Produk rekayasa genetik (bioteknologi) memang sempat menimbulkan pro dan kontra. Bahkan, pemerintah Indonesia juga tak berani meluncurkan produk hasil bioteknologi tersebut. Tapi dengan perkembangan teknologi pertanian, ternyata bioteknologi mampu menjadi salah satu jalan untuk mendukung ketahanan pangan menuju swasembada pangan di Indonesia. Karena produk transgenik tahan terhadap iklim dan hama.
Direktur Indonesia Biotechnology Information Center (IndoBIC) Bambang Purwantara mengatakan, untuk mempercepat terwujudnya swasembada pangan akan lebih ringan jika didukung dengan teknologi termasuk adopsi bioteknologi di dalamnya. Karena sudah banyak negara yang menyadarai bioteknologi sangat efektif meningkatkan produksi pangan dunia. Terbukti, ada 28 negara telah menanam tanaman bioteknologi dengan luas lahan secara global 181,5 juta hektar (ha).
"Semakin banyak negara di dunia yang sadar bahwa kemampuan dunia untuk menyediakan pangan semakin terbatas, makanya mereka mempercayakan bioteknologi sebagai salah satu upaya peningkatan produksi pangan dunia," kata Bambang kepada politikindinesia.com dalam Seminar on Global Status of Commercialized Biotech Crops 2014: Peran Teknologi Pertanian Dalam Mendukung Swasembada Pangan di Kantor Kementerian Pertanian (Kementan) Jakarta, Rabu (11/02).
Menurutnya, penggunaan bioteknologi di Indonesia belum bisa berkembang. Saat ini, para petani masih menunggu persetujuan pakan untuk mengadopsi tanaman biotek dalam tanaman tebu dan jagung. Diharapkan, tidak lama lagi petani dapat menanam tanaman bioteknologi dalam rangka menunjang kedaulatan pangan.
"Selain meningkatkan produktivitas, beioteknologi juga dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Karena sejak tahun 2006, lebih dari 100 tanaman bioteknologi penghasil pangan dan serat sudah memperoleh persetujuan untuk dibudidayakan dan dikomersilkan di seluruh dunia. Seperti jagung, kedelai, kapas hingga buah dan sayur seperti pepaya dan terong. Untuk kentang, baru-baru ini dikembangkan," ujarnya.
Sebenarnya, lanjut Bambang, manfaat bioteknologi banyak sekali. Di antaranya mampu menekan kemiskinan dan kelaparan. Karena tanaman bioteknologi bisa meningkatkan pendapatan para petani kecil yang miskin sumberdaya. Terbukti, selama periode 1996-2013, tanaman bioteknologi mampu meningkatkan produksi global senilai US$133 miliar.
"Bahkan, selama 1996-2012 penggunaan pestisida menurun secara signifikan dan bisa menghemat sekitar 500 kilogram (kg) bahan aktif pestisida. Selain itu, penanaman bioteknologi juga mampu mengurangi emisi karbon dioksida yang setara dengan pengurangan 12,4 juta mobil dari jalanan untuk setahun," ujarnya.
Sementara itu, Dirjen Tanaman Pangan, Kementan, Hasil Sembiring menambahkan, pihaknya memang akan mengandalkan bioteknologi untuk meningkatkan produktivitas pangan nasional. Karena saat ini, pihaknya sedang menghadapi tantangan peningkatan produksi pangan seperti beras, jagung, kedelai dan gula.
"Bioteknologi adalah salah satu solusi, sehingga bisa meningkatkan produksi pangan. Selain itu, benih bioteknologi juga dapat mengurangi biaya produksi, karena ada pengurangan penggunaan pestisida. Sayangnya, masih ada yang dikhawatirkan dengan benih bioteknologi yaitu, jika ditanam secara masif belum tentu teruji keamanannya. Padahal, peningkatan produksi pangan perlu dengan pendekatan teknologi," ucapnya.
Diakuinya, bioteknologi ini memang bisa menjadi solusi, tapi bukan segalanya. Karena bioteknologi ini memiliki kekurangan yang harus bisa dijelaskan secara terbuka dan jujur. Walau demikian, pihaknya tetap akan mengadopsi pangan bioteknologi sebagai program pertanian Indonesia ke depan. Sebab, dalam mengembangkan pangan bioteknologi memiliki keunggulan dengan lahan kering.
"Kami sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 61/2011 tentang Pelepasan Varietas. Selain itu, regulasi, komisi dan perpres juga sudah ada. Jadi, tinggal bagaimana menjalankan proses ini menjadi lebih baik. Sayangnya, hingga kini belum menampakkan perkembangan yang nyata," paparnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir, menyatakan, Indonesia memerlukan terobosan teknologi untuk mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri agar ketergantungan impor tidak semakin banyak. Oleh karena itu, Pemerintah Jokowi-JK berkemauan keras untuk swasembada pangan terwujud tidak terlalu lama.
"Untuk itu, kita sebagai petani berharap pemerintah mengawali penggunaan bioteknologi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Karena teknologi memegang peranan penting di pertanian. Kalau memang mau mengatasi kebutuhan dalam negeri dan mengurangi impor gampang saja. Beri kami tanah, teknologi dan modal, maka kami akan menghindari impor,"ungkap Winarno.
Dijelaskan, bioteknologi saat ini masih merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan produksi komoditas pangan, terutama dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim. Karena bioteknologi merupakan teknologi masa depan dan mutlak harus dilakukan. Sekarang ini, Indonesia tidak bisa mengandalkan cara tradisional lagi untuk ketahanan pangan.
"Apalagi produk komoditas pangan hasil bioteknologi yang berasal dari impor sudah banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia sejak 5-10 tahun lalu. Misalnya, kedelai untuk bahan baku tahu dan tempe, jagung untuk bahan baku pakan. Bahkan, kedelai dan jagung impor tersebut tahan terhadap perubahan iklim. Karena itu, banyak petani Indonesia menginginkan produk bioteknologi itu bisa ditanam di dalam negeri," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved