Badan Pemeriksa Keuangan menemukan penyimpangan penggunaan dana penjaminan perbankan di Rekening 502 sebesar Rp 20,908 triliun. Jumlah ini 46,69 persen dari nilai yang diperiksa, yakni Rp 44,778 triliun. Dari total angka penyimpangan tersebut, sebanyak Rp 17,762 triliun dilakukan oleh Bank Indonesia, sedangkan sisanya dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Oleh sebab itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan agar dana tersebut segera ditarik kembali oleh Bank Indonesia (BI) dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), untuk disetorkan lagi ke dalam Rekening 502. Apabila BI dan BPPN tidak dapat menarik dana penjaminan tersebut dari pihak-pihak yang pernah mendapatkan dana penjaminan perbankan itu, BI dan BPPN harus menggantinya.
Demikian disampaikan oleh Ketua BPK Satrio B Joedono dan anggota BPK, Bambang Wahyudi, dalam keterangan pers seusai shalat Jumat di Gedung BPK Jakarta. Dalam keterangan pers kemarin hadir seluruh anggota BPK. Demikian seperti ditulis Harian Kompas.
Menurut Satrio, BPK sebelumnya telah menyampaikan secara resmi Laporan Audit Investigasi Penggunaan Dana dalam Rekening 502 itu kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Akbar Tandjung, Jumat pagi.
Rekening 502 merupakan rekening milik bendahara umum negara Departemen Keuangan yang disimpan di BI. Rekening tersebut ditujukan untuk program penjaminan terhadap perbankan sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 26 Tahun 1998 tertanggal 26 Januari 1999 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum.
Dana penjaminan tersebut dituangkan dalam Surat Utang (SU) yang pernah diterbitkan pemerintah dengan nomor SU-004/MK/1999, dengan nilai Rp 53,779 triliun. Jangka waktu SU tersebut 15 tahun.
"Menurut kami, Rp 20,9 triliun itu tidak pantas dibebankan kepada Rekening 502. Jadi, dapat dikatakan dana itu menyimpang dari ketentuannya. Tidak sepatutnya dana tersebut dibebankan kepada pemerintah," kata Satrio.
Bambang Wahyudi, yang juga menjadi koordinator dalam audit investigasi itu, menambahkan, berdasarkan rekomendasi BPK, dana tersebut harus ditarik oleh BI dan BPPN untuk disetorkan ke dalam Rekening 502.
"Bentuknya, BI dan BPPN harus menariknya dari yang menerima dana tersebut. Kalau BPPN dan BI tidak bisa menarik, BPPN dan BI harus menggantinya. Yang penting, dana dalam rekening itu kembali lagi ke Rekening 502," ujar Bambang.
Dari penggunaan dana dalam Rekening 502 per 30 September 2001, lanjut Bambang, tercatat Rp 49,382 triliun telah disalurkan ke perbankan sebagai dana penjaminan. Sisanya, Rp 4,397 triliun, belum digunakan dan diperiksa oleh BPK. "Artinya, (penggunaan) dana tersebut telah terealisasi sebesar 91 persen," katanya.
Menjawab pertanyaan, mengapa dari Rp 49,382 triliun dana Rekening 502 yang telah digunakan BI dan BPPN hanya Rp 44,778 triliun yang diperiksa BPK, Bambang menyatakan selisihnya sebesar Rp 5,6 triliun memang tidak diperiksa oleh BPK.
"Selisih Rp 5,6 triliun memang tidak diperiksa karena tersebar dalam interbank claim (klaim antarbank), di antaranya dari bank beku kegiatan operasi (BBKO) dan bank beku operasi (BBO). Tetapi, khusus untuk interbank claim, kami sudah memeriksa sekitar 50 persen lebih," ujarnya.
Dari Laporan Audit Investigasi BPK yang diserahkan ke DPR, terlihat sejumlah pembayaran yang dinilai BPK menyimpang dari ketentuan keppres.
Untuk pembebanan Rekening 502 di BI, disebutkan ada enam jenis pembayaran. Keenam jenis pembayaran itu adalah kewajiban-kewajiban bank perkreditan rakyat (BPR) yang mengacu pada Keppres No 193 Tahun 1998, kewajiban karena exchange offer program (EOP) antarbank, tunggakan bunga valuta asing (valas), tambahan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kewajiban karena rediskonto post-shipment (prapengapalan) wesel ekspor, dan deposito berjangka BI dalam valuta asing.
