Jagung mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Dalam beberapa tahun terakhir ini, jagung menjadi salah satu bahan pangan unggulan, selain beras dan kedelai. Namun hal itu belum cukup mencapai kedaulatan pangan. Hingga saat ini, komoditas jagung masih mengandalkan impor. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mencapai kedaulatan pangan dari sektor jagung adalah dengan membuka kemitraan. Sehingga kekhawatiran petani terhadap gagal pasar bisa teratasi.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Imaduddin Abdullah mengatakan untuk menyelesaikan persoalan tingginya impor jagung disaat produksi dalam negeri surplus, kalangan usaha dapat membangun kemitraan dengan petani lokal. Dengan kemitraan, petani tidak perlu takut ketika produksi jagungnya tidak ada yang menampung.
"Skema kemitraan diyakini merupakan solusi untuk kedua belah pihak karena kesejahteraan petani dapat teratasi. Selain itu juga petani dapat memenuhi kebutuhan pasokan jagung sebagai bahan baku yang dibutuhkan industri untuk memproduksi pakan ternak," katanya kepada politikindonesia.com disela-sela Seminar Jagung Nasional 2016, di Jakarta, Rabu (06/04).
Menurutnya, skema kemitraan harus dibentuk dalam kondisi setara. Sebab, petani selama ini kurang memiliki daya tawar di hadapan pengusaha. Data menunjukkan hanya 1,35 persen petani yang bersentuhan dengan pola kemitraan, sisanya mereka sendiri-sendiri. Maka, perlu adanya kemitraan yang dibuka oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para petani.
"Jadi pemerintah harus membantu petani membuka model kemitraan. Selain itu, pemerintan juga bisa memangkas rantai pasok jagung yang selama ini terlalu panjang. Sehingga keuntungan petani lebih besar. Jagung petani harus melewatu pengepul, pedagang besar dan pedagang eceran, sebelum sampai ke konsumen. Sehingga pemerintah harus berperan karena menyangkut pemasukan dan kesejahteraan petani," katanya.
Dijelaskan, ada beberapa hal yang menjadi perhatian petani apabila bermitra dengan perusahaan berbasis agribisnis. Di antaranya petani akan terfasilitasi dalam mendapatkan kredit perbankan. Karena selama ini, petani sulit mendapatkan fasilitas kredit perbankan sehingga sulit meningkatkan skala usahanya. Dengan begitu, petani akan mudah mendapatkan informasoli termasuk akses asuransi pertanian.
"Dengan bermitra, petani akan memperoleh faktor produksi. Karena petani akan lebih mudah dalam mengakses alat dan infrastruktur produksi sehingga menghasilkan produk yang berkualitas. Petani pun akan lebih sejahtera karena keterjaminan pasar yang dapat disediakan langsung oleh perusahaan mitranya," paparnya.
Sementara itu, Ketua Umum Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir berharap pemerintah mampu membenahi sistem pasca panen jagung. Salah satunya dengan menyediakan lebih banyak alat pengering yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas produk-produk petani. Walaupun para petani jagung saat ini sudah mampu untuk meningkatkan produksi dari sebelumnya. Kini, rata-rata produksi jagung sebanyak 2 juta ton menjadi 5 juta ton.
"Namun, kelemahannya tidak adanya penanganan pasca panen yang tepat. Sehingga hasil produksi petani rusak. Walaupun ada Perum Bulog, akan tetapi Bulog tidak disiapkan untuk menyerap produk dari petani langsung baik itu gabah ataupun jagung. Tak hanya itu, alat pengering yang ada juga sedikit," ucapnya.
Dalam masalah ini, lanjut Winarno, seharusnya ada mediator dari para pelaku usaha. Mediator tersebut berfungsi sebagai penengah yang bisa mengeringkan jagung para petani sebelum dikirimkan menjadi pakan ternak. Sehingga pemerintah dan pelaku usaha mampu bekerjasama untuk menyiapkan gudang yang dilengkapi dengan pengering.
"Panen raya dalam jumlah besar terjadi hanya tiga bulan, maka pemerintah, industri dan pelaku usaha menyiapkan gudang dan dilengkapi dengan sarana pengering. Tentunya alat pengering itu memiliki kadar air untuk pabrik pakan sebesar 15 persen sementara jagung petani lebih dari itu," katanya.
Pada kesempatan yang sama CEO dan Founder PT Vasham Kosa Sejahtera, Adrian Irvan Kolonas menambahkan salah satu contoh yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas jagung petani adalah kurangnya fasilitas pengeringan. Seperti yang terjadi di Lampung, saat panen jagung melimpah, penanganan pasca panen tidak maksimal dan menyebabkan harga jatuh. Karena kapasitas alat pengering di Lampung, hanya 5.000 ton sehari dengan kadar air 35 persen.
"Semua petani menanam bersamaan saat musim hujan, pada saat panen yang terjadi adalah panen berlimpah pada saat bersamaan dalam waktu 6 minggu dengan kapasitas 5.000 ton. Kondisi kondisi terjadi kelebihan pasok jagung dari petani dan menyebabkan penurunan harga secara drastis. Selain itu, juga adanya pengetatan kualitas dari pabrik pakan," imbuhnya.
Namun, katanya, untuk mencapai kualitas yang baik dengan kadar air yang sedikit ada kendala, dimana tidak semua petani memiliki lantai jemur untuk mengeringkan jagung-jagung tersebut. Pada saat panen pabrik pakan minta kadar air lebih rendah supaya produksi banyak. Tidak ada petani yang menjual ke industri pakan pada saat panen, semuanya jatuh ke tengkulak.
"Petani pun mengalami gagal pasar karena semua produknya dijual kepada tengkulak dengan harga yang tak sesuai. Sehingga banyak petani yang mengalami kesulitan ekonomi. Padahal Indonesia merupakan salah satu lumbung jagung dunia dan menempati posisi ke-8 dengan kontribusi 2,06 persen terhadap total produksi jagung dunia," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved