Sudah saatnya dibuat undang-undang yang menegaskan bahwa tindak pencucian uang ({money laundering}) masuk dalam katagori tindak pidana korupsi. Hal ini diungkapkan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dalam Rapat Kerja Kejaksaan dengan Komisi III DPR di Jakarta, Senin (29/1). Tujuannya agar Kejaksaan tak ragu menangani perbuatan pencucian uang sebagai pidana umum atau pidana khusus.
"Perlu ada undang-undang yang menegaskan bahwa pencucian uang ({money laundering}) masuk dalam tipikor," ujar Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh kepada Komisi III DPR. Ini karena, menurut Jaksa Agung, pihaknya kerap menerima laporan tembusan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait pelaporan transaksi yang diduga sebagai tindak pidana pencucian uang.
Selama ini, masih menurut Abul Rahman Saleh, kebanyakan kasus pencucian uang dilaporkan dan ditangani Kepolisian. Padahal pihak Kejaksaan juga berhak dan dapat menangani kasus {money laundering}. Secara perundangan, UU No 15/2002 mengatur tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, sementara pidana korupsi diatur dalam UU 31/1999 yang diperbarui dalam UU 20/2001.
Dalam prakteknya, Kejaksaan kerap menyidik dan menuntut terdakwa kasus dugaan korupsi dengan dugaan pencucian uang sebagaimana diterapkan pada Jeffrey Baso, terdakwa kasus L/C fiktif Gramarindo pada BNI Kebayoran Baru.
© Copyright 2024, All Rights Reserved