Kebijakan mengejutkan dari bank sentral Tiongkok, Peoples Bank of China (PBoC) yang memotong nilai tukar (devaluasi) mata uangnya, Yuan hingga hampir 2 persen, berdampak luas terhadap ekonomi dunia. Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri memperingatkan potensi terjadinya perang nilai mata uang (currency war), karena kebijakan Tiongkok bisa di balas negara lain.
Pendapat itu disampaikan Chatib melalui melalui akun twitter @ChatibBasri, pada Rabu (12/8). “Tujuan PBoC (People Bank of China) adalah untuk mendorong ekspor dan pertumbuhan ekonomi. Kita belum tahu apakah akan berlanjut. Jika berlanjut, ada resiko currency war," tulisnya.
Chatib mengingatkan, Indonesia harus menyikapi dengan serius perkembangan yang terjadi di Tionglok. Bisa saja, dampak dari devaluasi yuan ini berkepanjangan atau bahkan sementara saja. Termasuk peluang aksi balasan yang memicu currency war itu.
Chatib mengatakan, resiko currency war bisa saja terjadi ketika negara-negara lain juga berupaya untuk mempertahankan daya saing guna meningkatkan stabilitas ekonomi.
Dalam kondisi itu, tiap negara akan berusaha saling mendevaluasi mata uangnya masing-masing. Inilah yang dikhawatirkan memunculkan perang mata uang akibat persaingan.
Jika itu terjadi, sambung dia, akan membahayakan Indonesia. Nilai tukar rupiah akan terus melemah dalam jangka panjang. Hal ini berdampak pada ketidakpastian pasar.
Kondisi ini, sambung Chatib, harus diantisipasi pemerintah. Pertumbuhan ekonomi harus mengutamakan pasar domestik agar tidak terpengaruh perekonomian di negara lain.
“Dalam situasi global yang tidak pasti ini, sumber pertumbuhan harus bertumpu pada pasar domestik. Karena itu "keep buying strategy" jadi penting," saran Chatib.
© Copyright 2024, All Rights Reserved