{IT is not the courts nor the businessman nor the politicians that the media needs to fear in regards its freedom. It is media itself that is its greatest enemy.}
Itulah kutipan artikel yang ditulis oleh Ong Hock Chuan pada harian {The Jakarta Post} awal Juli silam bertitel {Threats Against the Press: Media Own Enemy}. Menarik untuk dikutip, karena itulah satu-satunya otokritik yang sangat berharga di tengah kasus gugatan terhadap pers nasional. Di tengah situasi seperti ini, pers memang membutuhkan penghiburan, pembelaan atau sekadar solidaritas. Tapi penghiburan atau solidaritas bisa memabukkan tanpa disertai sikap mawas diri berupa otokritik.
Siapa pun yang mengetahui sejarah reformasi Indonesia mengharapkan pers akan mengawal perubahan ke arah demokrasi. Tetapi kita harus mengakui bahwa selama lustrum pertama reformasi, pers justru kehilangan tempatnya di barisan pengawal. Ledakan media massa yang memaksa persaingan sengit antarmedia, menghancurkan{ self control }pers terhadap bingkai-bingkai kelayakan.
Pers cenderung mengutamakan berita cepat daripada berita akurat (ini terkait dengan pertumbuhan stasiun televisi yang kini mencapai angka 13). Jumlah wartawan sejak lima tahun terakhir ini saja tercatat 20.000 – 25.000 dari sekitar 7.000 wartawan sebelum Presiden Soeharto {lengser }tahun 1998. Sebagian besar dari mereka sudah merasa cukup hebat dengan hanya berbekal 5W+H. Ini semua dapat memicu ekses sosial yang pada gilirannya akan mengancam kebebasan pers sendiri.
Menatap wajah pers Indonesia sekarang, tidak sulit membayangkan wajah pers Amerika era 1970-an. Ketika itu Bob Woodward dan Carl Bernstein – dua wartawan legendaris {The Washington Post} – berhasil membongkar Skandal Watergate yang meruntuhkan kursi presiden AS ke 37, Richard M. Nixon tahun 1973. Pers seolah lahir kembali. Mereka berlomba-lomba menurunkan berita spektakuler dan insinuatif. Momentum ini menurunkan kewaspadaan terhadap akurasi dan kaidah-kaidah jurnalisme.
Tahun 1980, {The Washington Post} menurunkan{investigative reporting} – ditulis oleh Janet Cooke – tentang seorang bocah berusia 8 tahun bernama Jimmy yang kecanduan heroin. Laporan yang sempat diganjar penghargaan Pulitzer, ini belakangan diakui oleh {The Washington Post} sebagai rekaan belaka. Ada lagi kasus {Newsweek} yang menerbitkan catatan harian Hitler. Dua pekan kemudian, majalah berita mingguan ini mengumumkan, catatan harian Hitler itu sebenarnya cuma sebuah sensasi. Dalam tajuknya pada 15 Juli 1983, harian {The Wall Street Journal}menulis,“Kita terpaksa akan membunuh etika sebelum etika membunuh kita.”
Kesimpulannya, meski kebebasan pers dijamin oleh Konstitusi ({First Amendmen}t), pemanfaatannya cuma setingkat ambisi menaikkan tiras atau {rating}. Pelaksanaan kebebasan itu pada akhirnya ditentukan oleh penafsiran konsep kebebasan dan hasil pergumulan tata nilai masyarakat. Toh, kebebasan itu tidak berlangsung linier (garis lurus), tapi fluktuatif (naik turun). Jika pers dirasa tertindas oleh kekuasaan, publik cenderung membela bahkan ikut melawan penindasan itu. Sebaliknya, jika kekuasaan pers dirasa terlalu besar, publik cenderung mengurangi simpati dan kepercayaannya.
Praktik kebebasan pers Indonesia juga mengalami pasang surut. Selama setengah abad Indonesia merdeka, kebebasan pers lebih banyak dibingkai oleh persepsi kekuatan sosial politik yang sedang berkuasa. Jika pemerintah menganggap kondisi sosial politik aman, biasanya pers diberi kelonggaran. Bila kondisi sosial politik dianggap mengancam stabilitas pemerintah, kelonggaran itu dikurangi atau dirampas.
