Indikasi adanya penyelewengan dalam pengelolaan cadangan devisa di Bank Indonesia (BI) kini mulai terbukti. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 38 masalah terkait dengan pengelolaan cadangan devisa milik pemerintah di bank sentral. Terutama cadangan devisa yang berasal dari kucuran utang Dana Moneter Internasional (IMF).
Menurut Ketua BPK Satrio "Billy" Budihardjo Joedono, permasalahan itu terkait dengan bentuk investasi dari cadangan devisa yang tidak aman. "Audit utang IMF yang menjadi bagian cadangan devisa Indonesia untuk tahun buku 2002 sudah dilakukan. Kita temukan 38 masalah," tegas Billy yang didampingi anggota BPK Bambang Wahyudi di Kantor BPK, Jakarta, kemarin.
Billy menyatakan, BPK sudah mengonfrontasi temuan 38 masalah itu kepada BI. Hanya, sampai saat ini, pihaknya belum mengetahui apakah temuan tersebut sudah ditindaklanjuti otoritas moneter atau belum. Yang jelas, konfrontasi itu dilakukan ketika BPK melakukan audit laporan keuangan BI tahun 2002.
Dalam kesempatan itu, Bambang menambahkan, 38 permasalahan dalam audit cadangan devisa di BI tersebut masih perlu diperbaiki. Sebab, saat itu BPK melakukan audit bersama-sama dengan KAP (kantor akuntan publik) internasional, yakni PriceWaterhouse Coopers (PwC).
Apakah 38 permasalahan yang ditemukan itu terkait dengan investasi yang tidak aman? Dengan tegas, Bambang mengakuinya. Kata dia, mestinya, BI menempatkan cadangan devisa dalam investasi yang benar-benar aman. "Seharusnya, cadangan devisa ditaruh dalam investasi yang aman betul. Nah, ternyata tidak," tambahnya.
Investasi yang aman, sambungnya, adalah investasi yang menyebabkan nilai dana tidak berkurang. Misalnya, ditaruh di instrumen surat utang (obligasi). "Sebab, kalau kita menanam di bursa (saham), itu kan bahaya. Fluktuatif sekali. Harusnya, yang fixed," terangnya.
Sebelumnya, Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie menengarai adanya penyimpangan dalam investasi cadangan devisa yang dilakukan bank sentral. Tengara itu mencuat lantaran pengelolaan cadangan devisa dari IMF tersebut menghasilkan surplus 0,39 persen. Rinciannya, bunga IMF 2,89 persen, sedangkan dari bunga investasi 3,28 persen. Meski Indonesia menanggung beban bunga yang cukup besar, itu bisa diatasi dengan strategi switching investasi.
Kwik mengaku heran, bagaimana BI bisa menghasilkan keuntungan dalam mengelola utang IMF senilai USD 9 miliar yang masuk cadangan devisa. Sepengetahuannya, bunga yang harus dibayar ke IMF 3,49 persen atau rata-rata di atas 3 persen.
Artinya, jika pengelolaan itu surplus, berarti bank sentral mendapat bunga lebih dari 3,5 persen. "Itu diinvestasikan dalam bentuk apa?" tanya Kwik kala itu. Sebab, bunga mata uang denominasi dolar saat ini sudah di bawah 1 persen.
Sementara itu, Menkeu Boediono kembali mengungkapkan, tahun 2004 menjadi masa yang berat. Dia menyebut tahun tersebut sangat krusial bagi bangsa Indonesia. Menurut dia, pada tahun tersebut, banyak sekali ketidakpastian.
"Seperti politik, keamanan, dan juga ekonomi. Jadi, saat ini kita harus benar-benar menyiapkannya. Termasuk, tentunya, kita harus punya cadangan devisa yang cukup," jelas Boediono usai salat Jumat di masjid gedung Depkeu kemarin. Pemerintah pun, lanjutnya, berharap pada 2004 nanti semuanya aman.
Pernyataan Boediono itu menanggapi usul Panitia Anggaran DPR kepada pemerintah untuk mempercepat pelaksanaan program post program monitoring (PPM). Opsi tersebut merupakan pilihan pemerintah dalam mengakhiri program kerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF).
Ketua Panitia Anggaran DPR Abdullah Zainie mengatakan, pembayaran utang Indonesia ke IMF sebesar USD 9 miliar bisa dilakukan dalam tiga tahun. Per tahun bisa dibayar USD 2 miliar. Dengan percepatan ini, pada 2006, utang Indonesia tinggal USD 3 miliar. Atau tidak melebihi 100 persen kuota pinjaman IMF, dan Indonesia hanya menjadi anggota biasa.
Sementara itu, pemerintah sendiri tetap akan membayar sesuai jadwal hingga 2010 dan bisa melakukan percepatan pada 2007. Tujuannya, mengamankan posisi cadangan devisa negara yang saat ini sekitar USD 34 miliar.
Secara terpisah, Deputi Senior Gubernur BI Anwar Nasution mengatakan, pemerintah mungkin tak akan melakukan percepatan pembayaran utang ke IMF. Senada dengan Menkeu Boediono, dia mengatakan, pemerintah tetap harus mengantisipasi adanya kejadian-kejadian di luar dugaan. Dia mencontohkan adanya ledakan bom di Hotel JW Marriott awal pekan ini.
Anwar kembali menegaskan agar semua pihak tidak mencampurkan masalah ekonomi dengan politik. Dia lalu menekankan pentingnya cadangan devisa yang kuat. "Kalau tidak punya cadangan devisa yang kuat, bagaimana kita bisa mengatasi masalah-masalah itu," jelasnya di gedung Depkeu kemarin.
Masalah-masalah tersebut perlu dipikirkan semua pihak. Sehingga, tegasnya, pihak-pihak tertentu tidak hanya mengedepankan nasionalisme yang sempit dan tinggi, tapi kurang kalkulasi. Dia menambahkan, pemerintah tetap akan membayar utang IMF sesuai jadwal. Dia beralasan, selama ini Indonesia telah diberi pinjaman murah sehingga tak perlu mencari pinjaman yang lebih mahal.
© Copyright 2024, All Rights Reserved