Tingginya harga kedelai penyebabnya diduga karena adanya praktik kartel dalam kuota impor kedelai. Praktik kartel itu melibatkan 3 perusahaan yang menguasai kuota impor kedelai sebesar 66,33 persen.
Hal itu diungkapkan oleh peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, kepada pers, di Jakarta, Selasa (10/09). “Hasil investigasi kami menemukan bahwa ada 3 perusahaan yang menguasai impor kedelai. Satu perusahaan bahkan hampir monopoli," ujarnya.
Lebih jauh ia mengatakan, dari 14 perusahaan importir yang mendapat Surat Persetujuan Impor (SPI) kedelai dari Pemerintah pada tanggal 28-29 Agustus, ada 3 importir yang memegang kuota impor terbesar. Perusahaan tersebut masing-masing adalah PT. FKS Multi Agro yang menguasai kuota terbesar dengan 46,71 persen (210.600 ton), PT. Gerbang Cahaya Utama sebesar 10,31 persen (46.500 ton), dan PT. Budi Semesta Satria sebesar 9,31 persen (42.000 ton). “Sementara perusahaan-perusahaan lain hanya mendapat kuota di bawah 5 persen," katanya.
Sedangkan, Badan Usaha Logistik (Bulog) sebagai penyangga stok dan stabilisator harga, hanya mengantongi kuota impor sebaanyak 20.000 ton (4,44 persen).
Dengan semakin menipisnya peran Bulog dan adanya kartel tersebut, posisi tawar (bargaining position) petani semakin melemah. “Petani diharuskan mengikuti harga yang telah ditetapkan oleh kartel. Kalau di Bulog kan ada harga terendah," ujar dia.
Peneliti INDEF lainnya, Didik J. Rachbini menyatakan, dengan adanya praktik kartel dalam tata niaga kedelai tersebut, para importir bisa menentukan harga kedelai melalui kesepakatan di antara mereka. “Dengan adanya pemberian kuota yang besar, pemerintah mendorong adanya kartel," ujar Didik.
© Copyright 2024, All Rights Reserved