Kesalahan-kesalahan yang ditudingkan kepada pers tidak dibuktikan melalui proses peradilan, melainkan langsung dicabut ijin penerbitannya. Sebut saja {Fokus, Sinar Harapan, Prioritas}, dan {Monitor}. Publik menaruh simpati yang sangat besar manakala {DëTIK, Editor}, dan {Tempo }dibredel pemerintah.{ Monitor} memang tidak mendapat simpati serupa, namun pemimpin redaksinya menjalani proses peradilan dan menerima hukuman penjara 4,5 tahun.
Paralel dengan itu, sudah lama – dari dulu hingga sekarang – pers mempersepsikan dirinya sebagai pihak yang tertindas, terutama saat mereka tengah menghadapi teguran, somasi apalagi gugatan. Sebaliknya pengusaha, politisi, dan birokrat dipersepsikan sebagai pihak yang menindas.
Seringkali bahkan ia memeras rasa belas kasihan publik atas nasib yang menimpa pers. Tak heran, ketika misalnya pengusaha Probosoetedjo atas nama PT Garmak Motor menggugat majalah {Tempo} tahun 1987 – menyangkut tuduhan pencemaran nama baik – publik yang tercermin dari pemberitaan pers menanggapinya dengan sinis. Pers telah lama memandang dirinya sebagai tempat suaka bagi orang-orang yang tertindas dan teraniaya – dengan demikian telah menghasilkan hal-hal yang begitu baik bagi dirinya dan publik – sehingga jika ada pihak yang tak bisa melihat kebaikan ini, akan mengguncang jiwa pers. Di mata pers, masa depan demokrasi bergantung pada kapasitas imajinasi publik memahami kebebasan pers.
Seperti Amerika tahun 1960-an, masyarakat Indonesia kontemporer mengalami persimpangan budaya ({cultural break even}). Nilai-nilai lama belum seluruhnya hilang; nilai-nilai baru yang datang belum sepenuhnya berjalan. Nilai-nilai lama tersebut cenderung berupaya membuktikan kesuksesan tanpa hirau pada dampak pemberitaan pers. Sedangkan nilai-nilai baru cenderung menyelesaikan persoalan akibat pemberitaan pers di ruang pengadilan.
Lihatlah, bagaimana publik mereaksi gugatan pengusaha Tomy Winata terhadap {Tempo}’ Texmaco terhadap {Kompas}dan {Tempo}, atau politikus Akbar Tandjung dan Presiden Megawati Soekarnoputri terhadap {Rakyat Merdeka}. Sikap publik terhadap pers masih mendua. Bila pers dirasa merugikan, akankah mereka menggugat pers ke meja hijau atau akan membiarkannya?
Di Amerika, perbedaan sikap masyarakat menghadapi dampak pemberitaan pers mencolok: apakah kebebasan pers akan dinilai langsung oleh khalayak ramai, atau harus ditentukan {Grand Jury} di pengadilan. Selama hampir empat dekade terakhir terbukti, sebagian besar tokoh dan selebritas Amerika menempuh jalur hukum tatkala berperkara dengan pers. Tercatat Ronald Reagan, Jackie Onassis, Mohamad Ali, Cher, Cary Grant, Clint Eastwood, Doris Day, William C. Westmoreland (eks Panglima Perang Amerika di Vietnam), penyanyi Carrol Burnet, senator Paul Laxalt, dan penulis Norman Mailer, merupakan sebagian contoh.
Simak pernyataan Direktur Utama Mobil Oil Corporation, William Tavoulareas dan puteranya, Peter, saat mengajukan gugatan ganti rugi 100 juta dolar AS terhadap {The Washington Post }tahun 1979,“Saya tidak berniat menghancurkan pers. Saya sadar arti kebebasan pers bagi negeri ini. Gugatan ini takkan terjadi jika mereka mengakui kesalahan mereka.”
Publik di sana sadar, perlindungan terhadap hak-hak pribadi ({essence of the person}) merupakan pengakuan dan penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Pers yang telah (terbukti) melakukan pencemaran nama baik dan penghinaan dapat dianalogikan sebagai “penyerbu ruang-ruang jiwa” (invaders of psychic space). Pers demikian dinilai merusak “integritas jiwa” ({psychic integrity}). Banyaknya kasus gugatan publik terhadap pers memperlihatkan, betapa gangguan emosional (emotional distress) telah jauh berkembang, menyusup ke dalam relung jiwa, dan seringkali menyebabkan luka mental ({injury}) yang parah.
