Sikap pemerintah yang memaksakan divestasi saham secara paralel, bertolak belakang dengan rencana internal jajaran direksi dan komisaris BNI. Untuk mengejar setoran APBN atau setoran lainnya?
Dua pekan lalu, pemerintah meminta manajemen baru PT Bank Negara Indonesia, Tbk (BNI) untuk segera melakukan persiapan divestasi saham secara pararel. Padahal manajemen sendiri sudah menyusun program dalam enam bulan ke depan baru bank tersebut siap didivestasi.
Sekretaris Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Bacelius Ruru membenarkan percepatan divestasi saham Bank BNI. Menurutnya, divestasi tersebut telah dibahas dan merupakan kebijakan dari tim privatisasi yang berpendapat pola terbaik terhadap Bank BNI adalah mendivestasi saham lebih dari 51 persen. Karena kalau jumlah saham yang dilepas kurang dari 51 persen, pemerintah akan kesulitan mencari calon investor yang akan membeli.
Diakui pula, manajemen Bank BNI beberapa waktu lalu sudah melaporkan permintaan melakukan persiapan selama enam bulan. "Memang ada permintaan Bank BNI melakukan persiapan enam bulan. Tetapi kalau bisa lebih cepat mengapa tidak? Sebab itu, kita minta mereka melakukan persiapan secara paralel dengan pemulihan kondisi bank," kata Ruru.
Akibat sikap ngotot pemerintah yang demikian, tak urung Komisaris Bank BNI Dradjad H Wibowo mengungkapkan rasa kegusarannya. “Tidak ada gunanya dirinya tetap berada di Bank BNI, jika sebagai komisaris suara-suara mereka tidak didengar pemerintah agar jangan mendivestasi secara tergesa-gesa.”
Menurut Drajad, pihaknya akan berusaha supaya pemerintah tidak ngotot melaksanakan privatisasi. Sebab selain timing-nya kurang tepat, Bank BNI tengah menyiapkan program pemulihan dari kasus penipuan (fraud) melalui Letter of Credit (L/C) fiktif di Cabang Kebayoran Baru, Jakarta dan Cabang Magelang, Jawa Tengah.
Berdasarkan kajian profesional, Bank BNI memerlukan waktu enam bulan terhitung mulai Januari 2004 untuk pulih dari kasus pembobolan dana Rp 1,7 triliun. Selain itu, Bank BNI juga tengah melakukan kuasi reorganisasi. Apalagi, laba tahun 2003 lalu diperkirakan terkoreksi menjadi hanya Rp500 miliar, jauh dari target sebelumnya Rp3 triliun.
Lebih jauh, suka atau tidak suka ada beberapa hal perlu dicermati dari niat pemerintah mempercepat divestasi saham Bank BNI. Pertama, merupakan upaya pemerintah untuk mengejar setoran ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bila ini yang menjadi tujuan, menurut Drajad langkah memaksakan penjualan dalam waktu tidak tepat dan calon investor strategis terbatas, justru target setorannya akan berkurang. "Akan menguntungkan kalau didivestasi setelah kinerjanya pulih."
Apalagi penjualan kepada calon investor strategis direncanakan pada April 2004, bertepatan waktunya dengan pelaksanaan pemilu. Jelas, dikhawatirkan calon investor akan menekan harga penjualan. "Pilihan kebijakan publik ini sangat tidak sensitif. Selaku ekonom dan komisaris, tidak ada gunanya saya ada di bank BNI, karena suara-suara direksi dan komisaris tidak didengar. Ini bukan pandangan emosional tetapi pandangan profesional," tegas Dradjad.
Kedua, pilihan metode divestasi. Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempertanyakan sikap pemerintah memaksakan divestasi melalui investor strategis (strategic sale). Sebab, dalam pembicaraan dengan DPR, pemerintah meminta izin bukan divestasi melalui strategic sale, tetapi dengan penawaran publik/umum kedua (secondary offering).
