Perundang-undangan yang ada di Indonesia semestinya dikembangkan, bukan atas dasar hukum semata. Pendekatan yang digunakan harus lebih mengedepankan pendekatan etika. Pasalnya, hubungan negara dengan agama di Indonesia, tercipta layaknya hubungan saudara yang sangat erat.
Demikianlah pandangan yang disampaikan pakar hukum tata negara, Jimly Asshidiqie kepada politikindonesia.com usai Diskusi Panel Serial (DPS) seri ke-6 bertema "Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan dari Dalam Negeri", di Jakarta, Senin (06/10).
Menurutnya, di era sekarang ini hidup masyarakat itu harus berpandangan secara eklusif dan universalis. Dua hal tersebut menjadi kata kunci kemajuan umat beragama di Indonesia. Oleh sebab itu, masyarakat harus bisa memisahkan agama sebagai state dan agama sebagai religion.
"Sedemikian dekat urusan negara dengan agama, maka kita lihat sistem konstitusi kita sarat akan reiligi dan etika. Karena Tuhan itu cuma satu, dan itu Tuhannya seluruh umat atau the universal God," ujarnya.
Namun yang terjadi saat ini, lanjutnya, perundang-undangan di Indonesia dikembangkan hanya berdasarkan pada hukum. Sehingga permasalahan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan dalam negeri tidak dapat diselesaikan dengan baik.
"Saat ini yang terjadi pada hukum di Indonesia adalah menang dan kalah. Makanya hal itu bisa menumbuhkan yang dapat memicu bangkitnya ancaman, tantangan dan hambatan dalam negeri kita sendiri," tandasnya.
Sementara itu, Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Yudi Latif, menambahkan, untuk mengurangi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan dalam negeri, pemerintah perlu membuat Pancasila menjadi lebih operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan. Sehingga sanggup memenuhi kebutuhan praktis atau pragmatis dan bersifat fungsional.
"Salah satu cara dalam mengoperasionalkan Pancasila adalah melalui cara meradikalisasi Pancasila. Radikalisasi Pancasila adalah mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara. Selain itu, mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial," ulasnya.
Dia menjelaskan, sebenarnya Pancasila merupakan kritik kebijakan negara. Karena Pancasila mampu memjadi titik temu, titik pijak dan titik tuju bagi bangsa Indonesia. Sehingga memungkinkan segala warna bersatu, titik pijak yang menjadi landasan hukum, serta titik tuju ke mana bangsa ini diarahkan.
"Tanpa Pancasila, maka bangsa Indonesia tak ada yang tahu ke mana akan diarahkan. Karena memiliki keragaman agama, suku, bahasa hingga budaya. Sehingga dengan keragaman di Indonesia, bisa memberikan kekayaan maupun potensi luar biasa bagi bangsa. Namun, di sisi lain akan menjadi sebuah masalah jika tak ada titik yang menyatukannya," paparnya.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Filsafat Universitas Gajah Mada (UGM) M.Kaelan, menyatakan jika banyak peraturan perundangan yang ternyata dapat menyebabkan munculnya ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan dalam negeri. Misalnya, dihilangkannya kedaulatan rakyat dalam MPR, atau adanya lembaga tinggi negara seperti DPD yang merupakan lembaga yang tidak memiliki original power.
"Seharusnya segala potensi yang menyebabkan hadirnya ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan dalam negeri yang lahir dari peraturan perundangan harus dicegah. Agar pelaksanaan kenegaraan ini dapat lebih terfokus. Karena masalah krusial saat ini, bahwa sejak reformasi 1998 hingga kini, para elite strategis bangsa justru semakin menjauhi dan menafikan kodrat," imbuhnya.
Diungkapkan, Pancasila adalah dasar negara. Jadi, Pancasila bukan hanya sebagai way of live, tapi juga sumber ilmu. Oleh karenanya, pembumian Pancasila kepada masyarakat luas menjadi tanggung jawab bersama dan harus terus dilakukan.
"Karena hampir 14 tahun pascareformasi Pancasila dikubur di bumi Indonesia oleh bangsanya sendiri. Karenanya, internalisasi nilai-nilai Pancasila menjadi terputus dan bangsa Indonesia terombang-ambing kehilangan pandangan hidup bangsa, sebagai suatu konsensus dan dasar filosofis negara. Apalagi, dunia internasional sudah memandan Pancasila sebagai ciri khas bangsa Indonesia," tutup Kaelan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved