Di tengah tudingan tidak konsistennya pemerintah Indonesia menegakkan Hak Asasi Manusia HAM), sidang pengadilan HAM {ad hoc} di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat digelar Selasa siang (19/03/2002) untuk menyidangkan enam anggota TNI dalam kasus pelanggaran HAM berat pasca jajak pendapat Timor Timur (Timtim).
Sidang yang diwarnai aksi unjuk rasa menolak pengadilan HAM oleh ratusan demonstran Front Persatuan Bangsa itu juga dihadiri Panglima TNI Laksamana Widodo AS, KSAD Jenderal Endriartono Sutarto, Kapuspen TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, Pangdam Jaya Mayjen Bibit Waluyo dan sejumlah perwira menengah dan tinggi TNI.
Kehadiran para petinggi TNI di PN Jakarta Pusat memang sempat dinilai sebagai bentuk intervensi TNI terhadap jalannya pengadilan. Namun hal itu dibantah Kepala Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI Mayjen Timor P Manurung.
“TNI memberikan dukungan penuh kepada para terdakwa kasus pelanggaran HAM. Hakim kita harapkan fair, jangan takut dengan opini. Kehadiran Panglima TNI dan KSAD hanya memberikan dukungan moral dan bukan intervensi,” tandas Manurung di Jakarta, Senin (18/03/2002).
Sidang yang dipimpin Cicut Sutiarso itu menghadirkan terdakwa mantan Bupati Kovalima Kolonel Herman Sediyono, mantan Dandim 1635 Suai Kolonel Liliek Koeshadiyanto, mantan Kapolres Suai AKBP Gatot Subiyaktoro, mantan Kasdim 1635 Suai Mayor Achmad Syamsuddin, mantan Danramil Suai Sugito.
Dalam dakwaan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Darmono, para terdakwa dinilai selaku atasan atau komandan militer yang efektif, tidak melakukan pengendalian terhadap bawahan atau pasukannya yang berada di bawah kekuasaan atau di bawah komandonya.
Lima terdakwa kasus HAM dinilai mengabaikan informasi terhadap rencana penyerangan di Suai, 6 September 1999. Padahal informasi itu secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya atau pasukannya sedang melakukan atau baru saja melakukan serangan yang sistematis yang ditujukan langsung kepada para penduduk sipil.
Akibatnya, terjadilah penyerangan terhadap penduduk sipil yang berada atau berlindung di dalam kompleks Gereja Ave Maria Suai yang menyebabkan korban meninggal sebanyak 27 orang, terdiri dari 17 laki-laki dan 10 orang perempuan. Dari 17 korban laki-laki tersebut, 14 adalah warga masyarakat biasa serta tiga orang Pastor yaitu Pastor Tarsisius Dewanto, Pastor Hilario Madeira, dan Pastor Fransisco Soares.
Para terdakwa didakwa bersalah dengan dakwaan primair telah melanggar pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf a, pasal 37, pasal 42 ayat 1, sub a, b, UU nomor 26/2000, pasal 5 ayat 1 ke-2 KUHP. Dalam sidang ini, berkas kelima terdakwa dijadikan satu.
Salah seorang terdakwa, Herman Sudiono menyatakan keberatannya atas dakwaan JPU. Salah seorang kuasa hukumnya, Ruhut Sitompul, menyatakan, JPU tidak lengkap dalam membuat identitas kliennya, sehingga berkasnya harus diperbaiki.
Menanggapi keberatan terdakwa, majelis hakim meminta, materi keberatan terdakwa maupun kuasa hukum dimasukkan saja dalam eksepsi atau keberatan terdakwa pada sidang berikutnya. Sidang selanjutnya akan dilaksanakan, Senin (25/3/2002) mendatang.
Sementara itu, kepada pers sesudah sidang, Kapuspen TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin kembali membantah tudingan intervensi TNI dengan kehadiran sejumlah pimpinan TNI dalam persidangan pengadilan HAM {ad hoc} Timtim.
“Tidak ada keinginan ataupun pemikiran untuk mempengaruhi proses peradilan. Kedatangan Panglima (Panglima TNI Laksamana Widodo AS) tidak akan mempengaruhi proses peradilan," kata Sjafrie di Jakarta, Selasa (19/3).
Ia mengungkapkan kedatangan sejumlah perwira TNI, bahkan pimpinan tertinggi TNI hanya sebatas memberikan dukungan moral seorang komandan kepada anak buah dalam proses menjalankan tugas.
Dalam kesempatan itu, Sjafrie atas nama Mabes TNI juga menyampaikan apresiasinya atas persidangan yang baru saja berjalan. Mabes TNI juga menyampaikan apresiasinya kepada warga masyarakat yang menyampaikan aspirasinya ketika persidangan berlangsung.
Kapuspen TNI menilai, pihaknya tidak melihat adanya sesuatu hal yang berkaitan secara eskternal dalam mekanisme proses pengadilan HAM ad hoc Timtim dan berharap proses peradilan berjalan secara independen, transparan dan obyektif.
Boleh dibilang, sidang pengadilan HAM ini memang menjadi momentum penting bagi pemerintah Indonesia. Selain untuk menunjukkan sikap konsisten menegakkan HAM, juga untuk mendudukan persoalan, agar semua pihak yang terlibat (terutama para perwira TNI) mendapatkan dan menikmati keadilan tanpa rekayasa dan tekanan siapapun juga.
© Copyright 2024, All Rights Reserved