Keterlibatan perempuan minimal 30 persen sebagai pengambil kebijakan sulit untuk dipenuhi pada Pemilihan Umum 2004 mendatang. Sebab, keinginan perempuan Indonesia untuk menjadi politisi masih rendah.
Demikian diungkapkan aktivis perempuan Debra H Yatim di Surabaya, Sabtu (20/9). Kuota 30 persen baru dapat terpenuhi pada Pemilu 2009.
"Jika pada Pemilu 2004 perempuan menduduki 12-20 persen kursi parlemen itu sudah baik. Jarang sekali perempuan berkeinginan menjadi politisi," jelas Debra.
Pengalaman perempuan dalam berpolitik juga sangat rendah, seperti dalam organisasi kampus, gerakan mahasiswa, dan sebagainya. Dengan demikian, selama 58 tahun merdeka, keterwakilan perempuan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat paling tinggi 14 persen. Bahkan, saat ini hanya 8,9 persen.
"Penyebab lain adalah adanya pemisahan perempuan dalam struktur beberapa organisasi, seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), misalnya, ada sub-organisasi khusus perempuan. Begitu juga fatayat, muslimat dalam NU (Nahdlatul Ulama), dan Dharma Wanita serta berbagai organisasi istri pejabat," jelas dia.
Untuk itu, kualitas sumber daya manusia harus ditingkatkan. Pandangan perempuan tentang politik juga sedikit demi sedikit harus diubah.
Berbeda dengan Debra, Ketua Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Timur Harbiah Salahuddin optimistis kuota minimal 30 persen keterwakilan perempuan itu dapat dicapai di Jatim pada Pemilu 2004.
Menurut dia, target itu bisa tercapai jika partai politik punya itikad baik mewujudkannya dan mengakomodir kepentingan perempuan. Asumsi bahwa politik adalah dunia laki-laki sudah terbangun sejak dulu. Karena itu, semua parpol harus menyiapkan pendidikan politik untuk kader perempuan.
"Persoalannya, memang kualitas SDM. Kami menyiapkan KPPG (Kesatuan Perempuan Partai Golkar) dengan melakukan pelatihan dan pendidikan politik," kata Wakil Ketua Partai Golkar Jatim itu seperti dikutip Kompas.
© Copyright 2024, All Rights Reserved