Wajah cantik Maribeth berubah sendu. Matanya sembab dan sesekali berlinang air mata. Setelah 12 tahun malang melintang di Indonesia, pelantun tembang Denpasar Moon, itu harus balik ke negerinya, Filipina. Keinginannya menjadi warga Indonesia pupus sudah.
Padahal, penyanyi bernama lengkap Maribeth B. Pascua ini, Oktober tahun lalu, sempat mewakili Indonesia di pentas Asia Art Festival yang digelar di Negeri Tirai Bambu. "Saya sudah telanjur mencintai Indonesia, tapi ya bagaimana lagi," aku penyanyi asal Filipina itu medio Mei ini harus pulang ke negara asalnya karena izin tinggal di Indonesia sudah habis.
Diakui Maribeth, kesempatan untuk bisa menetap di Indonesia memang sempat disodorkan pihak keimigrasian. "Saya harus kerja kantoran dulu di sini selama lima tahun. Tapi, rasanya susah harus meninggalkan dunia panggung. Daripada kerja kantoran, saya lebih baik menyanyi," kata penyanyi kelahiran Bayombong, Filipina, 14 Januari 1972 ini, dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar.
Kalau toh Maribeth tak bisa memenuhi kerja kantoran lima tahun berturut-turut, sebenarnya masih terbuka celah lain yang bisa ditembus. Dengan berhitung, ia mulai menapakkan kaki di Indonesia sekitar 12 tahun silam, ia sudah lebih dari 10 tahun bolak-balik ke Indonesia. Adakalanya ia menetap beberapa lama di sini.
Meski, trik ini tak bisa ditempuh lagi bilamana Rancangan Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia disetujui oleh DPR untuk diundangkan. Pasal 7 huruf c RUU itu menyebutkan pemohon WNRI (waktu mengajukan permohonan) sudah bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia paling sedikit 10 tahun berturut-turut atau selama 15 tahun tidak berturut-turut.
Maribeth sempat punya kans cukup besar menjadi warga Indonesia sewaktu berpacaran dengan seorang lelaki asal Manado, Sulawesi Utara. Jadi ada banyak celah yang bisa dimanfaatkan orang seperti Maribeth ini.
Secara administratif, Maribeth sudah memenuhi segala ketentuan sebagaimana dirumuskan pasal 5 UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Namun, masih ada satu ada ketentuan yang belum bisa dipenuhinya sampai kemudian ia balik ke asalnya, Filipina. “Dia belum menyertakan dokumen imigrasi terbaru berupa Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap), makanya dia dideportasi,” jelas Ade E. Dachlan, Kabid Humas Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Kehakiman dan HAM. Dachlan menambahkan pihaknya tidak mempersulit keinginan Maribeth menjadi warga Indonesia.
Maribeth selama ini selalu menggunakan visa kunjungan 451: hanya sebatas melakukan kegiatan, pertunjukan, bukan untuk menetap di Indonesia. Sementara Maribeth sudah bertempat tinggal di Indonesia. Menurut Ade Dachlan, jika seorang WNA sudah tinggal di Indonesia lima tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut maka seharusnya sudah mempunyai Izin Tinggal Terbatas. Kemudian, izin tinggal terbatas ini dikonversi dulu ke izin tinggal tetap. Setelah izin tinggal tetap dimiliki barulah diajukan untuk menjadi WNI di pengadilan setempat. “Jadi Kitap itu adalah sebagai persyaratan untuk mengajukan permohonan kewarganegaraan Republik Indonesia yang diajukan di pengadilan, bukan di Imigrasi,” tambahnya.
Kasus Maribeth bukanlah kali pertama terjadi dalam dunia pewarganegaraan Indonesia. Di pertengahan 1980-an, kita pernah mendengar kasus Ida Yasha yang kemudian menikah dengan seorang pengusaha asal Padang, Sumatera Barat. Ia sempat dideportasi dan masuk lagi ke Indonesia. Kini ia sudah warga negara Indonesia.
Trik lewat mengawini warga asli. Ini pula yang tersirat dalam pasal 7 huruf d RUU Kewarganegaraan Republik Indonesia. Bahwa pemohon harus mendapat persetujuan tertulis dari isteri yang sah apabila berkehendak mengikuti status kewarganegaraan yang akan diperoleh suaminya.
Pasal 8 RUU itu jelas, bahwa wanita warga negara asing yang dalam status perkawinan dengan pria warga negara asing tidak dapat mengajukan permohonan pewarganegaraan.
Maribeth belum telat-telat amat bila masih berkeinginan menjadi warga negara Indonesia. Trik kawin dengan pria Indonesia bisa menjadi jalan paling gampang. Terlebih hal ini diakomodasi oleh RUU Kewarganegaraan RI lewat pasal 24 ayat (1) bahwa wanita warga negara asing yang kawin secara sah dengan pria warga negara RI dapat memperoleh kewarganegaraan RI dengan menyatakan hal itu di hadapan Pejabat atau di Perwakilan Republik Indonesia, kecuali perolehan itu mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda. Pernyataan tersebut dilakukan setelah dua tahun terhitung sejak tanggal perkawinannya.
