Masih ingat lembaga {recall} (hak yang dimiliki oleh partai politik untuk menarik atau memecat anggotanya dari parlemen)? Di masa lalu, {recall} menjadi momok dan menakutkan karena kerap digunakan sebagai alat pembungkaman terhadap anggota dewan yang bersikap kritis terhadap pemerintah atau berseberangan dengan sikap partai. Sehingga ketika memasuki era reformasi, hak itu dicabut untuk membebaskan anggota dewan dari pembelengguan partai maupun pemerintah.
Namun dalam perjalanan, memang perilaku anggota dewan sulit terkontrol. Penyakit korupsi dan bahaya KKN lainnya pun merasuk DPR. Sementara tak ada instrumen yang efektif untuk mengontrol dan memberikan sanksi kepada anggota dewan yang berperilaku tak terpuji.
Boleh jadi hal inilah yang menggelisahkan semua orang termasuk Presiden Megawati Soekarnoputri. Sehingga tak heran jika putrid Bung Karno ini kemudian menghusulkan agar dihidupkan lagi lembaga {recall}. Tujuannya, kata Mega, untuk meningkatkan kualitas demokrasi itu sendiri, selain mengurangi risiko keterasingan para wakil rakyat dari para pemilih dan partai yang diwakilinya.
Presiden mengemukakan hal itu ketika berpidato dalam pembukaan Muktamar V Partai Persatuan Pembangunan (PPP), di Jakarta, Selasa (20/5). Menurut dia, para wakil rakyat selama era reformasi begitu besar kekuasaannya, tanpa diimbangi dengan mekanisme pertanggungjawaban dan akuntabilitas yang memadai.
"Secara pribadi saya mengajukan agar muktamar ini membahas masalah tersebut secara sungguh-sungguh, dan merumuskan jalan. Rasanya sudah saatnya dipertimbangkan kembali mekanisme demokrasi yang dapat meningkatkan akuntabilitas para wakil rakyat, sehingga kondisi seperti sekarang bisa dikoreksi," kata Presiden. Dalam hubungan inilah, katanya, mekanisme recall menjadi bermakna.
Presiden menegaskan, tidak berlebihan jika dikatakan kualitas demokrasi dan reformasi nasional di masa mendatang sepenuhnya tergantung pada parpol. "Oleh karena itu adalah sangat wajar jika parpol, yang sekarang ini berjumlah lebih dari 200 buah, mengadakan konsolidasai internal, agar benar-benar mampu memikul beban dan tangung jawab konstitusional yang demikian berat," kata Presiden.
Dalam hubungan dengan keberadaan parpol, Presiden mengingatkan, yang akan menjadi hakim dan wasit terhadap kiprah dan kinerja parpol adalah rakyat Indonesia. Mereka secara konstitusional merupakan pemilik kedaulatan negara ini.
"Oleh karena itu, kita harus mendengarkan, memperhatikan, mengolah serta menindaklanjuti kemauan rakyat tersebut. Tidak menjelang dan selama pemilu tetapi juga setiap hari," tandas Presiden.
Ditambahkan, walaupun sebagian rakyat belum mengenyam pendidikan tinggi, perlu diingat dinamika kehidupan politik itu sendiri sebenarnya juga merupakan pendidikan politik. Dengan penalaran yang sederhana pun, kata Presiden, sebenarnya tidak akan terlalu sulit bagi rakyat menilai politisi dan para pemimpinnya.
"Dalam hubungan ini izinkan saya meminta perhatian saudara sekalian terhadap perkembangan kekuasan dalam masyarakat kita, baik terhadap kualitas dan kinerja parpol maupun terhadap wakil parpol di DPR pusat dan daerah. Secara jujur harus kita akui, hampir seluruh parpol termasuk PDI Perjuangan yang saya pimpin mempunyai kelemahan dalam sistem pembinaan kader, baik dalam proses seleksi maupun dalam pengendaliaannya," katanya.
Euforia demokrasi yang lahir dalam gelombang reformasi nasional, tandas presiden, telah menampilkan demikian banyak politisi yang bukan saja kurang memahami kompleksitas kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga belum mengenal secara cepat apa yang disebut sebagai etika politik.