Premis tersebut dicontohkan pada kasus gugatan Carol Burnet terhadap majalah {The National Enquirer} tahun 1976. Oleh pengadilan, {Enquirer} dinyatakan bersalah dan membayar ganti rugi 300 ribu dolar AS ({compensation damages}), ditambah 1,3 juta dolar AS sebagai denda tambahan ({punitive damages}) kepada sang penyanyi. Dalam pengakuan Nona Burnet, berita {Enquirer} memang tidak mengusik pamor keartisannya. Tapi secara personal, mentalnya sangat terpukul dengan tidak berani lagi berbicara keras-keras selama pertunjukan.
Pada edisi 2 Maret 1976, di bawah judul “Carol B. dan Henry K. Ribut-ribut”, {Enquirer } memberitakan sang artis adu mulut dengan Menlu AS kala itu, Henry Alfred Kessinger, di sebuah restoran di Washington. Burnet digambarkan mabuk dengan menumpahkan segelas anggur di atas kepala seorang tamu. Burnet menyangkal keras. Di pengadilan, ihwal berita itu menjadi jelas. Redaktur {Enquirer}, Brain Walker memperoleh info tersebut dari seorang informan. Ternyata informan ini sendiri memperoleh keterangan dari seorang pelayan restoran yang telah diberi “uang rokok”. Belakangan diketahui bahwa keterangan “ribut-ribut” antara Burnet dan Kessinger sebetulnya isapan jempol Walker.
Sebelumnya, {Enquirer} menerima banyak sekali gugatan. Selama itu pula, ia tak terkalahkan di pengadilan dan namanya berkibar. Kesalahan dan kekalahan {Enquirer} samasekali tak disesalkan oleh publik termasuk pers sendiri. Sebagian pihak yang merasa dirugikan pemberitaan pers selama ini menggeram,”Sudah waktunya kita mengusir binatang pengisap darah yang menjijikkan dan bersembunyi di balik bayangan {First Amendment}.” Redaktur {San Francisco Examiner}, Nes Murphy, menilai Kasus {Enquirer} sebagai aib yang memalukan dunia pers. Dalam artikelnya di harian {The New York Times}, Jonathan Friendly, menulis,”Sebetulnya, banyak wartawan merasa tidak enak hati berada bersama-sama dalam satu perahu bernama {First Amendment.”}
Yang menarik, meski tiada henti digugat – bahkan tak jarang sampai membayar ganti rugi jutaan dolar AS dan pimpinannya menginap di “hotel prodeo” – kebebasan pers samasekali tidak terancam. Gugatan yuridis terhadap pers sudah menjadi rutinitas masyarakat Amerika. Kasus gugatan yuridis merupakan pembelajaran yang menjadikan pers di sana makin dewasa dan bertenaga.
Tahun 2001, misalnya, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel – masing-masing wartawan {The New York Times} dan mantan wartawan {The Los Angeles Times} – membesut buku {The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect}. Hingga kini, tak ada yang mengklaim buku ini dapat meredam kebebasan pers; sebaliknya malah dianggap sebagai pencerahan profesi wartawan.
Kovach dan Rosenstiel menulis buku tersebut di atas kesadaran bahwa batas-batas kebebasan pers ditentukan oleh etika dan hukum. Dalam pengertian hukum, seseorang bersalah bila dia melanggar hak orang lain. Dalam pengertian etika, dia bersalah bila dia berpikir untuk melakukannya.
Sebagaimana polisi, hakim, peneliti, dan profesi lain, wartawan juga bekerja menemukan kebenaran fungsional. Bukan kebenaran dalam pengertian filosofis. Sehingga dengan demikian kebenaran dimaksud dapat saja salah, tapi bukan mustahil direvisi. Polisi bisa
saja salah menangkap orang, hakim juga bisa salah menjatuhkan vonis. Demikianlah, pers bukanlah institusi yang berhak memonopoli kebenaran. Mungkin saja ia sengaja atau tidak melakukan kesalahan dalam prosedur dan verifikasi – sehingga terlanjur merugikan pihak yang diberitakannya – tapi tak berarti membuat pers luput dari jerat hukum.
Demikian pula apa yang di Indonesia dikenal sebagai hak jawab. Sekarang ini, pers mengesankan pihak yang menggugat pers ke meja hijau sebagai pihak “penindas” yang mengancam kebebasan pers. Hak jawab yang memang dijamin UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, seolah-olah “klausul perisai” yang membebaskan pers dari kemungkinan digugat secara yuridis.
Kesan tadi tentu menyesatkan. Hak jawab – dalam penafsiran hukum Indonesia – memang merupakan kesempatan yang diperuntukkan publik membantah atau membela diri berkenaan pemberitaan pers yang dianggap merugikan.