Sementara itu, empat jenis pembayaran yang dilanggar BPPN adalah dana pihak ketiga (DPK) murni, DPK yang diblokir, interbank claim, dan kewajiban terhadap pihak luar negeri (off shore).
Sebelumnya, dari dana Rekening 502 senilai Rp 53,779 triliun, yang dialokasikan untuk program penjaminan umum perbankan sebenarnya lebih kecil, yaitu hanya Rp 18,499 triliun. Ini meliputi 10 jenis pembayaran, mulai dari kewajiban karena Keppres No 193 Tahun 1998, kewajiban karena trade maintenance facility (fasilitas pembiayaan perdagangan/ TMF), tunggakan pembiayaan perdagangan (trade finance), sampai deposito berjangka BI valas.
Pembebanan oleh BPPN justru ditetapkan lebih besar, yaitu Rp 35,279 triliun. Alokasi sebesar ini ditujukan untuk jenis pembayaran, antara lain dana talangan BPPN.
Secara terpisah, Deputi Kepala BPPN Bidang Restrukturisasi Unit Perbankan (BRU) I Nyoman Sender mengaku baru mengetahui telah selesainya audit investigasi penggunaan dana di Rekening 502.
"Karena (ketika audit dilakukan) saya belum masuk ke BPPN, saya belum tahu. Tetapi, kami segera mempelajarinya jika laporan BPK itu masuk ke kami. Asal tahu saja, periode penggunaan dana Rekening 502 per 30 September 2001, saya belum berada di BPPN," katanya mengingatkan.
Mengenai sisa dana dalam Rekening 502 sebesar Rp 4,397 triliun yang dialokasikan untuk BPPN, Nyoman Sender mengakui sudah habis sejak bulan lalu. Pihaknya bahkan telah mengirim surat ke Departemen Keuangan (Depkeu) untuk menggunakan dana penjaminan yang sudah dituangkan dalam rekening baru, yaitu Rekening 519. Rekening 519 merupakan rekening pengganti Rekening 502. Dana yang telah disetor pemerintah dalam Rekening 519, sebesar Rp 40 triliun, melalui penerbitan obligasi.
"Kami minta izin ke Depkeu, yang nantinya akan membahas bersama Komisi IX DPR, mengenai penggunaan Rekening 519 tersebut," ujar Nyoman Sender menambahkan.
Direktur Lembaga Keuangan Departemen Keuangan Darmin Nasution juga mengaku baru mendengar jika Laporan Audit Investigasi BPK yang baru disampaikan ke DPR mengungkapkan adanya temuan penyimpangan. "Jalur hasil pemeriksaan BPK memang ke DPR. Jadi, kita tunggu dari DPR ketika mengundang pemerintah untuk membahas laporan BPK tersebut," katanya.
Mengenai surat BPPN ke Depkeu untuk minta izin penggunaan Rekening 519, Nasution mengatakan akan mengecek lebih dulu. "Tetapi, setahu saya saldo dalam Rekening 502 itu masih tersisa sekitar Rp 200 miliar untuk BPR. Kalaupun akan menggunakan dana dalam rekening 519, setahu saya syaratnya sudah ditetapkan oleh Komisi IX DPR, di antaranya harus ada agunan sebelum dana penjaminan itu diberikan," ujarnya.
Deputi Kepala Biro Komunikasi BI Rizal Djaafara juga mengatakan akan mempelajari lebih dulu hasil audit BPK dan belum bisa memberikan komentar banyak mengenai hasil audit tersebut.
Namun, mengenai penggunaan dana di Rekening 502, menurut sepengetahuan dia, BI pasti sudah membicarakannya dengan pemerintah sebagai pemilik dana.
"Kami pasti tidak akan sembarangan menggunakan dana tersebut kalau tanpa izin dari pemerintah sebagai pemilik dana. Mungkin ada perbedaan pengertian antara BI dan BPK mengenai penggunaan dana tersebut. Kami akan mengklarifikasikannya dengan BPK," ujarnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved