Menjelang digelarnya rapat paripurna DPR RI untuk menentukan perlu tidaknya dibentuk Pansus Bulogate II, dari balik terali besi Rutan Kejaksaan Agung, Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tanjung mengingatkan para tokoh politik nasional dan seluruh komponen bangsa agar melakukan rekonsiliasi. Sebuah peringatan bagi elit politik tentang perlunya menjaga keutuhan perkawanan, demi kepentingan yang lebih besar?
Dalam benak Akbar, rasa keprihatinan melihat keadaan bangsa dan negara yang terjerembab dalam krisis yang berkepanjangan semakin terasa. Seluruh kemampuan dan energi yang mulai terbatas itu, alangkah sayangnya jika hanya dihabiskan untuk sesuatu yang sia-sia—hanya digunakan untuk melakukan pertikaian politik.
Ada makna apa dibalik pernyataan Ketua DPR RI yang disampaikan pada forum Orientasi Perkaderan Partai Golkar Tingkat Nasional itu? Adakah pesan khusus yang ditujukan kepada elit politik nasional? Entah lah. Namun setidaknya, Senin pekan depan (18/03) elit politik di DPR RI akan melakukan voting untuk menentukan sikap politik partai masing-masing dalam kelanjutan pembentukan Pansus Bulogate II yang ditengarai melibatkan Akbar Tanjung.
Nah, sebelum nukilan peristiwa sambutan Akbar tadi, ada sebuah moment penting yang patut dijadikan catatan. Yakni kentalnya aroma pertemuan Gus Dur dengan Ketua MPR RI Amien Rais. Apa yang akan dilakukan kedua seteru (kongsi) politik ini? Menyamakan persepsi. Begitu bahasa politik yang keluar dari kedua tokoh itu. Persepsi apa yang akan disamakan? Ya tentu persepsi politik. Jadi, langkah politik apa yang akan dimainkan keduanya? Simak saja.
Setelah Akbar Tanjung masuk menjadi tahanan Kejaksaan, Gus Dur berteriak kencang bahwa Akbar sudah habis secara politik. Setelah itu, Gus Dur berteriak bahwa kucuran dana Bulog bukan hanya diterima oleh Akbar Tanjung (Partai Golkar), tapi juga partai-partai besar lainnya. Bahkan Gus Dur menyebutkan partai dan tokoh-tokohnya yang oleh Kapolri Da’i Bachtiar diharapkan Gus Dur melaporkannya secara tertulis atau lisan kepada pihak penyidik agar bisa ditindaklanjuti.
Sementara Ketua MPR Amin Rais, tentu dalam kapasistasnya sebagai Ketua Umum PAN, seperti biasanya mendengung-dengungkan sesuatu yang belum jelas betul apa maksudnya. Hanya saja, Amin Rais bermain dengan soal jabatan rangkap Ketua Umum Partai, yang ia sendiri pun tak berhasil menanggalkan atribut itu. Bola liar yang coba dijinakkan sebelum lepas menjadi badai.
Nah, bila melihat konstalasi tadi, maka ayunan langkah yang dilakukan Gus Dur, Amin Rais, sebenarnya sebuah irama keroncong yang padu dan merdu. Apa yang menjadi tujuan utama mereka berpentas saat ini? Perlu kita cari. Tapi, setidaknya, setelah Akbar ditahan, sangat terasa bahwa kedua tokoh nasional itu tadi, sebenarnya berpihak kepada Akbar Tanjung, walaupun secara pernyataan keduanya seakan mensyukuri Akbar menghuni hotel gratis di Kejaksaan.
Mengapa mereka sejalan dengan Akbar? Tentu karena sikap dan prilaku Akbar yang konsisten menjaga komitmen perkongsian. Akbar cukup teruji untuk itu. Akbar tidak ingin memulai, bila kongsinya yang memulai, Akbar berusaha mengingatkan, tetapi jika sudah diingatkan tetap tak diperhatikan, maka Akbar akan segera mengambil langkah diluar komitmen yang ada. Dan ini sudah dibuktikan, ketika Partai Golkar menjadi sponsor politik mengangkat Megawati sebagai presiden dengan jalan menurunkan Gus Dur.
Kembali ke soal tadi, pernyataan Akbar, Gus Dur, dan Amin Rais, bisa jadi merupakan sebuah awal dari terkristalnya sebuah komitmen masa depan diantara ketiga partai yang mereka pimpin. Apa komitmen mereka? Tentu sangat berkait erat dengan Megawati Soekarnoputri yang Presiden, yang juga Ketua Umum PDIP.
Ada apa? Banyak hal yang bisa disamakan oleh Akbar, Amien, Gus Dur bila objeknya adalah Megawati dan PDIP serta bentangan targetnya adalah Pemilu 2004.
Apa saja? Pertama, ketiganya bersepakat untuk “merecoki” Megawati Soekarnoputri selama masa pemerintahannya. Bisa jadi banyak blunder-blunder politik partai ataupun personal yang akan digelindingkan ketiganya agar menjadi bola liar. Signal ini, sebenarnya bisa terbaca dari pernyataan anggota DPR dari Golkar Priyo Budi S ketika melakukan interupsi dalam rapat paripurna pembentukan Pansusu Bulogate II yang gagal itu. Tujuannya apalagi, kalau bukan untuk mendelegitimasi pemerintahan Megawati dan kemudian akan dijadikan santapan rohani pada ajang kampanye 2004.
Kedua, ketiganya bersepakat untuk menegakkan hukum secara jelas, ketat, dan tanpa pandang bulu. Jadi hukum bukan hanya ditegakkan kepada Akbar Tanjung saja, tetapi semuanya, Syamsul Nursalim, Sinivasan, Prayogo Pangestu, Eka Tjipta Wijaya dan yang lainnya. Termasuk bagi orang-orang partai yang sedang berkuasa. Nah, peluru-peluru untuk berbagai kasus, tentu cukup banyak dimiliki ketiganya. Apalagi Gus Dur yang memang suka mengoleksi kelemahan lawan politiknya.
Ketiga, tokoh-tokoh ini bersepakat berbagi posisi untuk mengambil alih posisi Megawati, tetapi hanya secara informal. Ketiganya akan melakukan hal tersebut melalui gerakan opini di media massa, sebab ketiganya merupakan Newsmaker. Dan mampu diberbagai kesempatan untuk menanggapi sesuatu dengan cepat dan taktis.
Bila komitmen tiga tokoh Ciganjur ini hanya sampai pada skenario diatas, sudah cukup merepotkan Megawati Soekarnoputri. Mudah-mudahan saja, blantika politik nasional, citranya tidak membuat Indonesia semakin terpuruk. Bila komitmennya masih terus bertambah, tak tahu lagi apa yang akan terjadi.
Yang pasti harus dipahami dan dimengerti oleh Megawati Soekarnoputri adalah, Habibie, Gus Dur turun dari kursi kepresidenannya disebabkan langkah mereka yang meninggalkan kongsi politik. Dan cilakanya, diantara kedua presiden itu tadi, termasuk Megawati, kongsi utamanya diposisikan dengan baik oleh Partai Golkar yang memang teruji dalam membentuk aliansi-aliansi. Baik yang bersifat primordial, religi, ataupun profesionalisme.
Nah, akankah komitmen Partai Golkar berpaling dari PDIP? Akankah komitmen Partai Golkar bersanding dengan Poros Tengah plus PKB (Matori dan Alwi)? Untuk mengukur itu semua, lihat saja yang akan terjadi hari ini (18/03) di DPR RI serta simak saja Sidang-sidang Bulogate II mendatang.
Kini hanya ada satu pertanyaan yang perlu dijelaskan oleh pemerintahan Megawati Soekarnoputri, seperti apa dan dimana posisi Akbar Tanjung, Syahril Sabirin, Joko Tjandra, Pande Lubis, Winfried Simatupang, Dadang Sukandar, Sinivasan, Syamsul Nursalim, Eka Tjipta, Ginanjar Kartasasmita, dimata hukum yang berkeadilan?
Nah, mudah-mudahan upaya untuk menegakkan hukum secara benar dan betul bisa dilakukan. Jangan sampai hanya sebatas ingin mengatakan bahwa kami berani melakukan penahanan terhadap siapa saja yang bisa dijerat dengan alasan pelanggaran hukum. Jadi jangan macam-macam, bila ingin selamat dari jerat hukum. Patuh dan taatlah kepada kami. Siapa kami? Waktulah nanti yang akan membuktikan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved