Menjelang Iedul Qurban, suasana politik di Provinsi Lampung menghangat. Bila kita menelisik dan mencemati di Ruang Publik, kehangatan itu dipicu ketika adanya kehendak konkrit Forum Lintas Partai (FLP), Gerindra, Golkar, PDIP dan beberapa partai lain di Lampung untuk mendukung, mengkritisi gerak pembangunan Pemerintah Provinsi Lampung yang kini dipimpin Gubernur Ridho Ficardo.
Pemikiran FLP sebenarnya biasa-biasa saja. Bukankah itu merupakan tugas dan kewajiban partai politik (parpol) yang memiliki kepanjangan tangan di DPRD, melalui fraksi-fraksi yang ada.
Nah, bisa jadi, sikap FLP itu menimbulkan “kegelisahan” bagi eksekutif, khususnya Gubernur yang notabene sebagai pemimpin pemerintahan di Provinsi. Jika sikap mendukung (membabi buta) tentu happy-happy saja.
Namun, melakukan sikap kritis yang konstruktif terhadap upaya pembangunan di Lampung, bila tidak sesuai atau bahkan menyimpang dari kepentingan rakyat di Propinsi Lampung, tentu bisa membuat tidak nyaman. Apalagi dikaitkan dengan kondisi terkini, dan pada janji-janji yang dinyatakan pasangan Ridho Ficardo-Bachtiar Basri, ketika kampanye menyampaikan visi-misi mereka.
Setidaknya, ketiga tokoh partai yang hadir dalam urun rembuk FLP sudah mengeluarkan pernyataan publik mereka tentang itu. Memang yang mudah dimintai tanggapan oleh kalangan pekerja media di Lampung atas tema FLP, adalah Ketua Gerindra, Gunadi Ibrahim, Ketua Golkar Alzier Dianis Tabrani, dan Ketua PDIP, Syahroedin ZP.
Setidaknya, tiga pekan setelah pertemuan pertama FLP, publik di Lampung, bahkan secara nasional, dikejutkan dengan beredarnya copy-copy Surat Keputusan DPP Partai GOLKAR Nomor : KEP-149/DPP/GOLKAR/IX/2016 tentang: Pemberhentian dan Penunjukan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Provinsi Lampung, tertanggal 8 September 2016 melalui jejaring media sosial yang kemudian dikutip media cetak dan eletronik. Bisa jadi, ini merupakan upaya untuk mengganggu organisasi Partai Golkar di Lampung.
Selaras dengan wacana di Ruang Publik tersebut, beredar luas juga foto kebersamaan dengan tajuk silaturahmi antara Ridho Ficardo, Heru, dan Lodewijk Freidrich Paulus yang didalam SK tersebut ditunjuk sebagai Ketua Plt DPD I Partai Golkar Lampung.
Atas beredarnya foto itu, setelah beredarnya copy SK tentang Plt Golkar Lampung, kembali media massa di Lampung kian ramai. Bahkan Ridho, yang juga Ketua Partai Demokrat Lampung kepada wartawan menyatakan tidak ikut cawe-cawe dengan urusan Partai Golkar.
Selesaikah? Tidak. Alzier Dianis Tabrani dengan tegas menyatakan tidak mengerti dengan copy-copyan SK Plt yang beredar tersebut. Sebab dirinya belum pernah menerima surat SK yang asli dari DPP Partai Golkar. Bagi Alzier, kondisi yang demikian, sangat kuat diduga adanya upaya pihak di luar Partai Golkar yang akan merusak dan memanfaatkan Partai Golkar, khususnya di Lampung untuk kepentingan sesaat mereka. “Ini jelas tujuannya akan merusak Partai Golkar, khususnya di Lampung,” kata Alzier.
Memang, dengan kondisi yang demikian, bila kita mencermati kopian surat tersebut, setiap pemerhati partai politik, akan mengatakan, bahwa beredarnya copyan SK Plt itu kuat diduga telah melanggar Azas Kepatutan dan Tertib Administrasi Partai Golkar.
Sebab -- kalaupun keberadaan surat dimaksud benar, beredar dan masuk ke ranah publik, tanpa melalui mekanisme tertib administrasi dan atau mekanisme internal partai-- seperti yang diatur dalam Peraturan Organisasi Partai Golkar, sementara pihak-pihak yang berkepentingan dalam surat belum menerima, jelas ini merupakan sebuah tindakan yang menggambarkan terlanggarnya tertib administrasi partai.
Mengapa? Karena publik mengetahui, bahwa Partai Golkar sangat konsisten dan patuh serta memegang kuat aturan organisasi mereka. Ini bisa kita lihat, bagaimana upaya Aburizal Bakrie yang melakukan perlawanan serius ketika hasil Munas Bali tidak mau disyahkan oleh pemerintah. Dan Ical, berhasil memenangkan perlawanannya hingga ketingkat peradilan paling tinggi di republik ini. Walaupun kemudian Ical mengalah untuk dilakukannya Munaslub di Bali.
Bila demikian, sampai disini, opini yang dibentuk pada tahap awal adalah melakukan pembunuhan karakter terhadap Alzier Dianis Thabranie. Publik memahami, setidaknya saya, situasi yang demikian merupakan aib organisasi bagi Partai Golkar karena tidak melaksanakan azas kepatutan yang berlaku serta melanggar tertib administrasi.
Kita mengetahui, Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 (UU Parpol) menegaskan: Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART.
Tentu tidak cukup hanya itu. Setiap Parpol memiliki aturan organisasi yang berbeda, seperti yang mereka tuangkan melalui AD/ART dan Peraturan Organisasi (PO). Nah, di Partai Golkar ada pedoman yang menyangkut mekanisme internal, terkait pergantian pengurus/anggota, sebagaimana diatur dalam AD-ART Partai Golkar dan PO No. 13/2011.
Pada Pasal 4 ayat (3) AD-ART Partai Golkar diatur mekanisme pemberhentian anggota. Selanjutnya, dalam Peraturan Organisasi Nomor: PO-13/DPP/GOLKAR/X/2011 diatur tentang disiplin dan sanksi Organisasi, serta pembelaan diri pengurus dan/atau Anggota Partai Golongan Karya. Disini sangat tegas disebutkan mengenai segala bentuk pemberian sanksi organisasi, termasuk sanksi pemberhentian sebagai anggota harus berpedoman pada mekanisme pemberian sanksi organisasi.
Terkait aturan diatas, sesuai Pasal 13 (1) PO 13/2011, penjatuhan sanksi organisasi berupa pemberhentian sebagai anggota Partai Golkar hanya dapat dilakukan apabila sebelumnya sudah dilakukan; Memberikan peringatan tertulis pertama dan peringatan pertulis kedua.
Pada Pasal 16 jo. Pasal 13 ayat 2 jo. Pasal 7 jo. Pasal 6 PO 13/2011, juga ditegaskan, bahwa memberikan sanksi berupa Pemberhentian Sementara sesuai dengan Proses Penilaian atas Pelanggaran dalam Rapat Pleno/Rapat Khusus, dengan tetap memberikan hak jawab.
Terkait PO dimaksud, maka dalam hal, pemberhentian secara Tetap sebagai Pengurus dan/atau Anggota, hanya dapat dilakukan jika seorang Pengurus dan/atau Anggota yang diberhentikan Sementara tersebut tidak memperlihatkan itikad baik untuk memperbaiki kesalahan, atau tidak melakukan upaya pembelaan diri.
Jadi sangatlah wajar, bila publik di Lampung, bahkan nasional, akan bertanya-tanya, pasca Munaslub di Bali yang menghasilkan kepengurusan saat ini, di internal Partai Golkar masih tersimpan problematika dalam memahami PO yang mereka buat sendiri. Namun yang paling mengerti dan paham soal ini, tentu para anggota dan pengurus Golkar.
Pentingnya Menegakkan Aturan
Eksistensi sebuah organisasi akan terjaga, manakala suluruh aturan main didalamnya, terpegang teguh dan secara konsisten dilaksanakan serta dipatuhi oleh anggotanya. Bila konsistensi dan kepatuhan tidak dikedepankan, maka peluang pihak diluar organisasi (eksternal) untuk melakukan intervensi terhadap organisasi jadi terbula lebar.
Biasanya, bila pihak eksternal yang turut bermain dan memainkan, bisa dipastikan, kepentingan-kepentingan pragmatismelah yang menjadi tujuan. Tidak ada kepentingan untuk membesarkan organisasi, sehingga yang akan terjadi organisasi menjadi lumpuh. Namun, bisa jadi kepentingan individu-individu didalam organisasilah yang dikedepankan dan ini tidak akan begitu tampak.
Pertanyaannya kemudian, apakah itu yang terjadi didalam tubuh organisasi Partai Golkar di Lampung saat ini? Tak ada jawaban yang pasti.
Guna menelisik dan menjawab pertanyaan diatas, setidaknya kita bisa mencermati copy-copyan yang beredar, yakni Surat Keputusan Nomor : KEP-149/DPP/GOLKAR/IX/2016 tersebut. Secara teknis, rangkaian diktum-diktum yang ada, kurang terpenuhi bila mengacu pada aturan yang ada.
Copy surat yang diedarkan, tercermin di luar kebiasaan yang selama ini berlaku dalam Partai Golkar, misalnya dalam pencatuman nomor Surat Keputusan. Ini menunjuka indikasi adanya ketergesa-gesaan dalam membuatnya. Sebut saja, diktum “menimbang”, uraian yang tercantum lebih menggambarkan opini bukan kondisi objektif yang menjadi latar belakang terbitnya Surat Keputusan dimaksud. Sebut saja pada poin c dan e serta f.
Sementara pada diktum “mengingat”, terjadi kekeliruan dan kealpaan pencantuman dasar hukum terbitnya Surat Keputusan, misalnya Poin 7 adalah salah dalam mengutip Surat Keputusan yaitu tertulis masa bhakti 2009- 2015, seharusnya masa bhakti 2015-2020. Dimana SK tersebut digunakan secara sah dalam Munaslub Partai Golkar di Bali beberapa waktu yang lalu.
Disisi lain, SK ini juga tidak mencantumkan Peraturan Organisasi (PO) yang mengatur tentang disiplin dan sanksi organisasi yang menjadi dasar pengambilan tindakan organisasi. Pada PO telah diatur tata cara dan mekanisme pemberian sanksi dan penegakkan disiplin organisasi.
Begitu juga pada diktum “memutuskan” dan “menetapkan” pada poin 3 sangat kuat diduga bertentangan dengan AD/ART dan aturan organisasi. Apalagi Pengurus DPD I Partai Golkar Lampung adalah hasil Musyawarah Daerah (Musda) yang syah. DPD Golkar Lampung hadir di Munaslub Bali berbekal pengesahan SK DPP.
Secara substansi, Surat Keputusan Nomor : KEP-149/DPP/GOLKAR/IX/2016 --- sekali lagi, bila benar keasliannya, terduga kuat melanggar azas Substansi yang seharusnya termuat dalam SK dimaksud.
Kita lihat pada diktum menimbang poin c, DPP Partai Golkar menyimpulkan bahwa Ketua dan/atau DPD Partai GOLKAR Provinsi Lampung menghambat jalannya pemerintahan melalui penundaan APBD Provinsi Lampung yang dapat mengganggu stabilitas politik dan pemerintahan di Provinsi Lampung.
Ini sebenarnya tidak patut dijadikan unsur Menimbang, karena tidak ada fakta yang mendasar. Sebab, sampai saat ini Gubernur Provinsi Lampung belum memasukan RAPBD-P Tahun 2016 dan RAPBD Tahun 2017. Belum ada yang akan dibahas,apalagi membahas, karena kedua rancangan anggaran tersebut belum ada. Unsur penghambatan dan gangguan stabilitas politik dan pemerintahan yang dimaksud belum nyata.
Saya mendapat fakta, bahwa DPD Partai Golkar Lampung telah melayangkan surat Nomor : B-59/DPDPG-I/LPG/VIII/2016 tanggal 11 Agustus 2016 dan melalui surat nomor B-63/DPDPG-I/LPG/IX/2016 tanggal 3 September 2016 telah menjelaskan pokok soal surat pertama, baik kepada Tim Fact Finding, maupun kepada DPP Golkar.
Cukup banyak yang menjadi persoalan pada SK dimaksud --- sekali lagi jika benar. Pada diktum menimbang poin d, DPP Partai Golkar membentuk Tim Fact Finding (TFF) untuk mencari data dan fakta atas tindakan yang dilakukan oleh Ketua DPD Partai Golkar Lampung.
Wajar, misalnya DPD Partai Golkar Lampung meragukan hasil kerja TFF, sebab mereka hanya bekerja selama dua jam. Bahkan DPD II Partai Golkar di Lampung pada dialog dengan TFF telah menyampaikan penjelasan serta penegasan sikap mereka. Bisa jadi hal ini tidak dianggap menjadi data dan fakta. Timbul pertanyaan: data dan fakta apa yang menjadi dasar TFF?
Merujuk pada informasi yang beredar, pada hasil kerja TFF hanya menyampaikan dua point; bahwa DPD Partai Golkar Lampung tidak boleh menghambat APBD, dan terkait proses PAW Anggota DPRD ditunda sampai ada Keputusan DPP Partai Golkar yang baru.
Jadi, untuk poin pertama, itupun bila benar terbukti adanya, sesuai dengan AD/ART dan PO, DPP Partai Golkar bisa memberikan Peringatan Kesatu. Apalagi belum terjadi penghambatan yang dimaksud.
Sementara untuk poin 2 TFF, DPP Partai Golkar patutnya mengeluarkan Surat Keputusan yang membatalkan dan merehabilitasi nama-nama anggota DPRD yang dicabut NPAPG-nya. Sebab,kewenangan DPD Partai Golkar Provinsi Lampung sebatas menjalankan perintah yang memang hal tersebut merupakan kewenangan DPP.
Mari kita cermati point e pada diktum Menimbang. DPP Partai Golkar menyimpulkan adanya pemaksaaan kehendak dengan memberikan sanksi terhadap kader yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan yang dibuat oleh Ketua DPD Partai Golkar Lampung.
Kesimpulan ini juga kuat diduga merupakan kesalahan yang cukup fatal, tidak berlandaskan fakta dan data yang ada. Faktanya, tindakan pengajuan PAW anggota DPRD berdasarkan Surat Keputusan DPP Partai Golkar yang sudah terbit jauh hari sebelumnya dan masih berlaku karena belum dibatalkan. Tidak ada tindakan hukum melalui gugatan hukum atau sesuai aturan Organisasi, misalnya melalui Mahkamah Partai GOLKAR untuk membatalkan Surat Keputusan DPP Partai GOLKAR.
Jadi, pemberian sanksi kepada kader akibat dari tidak sejalan dengan Ketua DPD Golkar Lampung merupakan kesimpulan yang keliru. Sebab keputusan pemberian sanksi adalah keputusan organisasi yang dibuat oleh DPP Partai Golkar. Seorang Ketua tidak bisa memberikan sanksi organisasi kepada kader walaupun dianggap patut diberikan sanksi, sebab semua harus melalui mekanisme partai yang telah diatur dalam aturan organisasi.
Sehingga, diktum “memutuskan” dan “menetapkan” pada poin ketiga, terasa sekali, isinya diluar kelaziman dalam pembuatan Surat Keputusan. Bisa jadi, bila ditelisik lebih jauh, berpotensi adanya pelanggaran terhadap AD/ART Partai Golkar.
Lebih jauh dari itu, suhu politik di Lampung, khususnya di Partai Golkar, dari hari kehari kian meningkat. Bila kekisruhan yang demikian terus ditimbulkan dan tidak diselesaikan secara bijak sesuai dengan AD/ART, PO Partai Golkar, bisa jadi masyarakat Lampung akan kecewa. Yang pertama kali akan terdampak, tentu Partai Golkar. Masyarakat Lampung sangat paham mengapa terjadinya peristiwa ini. Apalagi mereka sadar dan paham, gaji para wakil mereka di parlemen, termasuk di eksekutif, merupakan hasil jerih payah dan kepatuhan mereka dalam membayar pajak.
Aloysius Rebong, wartawan
© Copyright 2024, All Rights Reserved