Pasal ini kelak pasti mengundang polemik ketika RUU ini memasuki pembahasan di DPR. Meski memberi rambu bagi kemungkinan si wanita berkewarganegaraan ganda, pasal 24 itu secara implisit bisa menjadikan anak yang lahir dari buah perkawinan itu sangat mungkin punya dobel status warga negara.
Direktur Tata Negara Ditjen Imigrasi Ramly Hutabarat mencontohkan keluarga pria pribumi – wanita asing itu melahirkan anak di Amerika Serikat yang menganut asas ius soli (kewarganegaraan atas dasar tempat lahir). Maka anak yang lahir tersebut berstatus warga negara Indonesia dan warga negara Amerika Serikat.
Sementara RUU ini tidak mengakomodasi bilamana seorang lelaki warga negara asing yang kawin dengan wanita asli Indonesia. “Kenapa bisa dibedakan? Karena kalau suami diperlakukan sebgai isteri akan mudah sekali WNA menjadi WNI dan akan dipolitisasi melalui perkawinan untuk menjadi WNI. Kalau kawin doang sih gak apa! Takutnya dia punya kepentingan tertentu, padahal kita harus selektif untuk menyaring WNA,” tegas Ramly.
Soal kewarganegaraan ganda memang sempat menjadi bahan perdebatan sewaktu Badan legislasi (Baleg) DPR menggelontorkan usul inisiatif RUU Kewarganegaraan RI yang sekarang sudah berada di Sekretariat Negara.
Anggota DPR dari Fraksi Reformasi, Suminto Martono, setuju dengan penerapan kewarganegaraan ganda karena senafas dengan era globalisasi.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) menilai bahwa terlalu berlebihan jika dengan diterapkannya kewarganegaraan ganda, dikhawatirkan akan terjadi pengkhianatan terhadap negara. "Padahal, sudah banyak bukti bahwa yang berkhianat terhadap negara ya WNI-WNI juga," cetus Suminto beberapa waktu lalu saat Baleg DPR menyetujui usul inisiatif RUU Kewarganegaraan RI.
Tak semua anggota DPR satu suara dengan ide diterapkannya kewarganegaraan ganda dalam RUU yang akan menggantikan UU No. 62 Tahun 1958 itu. Anggota DPR dari F-TNI/Polri, Djasri Marin, menolak tegas usulan itu. Menurutnya, hal itu membahayakan dari sisi keamanan dalam negeri Indonesia.
Senada dengan Djasri, Suwarno Winarno, Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Malang, menolak dwi kewarganegaraan karena rawan dari segi militer. Sehingga sangat rentan implikasinya bagi bangsa Indonesia.
Achmad Budiono, rekan Suwarno Winarno di Universitas Negeri Malang, menilai kewarganegaraan ganda berarti loyalitas ganda pada dua negara. "Kalau dwikewarganegaraan itu, di situ dicurigai ada loyalitas ganda. Loyalitas hubungan kewarganegaraan itu dengan negaranya tidak boleh ganda, sehingga nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme bisa dipertanggung-jawabkan," ucapnya.
Terkait dengan status kewarganegaraan anak hasil perkawinan WNI-WNA, Budiono mengusulkan agar diatur dengan azas parental dalam UU Kewarganegaraan yang baru. Dengan azas parental, kedua orang tua dapat menentukan apakah si anak akan tinggal bersama ibu atau ayahnya.
"Kalau menurut UU yang lama harus ikut bapak kalau anaknya masih bayi. Tapi kalau menurut kami itu harus diakomodir. Itu harus ikut ibu atau ikut bapak sesuai dengan kepentingan. Ikut ibu mungkin masih menyusui, masih perlu kasih sayang dari ibunya," jelas Budiono.
Lebih jauh, Budiono berpendapat bahwa hak untuk mendapatkan kewarganegaraan adalah hak asasi manusia. Status kewarganegaraan anak dalam akta kelahiran, menurutnya, bukan sekadar masalah administrasi belaka. "Itu merupakan hak asasi. Jangan dianggap sebagai urusan administrasi saja. Akte kelahiran itu bukti diri kalau dia itu merupakan anak dari warga negara Indonesia," kata Budiono.
Perdebatan pasti akan panjang. Zaman global terus bergulir. Anak-anak Indonesia lahir di mancanegara makin banyak. Maribeht-Maribeth lain terus berdatangan ke Indonesia. Semoga DPR hasil pemilu 5 April 2004 akomodatif terhadap persoalan-persoalan ini.
© Copyright 2024, All Rights Reserved