga, permasalahan di sisi hilir adalah tingkat konsumsi susu dan produk olahannya yang masih rendah dibanding negara tetangga ASEAN lainnya. Sehingga masyarakat kurang mengetahui informasi dan edukasi akan pentingnya susu untuk kecerdasan dan kesehatan,” paparnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Tim Kajian Antisipatif dan Responsif Kebijakan Peternakan dan Veteriner, Puslitbang Peternakan, Ismaeth Inounu, mengatakan target Produksi SSDN sebesar 40 persen dan 60 persn pada tahun 2021 dan 2025 target pemerintah adalah menghasilkan produksi SSDN sebesar 40 persen pada tahun 2021 dan 60 pessen pada 2025. Berarti industri sapi perah harus mampu meningkatkan produksi SSDN sebanyak 5 persen per tahun sejak 2018.
“Untuk mencapai target 40 persen dan 60 persen tersebut, maka industri sapi perah pada tahun 2021 dan 2025 harus menghasilkan susu segar sebanyak masing-masing 2.680 ribu ton dan 5.465 ribu ton. Maka, upaya percepatan produksi SSDN peningkatan produktivitas melalui perbaikan mutu bibit, penyediaan jumlah dan mutu pakan, perbaikan manajemen pemeliharaan dan keswan, pendampingan di lokasi budidaya,” ucapnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved