Penahanan mantan menteri sekertaris negara Akbar Tanjung yang kini menjadi Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Ketua DPR RI hingga kini menjadi topik perdebatan publik yang terus bergulir. Publik mulai mempersoalkan kedudukan Akbar sebagai ketua DPR dan ketua umum Partai Golkar. Demi etika politik dan tanggungjawab, semestinya Akbar mundur dari Golkar dan DPR, demikian antara lain alasan yang dikemukakan.
Bagaimanapun, kasus penyelewengan dana non bujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar itu sulit dilepaskan dari tanggungjawab Akbar dan tentu saja dengan demikian meruntuhkan citranya sebagai pemimpin lembaga perwakilan rakyat dan pimpinan organisasi politik.
Pengamat politik dari UGM Dr Affan Gafar menilai, ketergantungan terhadap Akbar Tanjung yang kini bersatus tersangka dan rasa tak percaya diri dari para elit Golkar akan melorotkan kepercayaan publik dan membuat partai tersebut akan ditinggalkan.
“Para pengurus partai Golkar mestinya bersikap rasional dan tidak mati-matian membela Akbar, kasus Bulog itu kan tanggungjawab Akbar secara pribadi ketika menjadi mensesneg, kalau terus-terus melakukan manuver membela Akbar, kita jadi bertanya-tanya, sebetulnya ada apa ini?” tandas Affan Gafar dalam sebuah wawancara dengan SCTV Selasa (12/03/2002).
Bagi Affan, sikap Partai Golkar sendiri terkesan diskriminatif dalam membela kader-kaderya di Golkar. Misalnya, kata dia, ketika Rahadi Ramelan yang juga orang Golkar ditahan dalam kasus yang sama, partai Golkar diam-diaman saja. “Ini diskriminatif namanya,” tegas Afan.
Memang penahan Akbar telah disikapi secara keras oleh Partai Golkar. Partasi Golkar malah menuduh penahanan {The Big Bos} sebagai keputusan sebuah politik, dan penghianatan dari PDI Perjuangan. Tidak tanggung-tanggung, bahkan Partai Golkar juga memproklamirkan dirinya untuk memutuskan hubungan dengan PDI Perjuangan dan memilih menjadi partai oposisi, hingga mengancam untuk menarik kadernya yang duduk di dalam kabinet.
Manuver pembelaan terhadap Akbar pun terus dilakukan. Belakangan disinyalir bahwa uang sebesar Rp 32 milyar yang dikembalikan oleh Winfried Simatupang merupakan dana kolektif yang dilakukan para kader Golkar untuk menyelamatkan sang ketua dan kelangsungan Partai Golkar sendiri.
Hal tersebut disangkal oleh anggota fraksi Partai Golkar Ferry Mursidan Baldan kepada Politikindonesia.com, usai sebuah acara diskusi politik di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa kemarin. Tudingan itu, kata mantan Ketua Umum HMI ini, sama sekali tidak benar dan tidak berdasar. Malah para anggota partai Golkar sendiri tidak tahu-menahu tentang adanya pengembalian uang tersebut.
Menanggapi tuduhan tadi, menurut Ferry, Partai Golkar tidak butuh mengklarifikasi persoalan tersebut. Publik berhak memberikan interpretasi dan penilaiannya yang berbeda-beda.
Sementara soal desakkan agar Akbar mundur dari jabatan sebagai ketua DPR, lanjut Ferry, bila terjadi {impeachment} terhadap Akbar Tanjung, maka itu adalah intervensi politik untuk menjatuhkan Akbar. Baginya, penahanan Akbar belum ada kekuatan hukum yang tepat, statusnya sebagai tersangka dan penahanannya yang bersifat sementara itu , tidak lantas publik menghakimi Akbar bersalah dalam kasus {Bulogate} II.
Kasus penahanan Akbar, imbuhnya, jangan selalu dipandang sebagai komoditas politik saja. Semuanya dilakukan melalui proses hukum yang berlaku, jika sudah mencapai keputusan yang final barulah kita bisa mengetahui kebenaran yang sesungguhnya sesuai hukum yang berlaku.
Kalau ternyata pemerintah ketidakhadiran Akbar sebagai ketua DPR terus dipersoalkan, demikian Ferry, itu artinya memang semuanya bernuansa politis yang sengaja direkayasa untuk menjatuhkan partai Golkar khususnya Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR.
Sejauh ini, jelas Ferry, Partai Golkar tetap terkonsolidasi walaupun Akbar ditahan dan semuanya masih memberikan dukungan terhadap kepemimpinannya di Golkar dan DPR. Sanggupkah Akbar bertahan, kita tunggu saja.
© Copyright 2024, All Rights Reserved