"Sikap pemerintah tidak konsisten, yang diminta ke DPR menjual saham melalui penawaran pada publik, bukan ke investor strategis," tegas Wakil Ketua Sub Perbankan Komisi IX DPR Rizal Djalil. Menurutnya, kesepakatan dengan pemerintah disetujui dengan pertimbangan pelepasan saham ke publik tidak mengandung resistensi politik terlalu tinggi, terutama berkaitan dengan waktu pelaksanaannya yang tidak bersamaan dengan pemilu.
Senada dengan hal ini, selain waktu penjualan di semester I 2004 yang dinilai terlalu dekat, Dradjad juga mempersoalkan strategic sale sebagai mekanisme penjualan dan 51 persen saham yang hendak dijual. Dradjad menyebut contoh pelepasan saham Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia (Bank BRI) yang berlangsung mulus karena menggunakan mekanisme penawaran kepada publik dan status pemerintah tetap sebagai pemegang saham mayoritas.
"Public offering tidak mengundang kontroversi. Masyarakat bisa menerima karena manfaatnya dirasakan. Sementara strategic sale banyak ditentang, mulai dari soal ketidaktransparanan hingga hilangnya kepemilikan mayoritas pemerintah. Contohnya kasus penjualan saham Indosat dan Semen Gresik," katanya.
Namun, tidak demikian halnya dengan pengamat perbankan Mirza Adhitsyawara yang berpendapat sebaliknya. Divestasi saham Bank BNI dengan metode penjualan kepada investor strategis merupakan langkah paling mungkin dibandingkan penawaran umum kedua. Menurutnya, jika divestasi Bank BNI dilakukan dengan secondary offering, harga sahamnya bergantung pada nilai buku dan image perusahaan.
Saat ini, nilai buku Bank BNI sekitar Rp600. Dengan posisi rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) yang mepet, provisi kurang akibat kredit macet Texmaco, ditambah kasus L/C yang belum selesai, akan semakin memperburuk balanced sheet (neraca) BNI, sehingga nilai buku saham Bank BNI akan lebih rendah dari Rp600. "Kalau kondisinya seperti begitu, berapa nanti investor mau beli kalau dilepas ke pasar? Belum lagi dengan proses secondary offering butuh waktu lebih lama dibandingkan strategic sale. Jadi mungkin ini yang membuat pemerintah memilih metode strategic sale, soalnya masih bisa melakukan tawar menawar harga dengan calon investor," kata Mirza.
Ketiga, dugaan jual murah lagi. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Meneg PPN/Bappenas) Kwik Kian Gie menegaskan dengan adanya batasan waktu dari pemerintah harus menjual dalam semester I 2004, secara psikologis sudah mendorong harga saham Bank BNI anjlok, karena investor akan mengajukan penawaran harga yang rendah.
Pandangan yang demikian diamini Wakil Direktur Utama Bank BNI Arwin Rasyid. ”Lebih baik Bank BNI dibenahi lebih dulu.” Hal yang paling penting kalau barang ini mau dijual, maka harus dipercantik, semakin cantik, apalagi kalau kondisi makronya mendukung dengan sendirinya nilai sahamnya meningkat," kata Arwin.
Lagi pula, memaksakan penjualan saham Bank BNI sebelum waktu enam bulan yang diperlukan, menurut Dradjad, ibarat menjual sepeda motor rusak yang belum selesai direparasi. Dengan kondisi demikian, harga saham Bank BNI dapat ditekan serendah-rendahnya oleh calon pembeli.
Sementara pengamat hukum perbankan, Sutan Remi Sjahdeini berpendapat dengan memaksakan Bank BNI diprivatisasi pada semester I 2004, pemerintah khususnya Kementerian Negara BUMN terkesan tidak pernah memperhitungkan waktu yang tepat. "Pemerintah terkesan tidak memberi kesempatan kepada manajemen baru untuk melakukan pemulihan di perusahaan tersebut. Padahal manajemen baru sudah mempunyai program pemulihan hingga enam bulan ke depan," ujarnya.
Bila demikian, timbul pertanyaan, apa yang melandasi pikiran mensegerakan divestasi ini? Sebab, baik ditinjau dari segi harga, performa BNI, dan setoran untuk APBN, justru langkah tergesa-gesa pemerintah tidak menguntungkan. Ada apa?
© Copyright 2024, All Rights Reserved