Perubahan iklim global terus mempengaruhi cuaca dan hujan di awal tahun 2013. Prakiraan hujan bulanan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada Januari lalu menunjukkan bahwa curah hujan yang diperkirakan jauh di atas yang terukur. Ini artinya, ancaman banjir dan longsor di Indonesia semakin besar dari yang diperkirakan dan dimodelkan sebelumnya.
“Ancaman bahwa masih akan terus berlangsungnya banjir dan tanah longsor semakin terlihat nyata,” ujar Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Rovicky Dwi Putrohari, melalui rilis kepada politikindonesia.com, Kamis (21/02).
Prakiraan kondisi cuaca (hujan, angin dan kelembaban udara) saat ini sudah menjadi hal utama untuk selalu dilihat dan diamati oleh hampir seluruh masyarakat dan selalu disiarkan di media-media. Perbedaan hasil prakiraan ini sangat mungkin disebabkan karena perubahan iklim global yang menjadikan “rumus” prediksi cuaca bulanan terutama hujan menjadi lebih kompleks dan tidak mudah.
Prakiraan cuaca ini sering terpengaruh oleh sebuah fenomena alam yang muncul sebagai gejala baru, yang menjadikan prakiraan cuaca menjadi semakin kompleks, misalnya, badai tropis yang tidak terprediksi dalam prakiraan hujan bulanan. Perubahan iklim ini juga harus diwaspadai sehingga kita tidak hanya mengandalkan perkiraan cuaca saja sebagai bahan untuk memprediksi potensi bencana.
Rovicky mengatakan, curah hujan yang diperkirakan jauh di atas yang terukur, berarti, ancaman banjir dan longsor di Indonesia semakin besar dari yang diperkirakan dan dimodelkan sebelumnya. Rovicky memandang, perlu dilakukan evaluasi ulang terhadap prakiraan hujan serta banjir yang kemungkinan mengancam lebih besar pada daerah-daerah yang selama ini berpotensi terjadi longsoran dan banjir. "Terutama di daerah-daerah yang sebelumnya menjadi pusat bencana."
Termasuk di antaranya daerah sekitar gunungapi yang tahun sebelumnya aktif menumpuk material yang masih belum terbatukan. Dan, juga daerah-daerah yang sebelumnya tergetarkan oleh gempa dan menimbulkan keretakan pada tanah. "Material ini pasti rawan tererosi dan terangkut menjadi lahar dingin atau longsor," ujarnya.
Rovicky membeberbkan, dalam evaluasi singkat banjir Jakarta dan sekitarnya yang dilakukan oleh team ahli dari IAGI, jebolnya tanggul merupakan salah satu penyebab yang memperlihatkan kurangnya pengawasan dan perawatan terhadap bangunan-bangunan air. Ini mengingatkan pada kasus jebolnya bendung Situ Gintung di Jakarta beberapa tahun lalu.
Sebetulnya, ujar Rovicky, tim ahli dari IAGI juga telah melihat adanya ancaman pada Waduk Penjalin, Jawa Tengah, yang merupakan bendungan lama yang dibangun jaman Belanda (1930). Bendung waduk ini terletak di atas patahan, yang menurut Rovicky, sangat rawan terhadap kebocoran. “Disarankan untuk terus dikontrol dan diawasi bendungan-bendungan yang memiliki konstruksi lama serta konstruksi sederhana,” tambahnya.
Untuk masalah sosialisasi ini, Rovicky mengatakan, IAGI akan terus mengikuti kegiatan ekstraksi sumberdaya alam, mitigasi kebencanaan serta konservasi lingkungan. “IAGI memiliki anggota lebih dari 4 ribu ahli geologi yang tersebar di Indonesia, sudah seharusnya berkiprah langsung membantu masyarakat dengan sosialisasi seperti ini.”
Sebagai Ketua IAGI, Rovicky mengingatkan, agar lokasi-lokasi bencana yang selama ini sudah dianggap aman, untuk terus dipantau. Termasuk diantaranya lokasi sekitar letusan gunungapi, lokasi pasca gempa, lokasi daerah terdampak Lumpur Sidoarjo, serta lokasi-lokasi pasca bencana lainnya.
Kepada seluruh masyarakat untuk terus mengenali kondisi lingkungan sekitarnya, ikut mengamati bila dijumpai gejala-gejala awal bencana. Termasuk didalamnya retakan, kebocoran tanggul (bendung), serta tetap terus mewaspadai bencana yang dipicu kondisi meteorologis hingga akhir musim hujan ini.
Sementara kepada pemerintah, terkait dengan kebencanaan (BMKG, BNPB serta Badan Geologi) untuk terus meningkatkan kewaspadaan. “Terus menerus memperbaharui prakiraan model kebencanaan yang akan dan telah terjadi sebagai dasar koordinasi dalam penanganan,” ujar dia.
Pentingnya fungsi ibukota bagi negara, serta berpotongannya batas-batas wilayahnya dengan batas DAS (Daerah Aliran Sungai) menunjukkan keharusan peran Pemerintah Pusat dalam menangani banjir. Banjir harus dievaluasi dan ditangani secara nasional dan dikoordinasikan dengan pemerintah daerah.
“Jebolnya tanggul dan bangunan-bangunan air lainnya merupakan peringatan akan pentingnya perawatan serta pemeliharaan konstruksi-konstruksi bangunan hasil rekayasa penanganan banjir ini,” tandas Rovicky.
Rovicky Dwi Putrohari, Ketua IAGI
© Copyright 2024, All Rights Reserved