Gagasan hak jawab menambah bobot {checks and balances }antara berita pers dan berita versi pihak yang dirugikan. Hak jawab juga bisa dianggap {social cost} yang harus dibayar sebagai ganti rugi oleh pers atas kesalahannya. Meski demikian, penggunaan hak jawab samasekali tidak menghilangkan hak-hak yang timbul dalam hukum perdata termasuk akibat hukum pidana. Ini berarti, pihak yang telah menggunakan hak jawabnya tetap berhak melakukan gugatan yuridis terhadap pers.
Pada tataran diskursus, gugatan yuridis selalu dicurigai sebagai ancaman. Sebagian kalangan bahkan menilai teror atau aksi kekerasan terhadap wartawan masih “lebih baik” daripada gugatan yuridis. Karena korban aksi tersebut hanya menelan satu-dua korban (wartawan). Akan halnya gugatan yuridis, selain dianggap mengancam kebebasan pers juga berpotensi membangkrutkan institusi pers {notabene} mempekerjakan ratusan bahkan ribuan pekerja yang terkait didalamnya. Logika tersebut sudah tentu menggelikan. Karena kita seolah menghalalkan aksi premanisme terhadap pekerja pers.
Di Indonesia, delik pers yang diputus oleh hakim pengadilan memang tidak sebanyak di Amerika. Tapi, sebetulnya bukan barang baru. Sebagai contoh, tahun 1981, pemimpin redaksi harian Sinar Pagi terbukti bersalah melanggar pasal 207 KUHP (melakukan kejahatan dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu kekuasaan yang ada di negara Indonesia. Kasus ini berihwal dari pemberitaan edisi 23 Juli 1980 yang dimuat pada halaman pertama harian tersebut, berjudul “Dilaporkan ke DPR, Bupati Tangerang Lalap Uang Rakyat Rp 28 Juta”.
Tahun 1984, merasa nama baiknya dicemarkan oleh pemberitaan pers, Fachrie Doemas menggugat 11 media. Hasilnya, harian {Merdeka} di Jakarta, harian {Mimbar Masyarakat} di Samarinda, dan majalah {Detektif & Romantika} di Jakarta divonis membayar ganti rugi masing-masing Rp 250 ribu, ditambah ongkos perkara yang ditanggung bersama sebesar Rp 175 ribu. Dengan kasus gugatan yang sama, pada 1989 harian {Terbit }juga berurusan dengan Ketua Pengadilan Negeri Subang.
Kesalahan berupa pemuatan berita bohong sempat dialami oleh harian {Berita Buana }tahun 1990. Pada edisi 14 Oktober 1988, harian ini melaporkan “Banyak Makanan yang Dihasilkan Ternyata Mengandung Lemak Babi”. Pengadilan memvonis satu tahun penjara bagi Abdul Wahid, sang wartawan.
Dari sidang kasus gugatan umumnya terungkap, bahwa pers sebetulnya tidak berniat menurunkan suatu laporan jika sebelumnya diketahui tidak benar. Hanya “sedikit” kecerobohanlah yang acapkali menjerumuskan pers ke dalam jerat hukum. Majalah {Time }bisa dijadikan pelajaran tentang hal ini, tatkala ia digugat dan dituntut ganti rugi 50 juta dolar AS oleh Ariel Sharon, tahun 1983. Perdana Menteri Israel itu menuduh {Time }telah melakukan {blood libel} (pencemaran berdarah) terhadap nama baiknya.
Kasus gugatan bermula dari laporan utama {Time} edisi Februari 1983. Di situ, {Time} mengetengahkan lika-liku Komisi Kahan, semacam {task force} bentukan pemerintah Israel yang bertugas menyelidiki pembunuhan massal terhadap warga Palestina pada 16 September 1982 di Beirut Barat. Peristiwa itu terkait dengan pembunuhan oleh orang-orang tak dikenal terhadap presiden terpilih Lebanon, Bashir Gemayel, pada 14 September 1982 – menyusul invasi militer Israel ke Lebanon sejak 6 Juni 1982.
Secara kronologis, Sharon diberitakan mengunjungi keluarga Gemayel untuk menyampaikan duka citanya pada 15 September. Pada 16 September, Sharon mengijinkan sekitar 150 orang pendukung setia Gemayel dari kubu Phalangis Kristen memasuki kamp pengungsi Sabra dan Shatila di Beirut Barat. Tujuannya, mencari gerilyawan Palestina yang diduga bersembunyi di situ. Namun, misi damai tersebut tiba-tiba berubah menjadi pembantaian. Tak kurang dari 300 pengungsi yang tidak bersenjata, perempuan, dan anak-anak dibunuh seketika. Dan, itu dilakukan persis di depan mata tentara Israel.
Tak pelak, tragedi Sabra-Shatila menempatkan Israel dan PM Sharon sebagai sasaran kutukan dunia internasional. Israel dianggap provokator di balik peristiwa itu. Pemerintah Israel lantas membentuk komisi penyelidik yang dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Agung Israel, Yitzak Kahan. Itu sebabnya, komisi ini lebih dikenal sebagai Komisi Kahan.
{Time} pada dasarnya membeberkan cuplikan penting dari laporan Komisi Kahan. Misalnya, berdasarkan hasil penyelidikan di lapangan, komisi ini menilai Sharon semestinya telah mengetahui rencana kelompok Phalangis yang sejak awal memang berniat membunuh warga Palestina. Ini berarti, demikian laporan Kahan yang dilansir {Time}, Sharon mempunyai andil sehingga pantas dimintai pertanggungjawaban atas tragedi tersebut.
Berita tadi sebetulnya “tidak ada apa-apanya”. Karena rekomendasi Kahan satu itu telah beredar di khalayak ramai. Bahkan sebelumnya – pada edisi 4 Oktober 1982 – {Time} telah memberitakan Sharon sesungguhnya telah berbulan-bulan berencana memanfaatkan Kelompok Phalangis untuk mengadakan “pembersihan” di kamp Sabra dan Shatila. Time juga menulis bahwa Sharon sempat berdiskusi tentang rencana “pembersihan” itu dengan Gemayel pada 12 September atau dua hari sebelum pemimpin Phalangis itu terbunuh.
Namun, ada bagian dari laporan yang tak diungkapkan kepada publik (bersifat {top secret}), dibeberkan {Time} yang kemudian menyulut kemarahan Sharon. Laporan ini tentang Lampiran B yang memuat beberapa nama agen rahasia Mossad. Lampiran B juga menyebut bahwa pada hari presiden Lebanon terbunuh, Sharon berjanji kepada keluarga Gemayel akan memindahkan pasukan Israel ke Beirut Barat. Mereka membicarakan rencana balas dendam atas kematian Gemayel.
Dalam laporannya, {Time }menulis telah memperoleh Lampiran B dari narasumber {learned} (tertentu), tanpa penjelasan identitas atau asal-usul sumber. Di pengadilan, {Time} mengakui bahwa informasi diperoleh dari korespondennya di Yerusalem, David Halevy. Di pengadilan, Halevy pun bersaksi. Bahwa dia memperoleh Lampiran B dari “sumber C”yang mengungkapkan nama agen rahasia Mossad serta siapa saja yang hadir dalam pertemuan Sharon dan keluarga Gemayel. Dalam pengakuannya, Halevy tidak pernah menanyakan kepada “sumber C” tentang kebenaran rencana balas dendam itu. Atau, “sumber C” sesungguhnya tak pernah membenarkan kecurigaan Halevy. Maka, narasumber {learned} yang disebut {Time} dalam laporannya dipastikan kesimpulan Halevy sepihak.
Singkat cerita, pengadilan memutuskan {Time} bersalah. Di lain pihak, kecerobohan {Time} dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Sharon untuk mengangkat kembali citranya. Bukan saja kawan tapi juga lawan-lawan Sharon bersimpati; sebaliknya ikut membenci {Time}. Salah seorang seteru politiknya, mantan PM Menachem Begin bahkan mengirim ucapan selamat. Pers Israel yang dikenal kritis terhadap sepak terjang Sharon mengelu-elukannya bak seorang almasih.
Kasus gugatan yuridis yang berdimensi politik seperti itu yang sebetulnya sangat dikhawatirkan oleh pelaku pers konservatif – tak mau terlibat sebagai partisan atau pemain dalam percaturan kekuasaan – yang berutang loyalitas pada publik. Ini lebih berbahaya ketimbang gugatan yuridis yang berdimensi ekonomi atau menghadapi tuntutan ganti rugi. Karena ada kecenderungan sebagian publik di sana yang memanfaatkan kasus gugatannya terhadap pers lewat pengadilan demi “mencuci tangan” dari keruwetan, suatu {blunder} massa lalunya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved