Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berwenang memanggil secara paksa, bahkan menyandera selama 15 hari, pejabat negara dan warga negara yang tidak memenuhi panggilan DPR untuk memberi keterangan dalam masalah kepentingan bangsa dan negara yang sedang dibahas di Dewan.
Wewenang dewan itu diberikan oleh Rancangan Undang-undang Susunan dan Kedudukan (Susduk) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi/Kabupaten/Kota. Rapat Paripurna Dewan yang dipimpinan Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno, Rabu (9/7) siang, telah menyetujui RUU itu untuk disahkan menjadi undang-undang.
Wewenang itu berkaitan dengan Pasal 30 Ayat (1) yang menyebutkan DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum atau warga negara untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara.
Selanjutnya Pasal 30 Ayat (3) menyebutkan: Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum atau warga masyarakat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dikenakan panggilan paksa sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
Sedangkan ayat (4) menegaskan bahwa Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 hari sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
UU Susduk yang baru tersebut juga memberikan kewenangan yang sama kepada DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 66 ayat (1) sampai (4) UU dimaksud.
RUU Susduk yang disetujui menjadi UU tersebut terdiri atas 12 bab dan 114 pasal. UU Susduk ini banyak mengalami perubahan dari UU Susduk sebelumnya, termasuk mekanisme penggantian antarwaktu anggota DPR, jumlah pimpinan DPR, dan proses recalling wakil rakyat.
RUU ini juga mengatur tentang susunan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 hasil amandemen.
Di sisi lain, UU Susduk ini tetap memberi tempat pada orang yang telah terpidana de-ngan vonis penjara kurang dari lima tahun untuk tetap duduk sebagai anggota atau pemimpin dewan.
Dalam mekanisme pergantian antarwaktu anggota DPR maupun pergantian pimpinan Dewan, anggota dewan ataupun pimpinan dewan yang telah berstatus terpidana sekalipun tetap dimungkikan menjadi anggota DPR sampai habis masa jabatannya jika yang bersangkutan hanya divonis penjara di bawah lima tahun. Artinya, hanya anggota DPR yang divonis lima tahun keatas yang tidak bisa dipertahankan.
Hal ini jauh berbeda dengan usulan fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebelumnya yang mengajukan perlunya pergantian pimpinan dewan termasuk ketua DPR jika bersangkutan dalam posisi terdakwa. PDI-P bahkan mengusulkan pergantian pimpinan DPR bisa dilakukan melalui mosi tidak percaya. Sayangnya usulan terebut gugur dan tidak masuk dalam substansi UU Susduk baru.
Menyangkut jumlah pimpinan DPR dalam UU Susduk yang baru ini ditetapkan terdiri atas satu orang ketua dan tiga orang wakil. Jumlah ini berbeda dengan jumlah pimpinan dewan hasil Pemilu 1999 yang ada sekarang yang jumlahnya satu orang ketua dan empat orang wakil Ketua.
Pengurangan yang sama juga dilakukan terhadap jumlah pimpinan MPR. Dalam UU Susduk yang baru ini disebutkan jumlah pimpinan MPR terdiri dari satu orang ketua dan empat wakil ketua. Sedangkan jumlah pimpinan DPD terdiri dari satu orang ketua dan dua wakil ketua.
UU tersebut, meskipun telah disahkan, dan khususnya mengenai kewenangan DPR melakukan panggilan paksa dan penyanderaan, tidak berlaku surut, sehingga kewenangan tersebut belum bisa diterapkan.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Susduk, Yahya Zaini, yang ditemui Pembaruan sebelum rapat paripurna DPR Rabu pagi menjelaskan UU tersebut belum bisa diberlakukan karena tidak bisa berlaku surut (retroaktif). Kewenangan dimaksud, kata anggota Komisi II dari Fraksi Partai Golkar itu, baru akan efektif berlaku pada tahun 2004 mendatang.
Khusus mengenai kewenangan DPR menyandera pejabat negara atau warga masyarakat, menurut Yahya Zaini, merupakan perubahan dari UU sebelumnya yakni UU Nomor 4/1999 tentang Susduk MPR, DPR dan DPRD.
Dengan demikian UU Susduk yang baru ini belum berlaku seandainya akan digunakan oleh panitia kerja (Panja) Sukhoi DPR yang sudah dua kali gagal memanggil Menperindag Rini Suwandhi.
Menurut Yahya kewenangan menyandera itu pengganti dari sanksi pidana penjara satu tahun bagi pejabat atau warga negara yang tidak memenuhi panggilan DPR termasuk oleh Pansus atau Panja.
Latar belakang pemikirannya, lanjut Yahya Zaini, karena dalam praktiknya selama ini sulit diterapkan sanksi hukuman pidana satu tahun bagi mereka yang tidak memenuhi panggilan DPR. Sebab prosesnya lama dan bisa jadi jika vonis sanksi atas pejabat dimaksud keluar setelah pejabat bersangkutan sudah pensiun atau berakhir masa jabatannya.
Dengan peraturan yang baru ini, kata dia, akan lebih praktis dan mudah dilaksanakan sehingga kalau ada pejabat atau warga masyarakat yang tidak memenuhi panggilan DPR bisa disandera.
Tetapi untuk eksekusi sandera atau pelaksanaan sandera tentu dalam hal ini, menurut dia, bukan oleh DPR langsung tetapi dengan bantuan kepolisian.
Hal menarik lainnya dari UU Susduk tersebut adalah terjadinya kontradiktif antara pasal yang satu dengan yang lainnya. Hal itu tercermin dari pasal 109 dan pasal 111 mengenai ketentuan peralihan.
Dalam pasal 109 misalnya disebutkan pada saat UU ini mulai berlaku maka susunan, kedudukan, keanggotaan dan pimpinan MPR, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota hasil pemilu 1999 tetap berlaku sampai dengan pengucapan sumpah/janji anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota hasil pemilu berikutnya.
Sementara pada pasal 111 disebutkan ketentuan mengenai pergantian antarwaktu (PAW) anggota MPR, DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota dinyatakan berlaku sesuai dengan ketentuan UU ini. Kecuali yang berkenaan dengan larangan rangkap jabatan bagi anggota TNI/Polri.
Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FKB), Gregorius Seto Haryanto, yang ditemui Pembaruan Rabu pagi mengatakan UU yang disetujui DPR ini masih mengandung kontradiksi dan bisa membingungkan masyarakat. Ia mencermati pasal 109 dan pasal 111 tersebut akan memberikan peluang penafsiran ganda dari masyarakat sehingga membingungkan mana yang akan diterapkan.
Di satu sisi, kata Seto, UU tersebut menyatakan DPR, MPR dan DPRD yang sekarang susunan dan kedudukan berikut keanggotaannya masih tetap berlaku masih tetap berlaku sampai 2004, tetapi di sisi lain ketentuan mengenai PAW termasuk recall sudah bisa diberlakukan.
"Ini pasti bermasalah karena membingungkan," kata salah seorang anggota Pansus tersebut.
Menanggapi hal itu Ketua Pansus, Yahya Zaini, menegaskan pasal dimaksud tidak kontradiktif. Alasannya, pasal 109 dan pasal 111 masing-masing mengatur hal yang berbeda.
© Copyright 2024, All Rights Reserved