Salah satu indikator dari gejala kelemahan sistem pembinaan kader partai, menurut Megawati, adalah terjangkitnya para kader dalam kegiatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
"Dengan berat hati saya sampaikan, dewasa ini fenomena KKN yang dulu ditenggarai hanya merupakan penyakit di kalangan eksekutif, telah menjangkiti lembaga lesgilatif kita, terutama di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Sungguh menyedihkan menyaksikan mereka yang diberi amanah oleh para pemilih untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya di berbagai tempat telah diperiksa oleh aparat penegak hukum, dan beberapa di antaranya telah dihadapkan ke pengadilan," kata Mega.
Menanggapi usulan Mega, fungsionaris PDI Perjuangan Meliono Suwodo mengatakan, anggota DPR yang malas dan korup harus bisa ditarik kembali keanggotaannya (recall) oleh partai politiknya (parpol). Akibat tidak adanya mekanisme kontrol terhadap wakil rakyat, kini banyak anggota DPR berperilaku seperti "raja", memanfaatkan kekuasaan yang luar biasa besarnya tanpa ada yang bisa mengontrolnya.
Dikatakannya, recall bergantung pada niatnya. Jika niatnya untuk mengganti anggota DPR yang buruk dan korup, hal itu positif. Namun, jika recall disalahgunakan untuk memecat wakil rakyat yang kritis dan berani melawan kebijakan yang salah, hal tersebut menjadi negatif.
Diakuinya, saat ini banyak anggota DPR yang berlaku seenaknya dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.
Mereka banyak yang mangkir dalam sidang-sidang di DPR dan tidak serius dalam membela kepentingan rakyat. Namun, karena tidak ada sanksi, mereka tenang-tenang saja.
"Mas Taufiq (Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati, Red) apa pernah masuk ke DPR? Makanya sekarang saya juga tidak pernah masuk. Ditegur saja tidak. Saya bilang, keluarin saya, kalau berani. Tidak dikeluarin atau diganti juga. Kalau diganti mungkin nanti saya dikira akan ngomong macam-macam," kata Meilono.
Ironisnya, kata dia, Ketua Pansus di Komisi IX DPR pernah mengemis agar para anggotanya hadir dalam persidangan.
Kendati umur parlemen periode ini tinggal setahun lagi, recall, kata Meliono, masih efektif dan bisa bermanfaat sebagai langkah awal perubahan di DPR. Namun, dia mencurigai motivasi dihidupkannya kembali recall sebagai upaya pemimpin parpol menggeser anggotanya di DPR yang dianggap membahayakan kedudukannya.
Menurut Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Inonesia (Formappi), Toni Legowo, recall bisa dihidupkan kembali asal dengan pengertian yang benar. Recall, kata dia, merupakan mekanisme parpol untuk mengontrol kualitas dan penampilan wakil-wakil mereka yang ada di DPR.
Kontrol tersebut sangat penting sebab sampai kini belum ada mekanisme kontrol terhadap anggota DPR akibat sistem pemilu yang diterapkan sekarang ini, yakni sistem perwakilan berimbang yang mengandalkan peran parpol.
Karena itu, parpol harus bisa menegakkan tanggung jawab anggotanya yang duduk di wakil rakyat. Untuk itu, recall harus didudukkan pada perubahan sistem kepartaian. Tidak hanya dicantolkan begitu saja tapi juga harus ditempatkan pada sistem organisasi kepartaian yang benar.
Jika dicantolkan pada kondisi parpol yang buruk, akan berdampak negatif. Recall dimanfaatkan ketua parpol untuk mendukung kebijakannya, bukan untuk membangun kualitas parpol dan kualitas sebagai anggota DPR.
Mengenai motivasi Megawati menghidupkan recall, menurut Legowo, ada dua kemungkinan alasan. Pertama, ketidakmampuan parpol mengontrol anggotanya yang duduk di DPR, baik dari segi perilaku maupun ideologi partai. Kemungkinan kedua, recall dihidupkan untuk sekadar menegakkan displin kepatuhan pada pimpinan partai.
Menurut Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Tosari Widjaja, wacana recall yang dilontarkan Presiden Megawati disambut positif. Namun, recall tersebut harus diatur mekanismenya agar tak membuat partai justru otoriter terhadap kadernya sendiri.
© Copyright 2024, All Rights Reserved