Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri berkata apa adanya. Kekalahan PDI-P dalam Pemilu Legislatif dan Presiden 2004 salah satunya akibat PDI-P tidak konsisten melaksanakan amanat kongres di Semarang untuk membawa PDI-P sebagai partai modern yang memiliki roh kerakyatan.
"Secara obyektif saya harus sampaikan, kita belum mencapai fase sebagai partai modern yang ideal, tetapi secara bertahap justru kehilangan wataknya sebagai partai kerakyatan," kata Megawati dalam pidato pembukaan Kongres Ke-2 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di depan sekitar 2.000 peserta kongres yang menyesaki Ruang Agung Inna Grand Bali Beach, Sanur, Denpasar, Senin (28/3).
Dalam pidatonya Megawati menunjukkan fakta bahwa ada sebagian kader partai yang bertindak mengingkari panggilannya sebagai kader dari sebuah partai yang merakyat. Perilaku penyimpangan yang dipertontonkan banyak kader bukan saja telah melahirkan antipati sebagian publik, tetapi sekaligus mengaburkan elan perjuangan dan komitmen awal PDI-P sebagai partai kerakyatan. Menurut dia, hanya dengan hidup, kerja, bergaul, dan berada di tengah-tengah rakyat masa depan PDI-P bisa langgeng.
"Saya yakin, pada dasarnya rakyat kecil, arus bawah, wong cilik para pendukung kita tidak pernah meninggalkan kita, tetapi sebagian (dari) kita yang telah meninggalkan mereka," ujar Megawati.
Pada bagian lain, Megawati mengevaluasi soal kegagalan PDI-P dalam melaksanakan keputusan Kongres PDI-P Semarang tahun 2000, yaitu untuk memenangi Pemilu 2004 dan menjadikan ketua umum terpilih sebagai presiden. Dalam pidatonya Megawati tidak mengaku kalah, tetapi "hanya kekurangan suara".
Beberapa faktor tidak terpenuhinya keputusan kongres di Semarang yang dipaparkan Megawati paling tidak terdiri atas tiga bagian. Pertama, karena perubahan posisi politik PDI-P dari simbol kerakyatan, simbol kekuatan yang dimarjinalkan, serta simbol harapan dan perubahan memasuki Pemilu 1999 menjadi partai berkuasa menjelang Pemilu 2004.
Kedua, perubahan perilaku pemilih. Pada tahun 1999, pemilu pertama setelah runtuhnya rezim otoritarian, sebagian warga pemilih PDI-P adalah mereka yang protes terhadap kekuatan lain.
Ketiga, perubahan perilaku dan bahkan berkembangnya perilaku menyimpang yang dipertontonkan kader PDI-P di eksekutif dan legislatif merupakan sumber malapetaka.
Di luar arena kongres terjadi sejumlah insiden kecil antara massa pendukung Megawati dan simpatisan Gerakan Pembaruan. Sekitar 300 simpatisan Gerakan Pembaruan dihadang oleh satgas pro-Mega di sekitar persimpangan jalan menuju Inna Grand Bali Beach.
Ratusan senjata tajam dan 51 tongkat pentungan yang dibawa Satgas Gerakan Pembaruan diamankan polisi. Kepala Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Denpasar Komisaris Besar Dewa M Parsana menegaskan, tidak seorang pun diperbolehkan membawa senjata tajam walaupun alat-alat itu merupakan aksesoris seragam satgas. Meski demikian, secara umum pelaksanaan Kongres Ke-2 PDI-P pada hari pertama itu berlangsung lancar.
Gerakan Pembaruan PDI-P adalah kelompok tokoh-tokoh PDI-P yang sebelumnya biasa berkumpul di kediaman Arifin Panigoro di Jalan Jenggala. Beberapa tokoh kelompok Jenggala itu adalah Sophan Sophiaan, Zainal Arifin, Sukowaluyo, Didi Supriyanto, dan Tjiandra Widjaja. Selain itu bergabung pula Laksamana Sukardi, Roy BB Janis, dan Noviantika Nasution. Ketika putaran pertama pemilu presiden 2004, Arifin dan Sophan mendukung pasangan Amien Rais-Siswono Yudo Husodo.
Sementara soal pertarungan merebut kursi ketua umum partai, setelah mundurnya Sophan dan Arifin dari pencalonan ketua umum, Gerakan Pembaruan PDI-P tetap memperjuangkan konsep presidium. Salah satu motor Gerakan Pembaruan PDI-P Sukowaluyo dalam konferensi pers di Hotel Mercure Sanur menyatakan, Sophan dan Arifin akan duduk sebagai pengarah presidium. Yang duduk di tritunggal presidium adalah Roy BB Janis, Laksamana, dan Guruh..Pada kesempatan itu, Sukowaluyo mengkritik pidato Megawati yang membandingkan formatur tunggal dan formatur jamak dengan pengelolaan pemerintahan.
Dalam pidatonya Megawati mengatakan, "Seorang presiden dalam sistem demokrasi di negara kita adalah formatur tunggal yang memiliki hak prerogatif untuk menentukan pembantunya. Kita tak akan bisa mengatakan bahwa itu tidak demokratis." Menurut Sukowaluyo, analogi tersebut merupakan analogi yang salah. "Antara ketua umum partai tidak identik dengan presiden karena ketua umum partai adalah ketua umum DPP yang bersifat kolektif kolegial," katanya.
Sementara dari arena sidang, suasana berlangsung hangat. Sekitar pukul 21.00 Wita sebanyak 69 utusan yang berasal dari 16 DPC dari Provinsi Papua meninggalkan sidang. Menurut Ketua DPD PDI-P Papua Komaruddin Waytubun, mereka walk out karena jalannya sidang yang dipimpin Gunawan sudah tidak sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) partai. "Dia main ketok palu saja tanpa meminta persetujuan peserta kongres," kata Komaruddin.
Pimpinan sidang main ketok palu saat meminta persetujuan peserta kongres tentang ketentuan DPC dan DPD hanya memiliki satu suara, bukan satu utusan satu suara. Padahal, kata Komaruddin, menurut AD/ ART partai Pasal 21 Ayat (2) ditegaskan bahwa satu utusan memiliki satu suara.
Sekjen DPP PDI-P Sutjipto mengatakan, hal seperti itu merupakan hal biasa dalam sebuah kongres.
Selain kejadian itu, sejumlah utusan dari DPC Malang dan Situbondo (Jawa Timur) juga keluar dari arena sidang dengan alasan yang sama dengan peserta dari Papua.
© Copyright 2024, All Rights Reserved