Asosiasi industri kimia berharap pemerintah segera menyesuaikan harga gas, agar industri di dalam negeri lebih kompetitif. Sebab saat ini harga gas di luar negeri saat ini mengalami penurunan.
Harga minyak mentah dunia saat ini, turun 75 persen mencapai US$30 per barel. Hal ini, kemudian diantisipasi pemerintah dengan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) melalui deregulasi tahap III.
"Namun, sayangnya harga gas sampai saat ini tidak berubah," kata Sekjen Federasi Industri Kimia Indonesia, Ridwan Adipoetra, Rabu (03/02).
Menurut Ridwan, kalau hal seperti ini dibiarkan akan membuat industri kimia di dalam negeri semakin sulit bersaing. Penyesuaian harga gas baru diberikan kepada industri pupuk dari US$10 per MMBTU menjadi US$7 per MMBTU.
Ridwan mengatakan, industri kimia tidak menuntut harus turun 75 persen sesuai harga minyak mentah namun turun sebesar 20 persen saja sudah sangat membantu dari posisi saat ini berkisar US$8-US$10 per MMBTU.
Ridwan mengaku harga gas di berbagai negara saat ini berbeda-beda, namun yang jelas telah mengalami penurunan. Mungkin kalau dirata-ratakan harga gas saat ini sekitar US$5 per MMBTU.
Ridwan mengingatakan, dengan harga gas yang tinggi di dalam negeri akan menyulitkan bagi industri untuk berkembang. Sebagai contoh harga ember di supermarket saat harga minyak mentah di luar negeri masih tinggi sekitar US$120 per barel, dengan kondisi sekarang harganya hanya US$30 per barel, harganya relatif masih sama, bahkan harganya cenderung malah naik.
Kondisi membuat industri kimia di dalam negeri semakin terjepit, dan untuk ekspor sulit bersaing. Sedangkan di dalam negeri, daya beli masyarakat semakin terbatas, sehingga tidak memungkinkan untuk menaikkan harga.
“Belum turunnya harga gas ini akan berpengaruh kepada industri yang mengonsumsi gas sebagai bahan baku seperti industri petrokimia, serta industri keramik yang rata-rata komponen gas dipergunakan 10 sampai 50 persen,” pungkas Ridwan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved